Mohon tunggu...
Khasbi
Khasbi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Cerita Kehidupan

Mahasiswa IAINU Kebumen. Suka membaca, menulis dan diskusi. Penyuka wacana kritis yang progresif-revolusioner. Aktif di organisasi PMII dan juga salah satu penggagas Institut Literasi Indonesia (ILI).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahasiswa di Tengah Gempuran Terorisme dan Radikalisme

29 Juli 2019   20:01 Diperbarui: 30 Juli 2019   07:56 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Solusi yang Ambigu

Benar saja, zaman semakin maju. Tekhnologi semakin canggih, bahkan kecanggihannya sampai mengalahkan kecanggihan manusia. Kita tahu itu, dan kita sepakat dengan hal itu. Dan, modernisasasi adalah anak kandung percepatan perubahan semacam itu. Modernisasi menyerempak begitu luas sampai ke sudut terdalam.

Lalu apa konsekuensi logisnya?

Ihwal yang timbul dari pergerakan banter itu adalah kerusakan sistem dan tatanan manusia. Di segi agama, manusia makin teraleniasi. Sedang di segi pendidikan, manusia semakin (merasa) tak membutuhkan 'ilmu', dan seterusnya.

Lalu, efek paling menonjol di beberapa dekade ini (modernisasi) adalah soal terorisme dan radikalisme. Sebuah efek kemajuan tekhnologi yang berbenturan dengan sikap ekslusifisme beragama. Lalu, benarkah terorisme dan radikalisme berbahaya bagi kehidupan manusia?

Benar, sangat berbahaya! Fakta yang terjadi di berbagai belahan dunia akibat terorisme bisa dihitung, misalnya; runtuhnya Gedung WTC New York pada 11 September 2011. Bom bunuh diri di Bali, Bom bunuh diri di depan Gereja daerah Surabaya dan berjubel kasus lainnya. Terorisme dan radikalisme memang sangat berbahaya bagi keberlangsungan kerukunan masyarakat, bahkan kehidupan manusia secara umum.

Tetapi, memburu manusia yang berpaham ekslusif semacam itu dengan pengebirian komunikasi (tawaran dari Kemenrestekdikti) adalah cara yang ambigu (kurang solutif menurut saya). Tak akan pernah menyelesaikan persoalan. Justru, yang ada makin mengeruhkan suasana.

Indonesia adalah negara heterogen. Membatasi komunikasi semacam itu hanya akan mempolarisasikan kembali polarisasi yang sudah ada. Bukan solusi yang solutif, yang ada justru paradoks. Ketika masyarakat Indonesia semakin dibatasi, maka semakin (mencari) kebebasan pula mereka.

Kita sudah cukup belajar pada sejarah Orba di tahun 98-an. Bagaimana ketika kebebasan semakin dibatasi? Luluh lantak!


Pendekatan Lemah Lembut

Memang, saya juga sepakat dengan pendapat Kemenrestekdikti bahwa model pembatasan komunikasi adalah pendekatan lemah lembut. Tapi, ada yang terlupa dari pendapat itu. Apa itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun