Mohon tunggu...
Khasbi
Khasbi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Cerita Kehidupan

Mahasiswa IAINU Kebumen. Suka membaca, menulis dan diskusi. Penyuka wacana kritis yang progresif-revolusioner. Aktif di organisasi PMII dan juga salah satu penggagas Institut Literasi Indonesia (ILI).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Angkringan Mbak Mawar

29 Agustus 2019   10:36 Diperbarui: 29 Agustus 2019   10:40 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Amalia Tus Solikhah

Siang ini matahari sedang berada di puncak prestasinya. Bersinar terang dan menyilaukan. Tidak ada awan mengapung. Tidak ada pohon yang cocok untuk berlindung. Entah apa yang sedang terjadi, mungkin ini yang dinamakan pemanasan global. Suhu bumi meningkat, katanya. Yang aku pikirkan adalah apa yang penguin lakukan? Apakah mereka akan hijrah, jika daratan kutub es mereka meleleh dan menjadi lautan? Ah, pikiranku sedang kacau, yang aku inginkan sekarang hanya segelas es teh manis yang menyegarkan kerongkongan.

Akhirnya kuputuskan untuk membeli es teh manis di angkringan favoritku seorang diri. Ya, es teh manis murah meriah sangat cocok bagiku yang seorang mahasiswa rantau. Hanya dengan uang dua ribu rupiah saja, aku bisa menikmati es teh manis yang segar dan memandangi penjualnya yang seorang janda muda cantik menggelegar. Terkadang aku bertanya-tanya, mengapa wanita muda yang cantik luar biasa seperti dia menjadi janda? Tidak mempunyai otakkah mantan suaminya tersebut sehingga dia melepaskan Mbak Mawar yang---coba lihatlah dia, masih muda, cantik, baik hati, anggun, ah pokoknya dia sangat memesona.

Entah mengapa hari ini jiwa "Dora"-ku alias rasa kepoku sedang aktif-aktifnya. Aku sangat ingin tahu, mengapa Mbak Mawar yang cantik dan anggunnya bak Miss Universe ini berpisah dengan suaminya? Dan siapa tahu Mbak Mawar membuka pendaftaran calon suami untuk dirinya? Dan siapa tahu, aku adalah salah satu tipenya? Siapa tahu, iya kan?
Angkringan Mbak Mawar tidak seramai biasanya, hanya ada satu dua orang yang sedang berbincang sambil menikmati tempe mendoan. Jadi, ketika Mbak Mawar menghidangkan es teh manis untukku, kuberanikan diri untuk mewawancarainya.

"Mbak Mawar, mau tanya boleh?" kataku.

Mbak Mawar yang merasa terpanggil, menerawang isi otakku. Matanya yang cemerlang dipenuhi tanda tanya keheranan lalu tersenyum kepadaku dan menjawab dengan suaranya yang lembut, "Boleh Mas Bagus, mau tanya apa? Jangan tanya soal pelajaran, ya Mas Bagus. Saya enggak ngerti," jawabnya geli.

Sepersekian detik jantungku berhenti berdetak melihat Mbak Mawar tersenyum kepadaku. Tertawa di hadapanku. Apakah Mbak Mawar menyukaiku? Secara, ketampananku kan di atas rata-rata, tidak mengherankan jika Mbak Mawar memendam rasanya untukku. Ah, aku ini percaya diri sekali. Aku tetap saja seorang mahasiswa lama yang tak kunjung selesai skripsi dan yang mengerikan adalah aku masih pengangguran. Mana mungkin Mbak Mawar menyukai orang seperti diriku, iya kan? Hanya modal tampang, tidak ada gunanya.

Lalu dengan gugup ku jawab, "Mbak Mawar kok bisa sendiri to, Mbak?"

Mbak Mawar terkekeh mendengar pertanyaanku, giginya yang putih bagaikan mutiara berderet berkilauan. Dia dengan enteng menjawab, "Saya enggak sendiri kok Mas, kan ada Mas Bagus dan pelanggan yang lain."

Aku bingung bagaimana harus merangkai kata, bagaimana jika Mbak Mawar merasa tersinggung dan marah kepadaku? Aku jadi bimbang. Ah, namun aku sangat penasaran.

"He he he, maksud saya, Mbak Mawar kok bisa jadi janda sih, Mbak?" tanyaku mencicit.

Pipi Mbak Mawar memerah dan seketika raut wajahnya berubah. Aku menjadi salah tingkah dan merasa bersalah. Buru-buru kutambahkan, "Maaf Mbak Mawar, bukan maksud saya berbuat lancang. Jika Mbak Mawar tidak ingin menjawabnya pun tidak apa-apa."

Mbak Mawar yang sedari tadi berdiri, akhirnya duduk berhadapan denganku. Kulihat wajahnya yang semula hangat dan ceria berubah menjadi dingin dan penuh rasa dendam. Dia menunduk sejenak lalu memandangiku dengan tatapan kosong, "Saya korban nikah siri online, Mas" bisiknya.

Mendengar istilah nikah online, yang terbesit dalam benakku adalah nikah secara online, via media sosial. Jika kita menginginkan seorang anak, yang perlu kita lakukan hanya mendownlodnya di playstore. Jika bosan, kita dapat menguninstalnya. Lalu ketika ada pemberitahuan pembaruan anak agar lebih canggih dan cerdas, kita bisa memperbaruinya di Playstore. Serba aplikasi pokoknya. Tentu saja, menurutku hal tersebut sangat mengerikan. Juga membingungkan.

