Oleh: Muhammad Khasbi M.
Apa kabar dunia pendidikan tinggi? Mahasiswa apa kabar? Masihkah kalian nyenyak dalam tidur panjang? Mahasiswa yang tercinta, Ibu Pertiwimu sedang dilanda sakit, masih pedulikah kalian?
Di tengah kemelut pongahnya gerakan mahasiswa. Pemerintah melalui Kemenrestekdikti tiba-tiba (akan) membatasi proses komunikasi mahasiswa. Jelas sekali, kebijakan ini akan berdampak buruk bagi gerakan mahasiswa yang tengah mengalami kemelut kepongahan.
Kemenrestekdikti akan membatasi mahasiswa dalam berjejaring di media sosial seperti WhatsApp, IG dan lain sebagainya. Dan, dalam hal ini, Kementerian akan bekerja sama dengan BTPN dan BIN.
Makin mak jleb saja nih para aktivis mahasiswa. Sanggupkah mereka terus bertahan dalam keambiguan semacam ini. Hem, kita lihat saja!
Tapi benarkah demikian?
Menteri Riset Tekhnologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir membela bahwa upaya pembatasan itu adalah untuk pencegahan terorisme dan radikalisme. Pihak Kemenrestekdikti tidak akan memantau satu persatu mahasiswa dalam berekspresi di media sosial.
Tapi mohon maaf Bapak Menteri Yang Mulia, eh, maksudnya Yang Terhormat, apa yang menjadi pertimbangan untuk membuat kebijakan semacam ini? Kami para mahasiswa tentu bertanya-tanya? Untuk apa sebenarnya pengambilalihan ruang privasi kami itu?
Iya, kendatipun Bapak Menteri membela bahwa data nomor telepon dan media sosial mahasiswa dibutuhkan hanya saat ada indikasi 'terorisme dan radikalisme', tapi apakah itu adalah jalan satu-satunya? Apakah itu cukup aman bagi kami yang tak tahu persoalan intelejen? Apakah cukup aman untuk kami yang sedang dalam kepongahan gerakan?
Kami tetap merasa bahwa kebijakan Bapak Menteri ini adalah upaya mengambil alih ruang privasi. Ruang privasi adalah ruang sebebas-bebasnya berekspresi. Ruang privasi sangat dibutuhkan bagi mahluk sosial macam kami. Jika ruang privasi diotak-atik, lalu ke mana kami hendak berekspresi sebebas-bebasnya?
Jadi, mohon dipertimbangkan lagi kebijakan itu. Kami tetap mendukung pemerintah, kok, Pak! Jangan cap kami sebagai orang subversif hanya karena beda pendapat semacam ini. Sebagai warga negara yang baik, kami tetap mendukung sepenuhnya langkah pemerintah untuk memberantas orang-orang yang terpapar terorisme dan radikalisme, titik!
Solusi yang Ambigu
Benar saja, zaman semakin maju. Tekhnologi semakin canggih, bahkan kecanggihannya sampai mengalahkan kecanggihan manusia. Kita tahu itu, dan kita sepakat dengan hal itu. Dan, modernisasasi adalah anak kandung percepatan perubahan semacam itu. Modernisasi menyerempak begitu luas sampai ke sudut terdalam.
Lalu apa konsekuensi logisnya?
Ihwal yang timbul dari pergerakan banter itu adalah kerusakan sistem dan tatanan manusia. Di segi agama, manusia makin teraleniasi. Sedang di segi pendidikan, manusia semakin (merasa) tak membutuhkan 'ilmu', dan seterusnya.
Lalu, efek paling menonjol di beberapa dekade ini (modernisasi) adalah soal terorisme dan radikalisme. Sebuah efek kemajuan tekhnologi yang berbenturan dengan sikap ekslusifisme beragama. Lalu, benarkah terorisme dan radikalisme berbahaya bagi kehidupan manusia?
Benar, sangat berbahaya! Fakta yang terjadi di berbagai belahan dunia akibat terorisme bisa dihitung, misalnya; runtuhnya Gedung WTC New York pada 11 September 2011. Bom bunuh diri di Bali, Bom bunuh diri di depan Gereja daerah Surabaya dan berjubel kasus lainnya. Terorisme dan radikalisme memang sangat berbahaya bagi keberlangsungan kerukunan masyarakat, bahkan kehidupan manusia secara umum.
Tetapi, memburu manusia yang berpaham ekslusif semacam itu dengan pengebirian komunikasi (tawaran dari Kemenrestekdikti) adalah cara yang ambigu (kurang solutif menurut saya). Tak akan pernah menyelesaikan persoalan. Justru, yang ada makin mengeruhkan suasana.
Indonesia adalah negara heterogen. Membatasi komunikasi semacam itu hanya akan mempolarisasikan kembali polarisasi yang sudah ada. Bukan solusi yang solutif, yang ada justru paradoks. Ketika masyarakat Indonesia semakin dibatasi, maka semakin (mencari) kebebasan pula mereka.
Kita sudah cukup belajar pada sejarah Orba di tahun 98-an. Bagaimana ketika kebebasan semakin dibatasi? Luluh lantak!
Pendekatan Lemah Lembut
Memang, saya juga sepakat dengan pendapat Kemenrestekdikti bahwa model pembatasan komunikasi adalah pendekatan lemah lembut. Tapi, ada yang terlupa dari pendapat itu. Apa itu?
Indonesia adalah negara bertuhan. Pancasila adalah manifestasinya. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat bertuhan. Dalam bertuhan, masyarakat Indonesia dinaungi oleh Pancasila. Dari logika implisit itu kita bisa berkesimpulan bahwa; Tuhan masyarakat Indonesia adalah sama.
Lalu, masyarakat Indonesia itu siapa saja? Iya kita semua. Termasuk mereka yang berpaham 'terorisme dan radikalisme'.
Dari kesimpulan itu, kita bisa menemukan sebuah solusi lebih lemah lembut dari solusi Kemenrestekdikti. Apa itu? Mendoakan orang yang terpapar terorisme dan radikalisme supaya mendapat hidayah (pencerahan dari Tuhan). Iya, hanya berdo'a. Kita semua masih punya Tuhan, kok!
Coba bayangkan saja, seluruh masyarakat Indonesia memberondong Tuhan dengan do'a? Apakah Tuhan tidak akan 'welas asih' pada kita? Apakah Tuhan akan membiarkan mahluknya bersedih karena tak terkabul do'anya? Jadi, mari bersama-sama berdo'a pada Tuhan supaya orang yang terpapar terorisme dan radikalisme sadar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H