Mohon tunggu...
Khasbi
Khasbi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Cerita Kehidupan

Mahasiswa IAINU Kebumen. Suka membaca, menulis dan diskusi. Penyuka wacana kritis yang progresif-revolusioner. Aktif di organisasi PMII dan juga salah satu penggagas Institut Literasi Indonesia (ILI).

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pendidikan Adalah Menyalakan Api

28 Juli 2019   19:23 Diperbarui: 28 Juli 2019   21:50 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Muhammad Khasbi M.

Praktik mengajar dalam bingkai microteaching dan PPL sudah berada di depan mata. Tinggal menghitung hari saja!

Perjalanan saya menjadi mahasiswa mbadung ternyata sudah mencapai titik nadhirnya. Hampir bisa dipastikan, selama 7 semester (kecuali semester 1) saya tak pernah masuk kuliah. Yah, begitulah! Petualangan penuh resiko, akhirnya menemukan tembok besar yang tak bisa ditembus juga.

Tak disangka memang, ternyata saya sudah semester 7. Tak disangka juga, ternyata saya sudah tua. Hehe ~

Di usia yang semakin senja, saya dipaksa (dan juga terpaksa) mengubah prinsip dari yang sebelumnya idealis menjadi realistis.

Iya, walaupun sejatinya saya masih bingung mana yang idealis dan mana yang realistis? Tapi, intinya saya disuruh merubah prinsip hidup.

Dulu, prinsip saya seperti ini; "Kalau orang lain bisa, kenapa harus saya?"

Nah, prinsip yang luar biasa itu diganti dengan; "Kalau orang lain bisa, saya juga harus bisa!"

Saya pun akhirnya menurut saja dengan paksaan takdir. Toh, itu hanya masalah prinsip kok. Iya, benar-benar masalah prinsip. Bukan masalah per-cinta-an atau per-hijrah-an yang membuat pening kepala. 

Berbicara soal prinsip jadi kepengen mengulas kembali tentang 'prinsip mengajar' yang selama ini saya pegangi. Iya itung-itung mengingat kembali mata kuliah di semester 1 kala itu. Prinsip mengajar saya ini terinspirasi dari ucapan William Butler Yeats; "Pendidikan bukan mengisi ember, tetapi menyalakan api."

Kalimat itu benar-benar merobek tatanan berpikir saya yang waktu itu masih kolot. Maklum, baru lulus sih!

Dulu, saya beranggapan bahwa seorang yang telah 'makan bangku sekolah' pasti akan menjadi orang sukses. Iya, pokoknya kalau sekolah itu bakalan jadi orang kaya. Bakalan jadi orang yang punya motor, mobil dan rumah dan lain sebagainya!

Ternyata tak semudah itu, Ferguso!

Jika makan bangku sekolah mampu memastikan orang menjadi sukses, maka proposisi itu salah besar. Makan bangku sekolah tak sama sekali menjamin orang menjadi sukses (red. matrealistik). Paling pol, makan bangku sekolah akan menjadikan kita 'pernah dibohongi' oleh 'mereka'. Sebuah kebohongan yang terstruktur, sistematis dan massif!


Pendidikan Adalah Menyalakan Api

Institusi pendidikan manapun, tak akan mampu menjamin siswanya menjadi orang yang sukses. Bahkan sekelas institusi pendidikan milik luar negeri (yang katanya lebih maju) juga tak mampu menjamin.

Oke, jika kalian memaksa mengatakan; 'ada' institusi pendidikan yang menjamin orang menjadi sukses. Saya juga akan menjawab; suksesnya pun, paling banter hanya menjadi karyawan (pabrik, kantor dst.) Iya, kesuksesan yang sangat berbau matrealistik.

Kesuksesan palsu semacam itu tak terlepas dari adanya pengebirian akal manusia. Dalam arti lain, siswa harus menjadi seragam, teratur dan manut. Misalnya, siswa yang tak memakai sepatu berwarna hitam akan didenda. Atau, siswa yang 'kurang bisa matematika' dipaksa menelan (mentah-mentah) matematika. Abstraksi ini sangat cocok dengan penggalan kalimat William Butler Yeats; "Pendidikan bukan mengisi ember.."

Dari ucapan William Butler Yeats itulah kita bisa menemukan solusi yang tepat bagi masalah pendidikan di atas. Bahwa pendidikan bukan sekedar mengisi ember, melainkan menyalakan api. Pendidikan bukan sekedar mentransfer ilmu pengetahuan saja (kemudian mengebiri kekreatifitasan), melainkan memberi motivasi dan prinsip yang kuat kepada para siswa (menumbuhkan kekreatifitasan).

Guru tak lagi menjadi dewa pengetahuan (yang memaksa). Guru harus berubah menjadi fasilitator. Mewadahi, mengarahkan, membimbing dst.. para siswa. Menjadikan dirinya sendiri sebagai pendamping, bukan penguasa siswa. Tapi tetap menjaga marwah guru; digugu lan ditiru-nya.

Iya, begitulah prinsip (pendidikan) yang saya pegang. Tapi itu dulu! Sekarang harus realistis. Tak boleh neko-neko. Kudu mengikuti arus--menjadikan siswa sebagai ember yang terus-terusan diisi.

Bahkan, yang aneh, ketika saya microteaching tapi yang jadi muridnya adalah mahasiswa. Sangat tak masuk akal. Bagaimana bisa kita belajar menghadapi situasi kelas di sekolah-sekolah jika yang jadi murid adalah mahasiswa, teman kita sendiri? 

Sementara, jelas tertulis dalam RPP, yang menjadi objek pendidikan adalah siswa MTs kelas VII?

Bukankah seharusnya pendidikan adalah menyalakan api? Kenapa banyak di institusi pendidikan masih terus menyebut api sebagai penyebab kerusakan (kebakaran)?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun