Mohon tunggu...
M Lendri Julian
M Lendri Julian Mohon Tunggu... Penulis - Sedang ber-fiksi. Hubungi aku via do'a

Seorang lelaki dari Purwakarta. Datang untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warisan Mardi

29 Juli 2019   17:32 Diperbarui: 29 Juli 2019   17:39 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mardi adalah seseorang yang sangat dibenci oleh masyarakat. Segala yang dilakukannya tidak pernah bersifat kontroversial. Tidak ada yang pro. Semua masyarakat selalu kontra. Mungkin hanya kematiannya yang akan menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Masyarakat yang pro untuk menguburkannya, dan masyarakat yang kontra untuk menguburkannya. 

Sayangnya Mardi masih hidup dan memiliki harta yang berlimpah. Seringkali doa-doa mengudara untuk membuatnya jatuh miskin. Namun doa-doa tersebut belum juga dikabulkan. Keresahan, iri, dengki, dan sebagainya adalah barang yang selalu laku terjual oleh Mardi kepada masyarakat. 

Seseorang yang berakhlak buruk seperti Mardi masih dianugerahi seorang istri. Namun orang baik mendapatkan orang baik. Orang buruk mendapatkan orang buruk. Dengan begitu Mardi mendapatkan pasangan yang sesuai dengan sifatnya.

Sayangnya Mardi pun dianugerahi tiga anak. Semuanya laki-laki. Kini bukan hanya Mardi yang dibenci masyarakat, melainkan istri dan anak-anaknya pun turut dibenci. Keluarga itu menjadi keluarga yang paling kompak di antara keluarga lainnya. Keluarga yang paling kompak untuk dibenci. 

Pada suatu malam yang dingin. Mardi dan keluarganya tengah berkumpul untuk menyantap hidangan pada makan malam di rumahnya yang megah. Walaupun keluarga itu menjadi keluarga yang patut dibenci, makan malam haruslah terjalin selayaknya keluarga normal. 

"Kamu mau jadi apa nanti, Dud?" Tanya Mardi kepada anak pertamanya yang masih duduk dibangku kuliah, Dudi, ketika makan malam berlangsung.

"Aku ingin menjadi seorang arsitek, Pah." Jawab Dudi.

"Hmm.. Pasti kamu ingin membangun bangunan seperti Tembok Cina, yah?"

"Yaah, bisa jadi, Pah. Nanti Aku namakan "Tembok Indonesia". Haha"

Mardi merasa bangga kepada anak pertamanya yang mempunyai mimpi besar itu. "Kalo Kamu, Dod, mau jadi apa nanti?" Tanya Mardi kepada anak keduanya yang masih duduk dibangku SMA, Dodi, ketika makan malam masih berlangsung. 

"Aku sih, Pah, ingin menjadi pembisnis yang kaya raya." Jawab Dodi.

"Hmmm... Kamu pasti ingin seperti Jack Ma, yah? Punya perusahaan besar Alibaba?"

"Yah, mungkin, Pah. Nanti perusahaanku Aku namai "Sangkuriang". Haha."

Kebanggaan Mardi bertambah besar ketika mendengar cita-cita dari anak keduanya. "Sekarang giliran Kamu, Ded. Mau jadi apa Kamu nanti?" Tanya Mardi kepada anak ketiganya yang masih duduk dibangku SMP, Dedi, ketika makan malam masih berlangsung. 

"Aku ingin menjadi artis yang hebat, Pah." Jawab Dedi.

"Artis? Kayak Bruce Lee? "

"Iyah Pah. Dia artis yang keren. Bisa berantem. Nanti namaku Aku ganti menjadi "Dedi Lee". Haha."

Kebanggaan demi kebanggaan hinggap pada jiwa Mardi. Ketiga anaknya memiliki cita-cita yang besar! Sambil menyantap makan malamnya, Mardi merasakan kebanggaan yang luar biasa. 

"Papah bangga pada kalian semua. Dudi, Kamu harus jadi arsitek hebat. Dodi, Kamu harus jadi Pembisnis yang kaya raya. Dan Kamu Dedi, Kamu harus jadi artis yang besar! Kalian harus gapai cita-cita kalian. Bayangkan, jika kalian sudah berhasil menggapai cita-cita kalian itu, tetangga-tetangga kita akan merasa iri yang sangat besar kepada kita. Kita akan menjadi keluarga yang terpandang!" Kata Mardi dengan semangat yang membara ketika makan malam hampir selesai. 