Demi melihat wajahku yang terlihat bodoh dan kebingungan, Mbak Mawar tersenyum tipis. Dia tahu kalau aku tidak tahu apa itu nikah online. Mbak Mawar pun melanjutkan ceritanya.

"Jadi ketika itu, saya mengenal mantan suami saya lewat aplikasi Facebook. Kami sering berkirim pesan setiap hari. Kemudian akhirnya dia meminta nomor Whatsapp saya, kami pun melanjutkan percakapan di Whatsapp. Setiap saya meminta untuk video call, dia tidak pernah mau. Saya sangat heran dengan sikapnya, namun karena dulu saya sudah terlanjur cinta. Saya tidak mempermasalahkan sikapnya tersebut. Hingga akhirnya, dia pun melamar saya via telepon. Mas Bagus tahu, dia mengaku tinggal dimana?"

Aku menggelengkan kepala.

"Di Lombok, Mas. Dia mengaku baru ditempatkan di Lombok oleh perusahaan tempatnya bekerja dan katanya akan menikahi saya secara online. Awalnya saya seperti Mas Bagus, tidak mengerti apa itu nikah online. Kemudian dia menjelaskan bahwa nikah online adalah menikah secara online lewat video call. Saya bertanya kepadanya, apakah boleh jika kita menikah secara online? Boleh, katanya. Katanya, saya hanya mendatangkan wali saja. Karena waktu itu bapak saya masih hidup walaupun beliau terkena penyakit jantung, saya meminta beliau untuk menjadi wali saya. Akad nikah pun dilakukan secara online. Peristiwa tersebut menjadi waktu pertama kali saya melihat calon suami saya. Dia lumayan tampan dan gagah serta wajahnya terlihat matang. Saya sangat bahagia kala itu. Mas Bagus tahu, saya ini berasal dari desa, saya tidak pandai dalam masalah agama dan saya juga bodoh dalam segala hal, Mas. Termasuk dalam hal ini. Singkat cerita kami pun menikah. Lalu beberapa hari setelah menikah, dia mendatangi rumah saya di Jawa. Dia mengajak saya untuk pindah ke Lombok, saya pun manut saja. Patuh kepada suami merupakan kewajiban seorang istri, bukan? Namun saya memintanya agar mengajak bapak, saya tidak tega meninggalkan bapak seorang diri dalam keadaan sakit tanpa sanak saudara."

Mbak Mawar mengambil sebuah gelas dan kemudian mengisinya dengan air putih. Ia segera menenggaknya. Kemudian melanjutkan ceritanya yang sudah semakin dalam ini.

"Akhirnya, kami pun berangkat ke Lombok. Sesampainya di Lombok, saya tinggal di sebuah rumah di luar kota. Tempatnya agak terpencil. Mantan suami saya sering meninggalkan kami---saya dan bapak, untuk bekerja namun dia pulang hampir setiap seminggu sekali. Pada suatu hari ketika saya, dia dan bapak sedang duduk di serambi rumah, tiba-tiba datang tiga orang wanita dengan raut muka yang merah padam dan mata yang memancarkan kebencian mendalam ketika melihat saya dan bapak. Saya terkejut karena salah seorang dari mereka tiba-tiba menjambak rambut saya dan mencakar wajah saya. Bapak yang tidak terima anaknya diperlakukan dengan barbar oleh orang asing, mendorong mereka dan membentak. Mantan suami saya hanya diam membisu bagaikan patung. Lalu salah seorang dari mereka yang lebih muda, mengatai saya sebagai pelakor dan menghujat saya dengan kata-kata kotor. Saya saat itu masih syok dan hanya diam saja. Bapak saya bertanya kepada mantan suami saya, siapa tiga wanita gila yang telah menyerang anaknya tersebut. Mereka serempak menjawab bahwa mereka adalah istri sah dari mantan suami saya."

Mbak Mawar hampir menyeka air mata. Tapi karena pancaran kekuatan di dalam hati yang begitu kuat, rasa sakit itu mampu tertahan.

"Bapak saya yang mengidap penyakit jantung pun langsung kambuh karena terkejut. Beliau pingsan, saya sangat panik dan berteriak histeris. Ketika saya cek denyut nadinya, bapak saya telah tiada, dan mereka hanya terdiam tanpa berusaha membantu saya. Saya sangat benci kejadian itu!"

Sambil mengelap meja dengan kain berwarna putih lusuh itu. Mbak mawar melanjutkan cerita tragisnya ini.

"Singkat cerita, setelah bapak saya meninggal, saya minta cerai kepada mantan suami saya. Dia pun menceraikan saya, dan akhirnya saya pun kembali ke Jawa."

Mendengar kisah Mbak Mawar yang pilu, aku hanya bisa terdiam membisu. Aku tidak menyangka dia setegar itu. Entah hanya perasaanku saja atau memang begitu kenyataannya, aku merasa wajah Mbak Mawar menjadi lebih legowo setelah bercerita.

Dalam hatiku berbisik, "Dia semakin mempesona. Tegar. Nilai plus untuk Mbak Mawar. Sungguh aku semakin mengaguminya."

(Magelang. Agustus 2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun