"Wakil rakyat adalah sebuah tempat untuk rakyat menyampaikan aspirasinya. Rakyat adalah atasan saya. Saudara-saudara sekalian adalah tuan saya. Tapi, kenapa saya lebih kaya dari saudara-saudara sekalian? Hahaha. Mungkin ada beberapa dari saudara-saudara sekalian yang lebih kaya dari saya. Namun, saya juga termasuk golongan dari orang-orang kaya di negeri ini. Hahaha. Hahaha."
Lelaki itu terdiam. Kemudian kembali melanjutkan.Â
"Wakil rakyat adalah pekerjaan yang sangat berat saudara-saudara. Tidak sembarang orang yang bisa menjadi wakil rakyat. Seorang yang dipilih menjadi wakil rakyat harus pintar, cerdas, cekatan, mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan rakyat. Oleh karena itu, gaji saya sangat besar. Itu wajar bukan?"
Muni cengengesan mendengarnya.Â
"Dengan kecerdasan yang dimiliki oleh seorang wakil rakyat, negeri ini akan aman dan tenteram. Wakil rakyat akan membuat undang-undang yang mampu mensejahterakan rakyat. Wakil rakyat adalah pencipta undang-undang. Undang-undang yang akan dinikmati oleh tuan kami yaitu rakyat. Rakyat tidak perlu sibuk-sibuk memikirkan undang-undang. Biarkan wakil rakyat yang memikirkannya. Rakyat cukup duduk manis sambil menikmati teh manis hangat di rumah. Hahaha."
"Itu benar. Jika wakil rakyatnya memang benar-benar cerdas!" Muni kembali bergumam.Â
"Maksud kamu, wakil rakyat kita tidak cerdas?" Tanya Malik.Â
"Sttt. Kalian jangan berisik." Perintah Marni.Â
Lelaki yang sedang berperan sebagai wakil rakyat itu kembali melanjutkan monolognya.Â
"Tapi saudara-saudara sekalian. Wakil rakyat selalu diganggu oleh mahasiswa. Mereka menyebut diri mereka sebagai 'penyambung lidah rakyat'. Haha. Mereka itu hanya anak-anak nakal. Wakil rakyat-lah 'penyambung lidah rakyat' yang sebenar-benarnya! Oleh karena itu saudara-saudara sekalian. Jika para mahasiswa itu mendatangi gedung kami, kami akan menyuruh aparat keamanan mengusir mereka. Jika para mahasiswa itu melawan, aparat keamanan tidak akan segan-segan kepada mereka. Hidup wakil rakyat! Hahaha."
Seketika lampu yang menyoroti panggung dimatikan. Sedangkan lampu lainnya kembali menyoroti tempat duduk para penonton. Hal itu menandakan monolog telah usai. Kemudian para penonton memberikan tepuk tangan. Begitu pun dengan Malik serta anak dan istrinya.Â