Makan malam itu telah usai. Mardi dan keluarganya meninggalkan meja makan. Mardi dan istrinya menuju kamar untuk menikmati indahnya tidur. Anak-anaknya pun menuju kamar masing-masing, entah belajar atau mungkin tertidur seperti orang tuanya. 

Keesokan harinya, ketika adzan Magrib berkumandang. Mardi meninggalkan rumah mewahnya dan pergi menuju Mushola kecil untuk sembahyang. Barisan paling depan, di belakang Imam, adalah tempat dimana Mardi melakukan sembahyang. Para jemaah Mushola itu selalu mempersilakan Mardi menempatinya. 

Sembahyang berjamaah itu tak lama kemudian telah usai beserta dzikir-dzikirnya. Mardi dan para jamaah bergegas meninggalkan Mushola. Kebetulan Imam Mushola itu dan Mardi mempunyai satu arah yang sama menuju rumahnya masing-masing. 

"Pa Ustadz, Aku bangga pada anak-anakku." Mardi memulai percakapan dengan Imam Mushola ketika perjalanan pulang.

"Iya Pak. Setiap orang tua pasti bangga pada anak-anaknya." Sahut Imam Mushola.

"Gini Tadz, Si Dudi ingin menjadi arsitek. Kemudian adiknya, Dodi, ingin menjadi pembisnis. Dan anakku yang ketiga, Dedi, ingin menjadi artis! Mereka mempunyai mimpi yang besar. Tidak seperti anak-anak lainnya."

"Wah, hebat Pak."

"Do'akan saja yah Tadz."

"Aamiin. Saya do'akan semoga anak-anak Bapak sukses semuanya."

"Aamiin."

Mardi dan Imam Mushola sudah sampai di rumahnya masing-masing. Seperti biasa, Mardi dan keluarganya berkumpul di meja makan, bersiap-siap untuk menyantap hidangan makan malam. "Bentar yah, Papah mau ke kamar mandi. Mau pipis." Izin Mardi kepada istri dan anak-anaknya ketika makan malam tengah berlangsung. 

Dengan tergesa-gesa Mardi menuju kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, Mardi merasakan kelegaan karena telah mengeluarkan air kencingnya. Sesudahnya dia bergegas lagi menuju meja makan. Sebelum sampainya di meja makan, Dug! Mardi tergelincir, lupa akan lantai kamar mandi yang licin. Dia kesakitan dan akhirnya pingsan. Segera istri dan anak-anaknya membawa Mardi menuju rumah sakit. 

Dokter dirumah sakit itu memutuskan bahwa Mardi harus dirawat. Mardi pun menjadi penghuni rumah sakit. Beberapa hari Mardi masih dirawat. Sehari, dua hari, tiga hari, Mardi masih dirawat. Hanya istri dan anak-anaknya-lah yang setia menunggunya dirumah sakit. Hingga pada hari keempat, Mardi menghembuskan nafas terakhirnya. 

Kontroversi pun terjadi dikalangan masyarakat. Masyarakat yang pro untuk menguburkannya, dan masyarakat yang kontra untuk menguburkannya. 

"Dia tidak pernah hadir dirapat tahunan warga." Ucap seorang warga.

"Dia tidak pernah berbakti di daerah ini." Ucap warga lainnya.

"Dia sombong!" Ucap warga yang lainnya lagi. 

Akhirnya Imam Mushola dan para jemaah bersedia untuk menguburkannya. Acara pemakaman pun berlangsung. Acara pemakaman yang hanya dihadiri oleh Imam Mushola, para jemaah, dan keluarga Almarhum Mardi. Begitupun ketika Tahlilan. Selama tujuh malam ber-tahlilan, hanya Imam Mushola, para jemaah, dan keluarga Almarhum Mardi yang ikut serta. 

Seminggu sudah semenjak Mardi meninggalkan dunia. Daerah itu kini tidak mempunyai lagi publik figur untuk dibenci. Kebencian masyarakat mulai memudar. Barisan paling depan di Mushola tempat Almarhum Mardi sembahyang pun kini ada yang menempati. 

Sayangnya harta Almarhum Mardi masih berlimpah. Istri dan anak-anaknya mendapatkan warisan. Keluarga itu masihlah kaya raya! Kebencian masyarakat yang sudah mulai memudar itu, mulai terbangkitkan lagi. Almarhum Mardi bukan hanya mewarisi harta yang berlimpah untuk istri dan anak-anaknya. Kebencian masyarakat yang berlimpah ternyata ikut terwariskan untuk istri dan anak-anaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun