Dulu, saya beranggapan bahwa seorang yang telah 'makan bangku sekolah' pasti akan menjadi orang sukses. Iya, pokoknya kalau sekolah itu bakalan jadi orang kaya. Bakalan jadi orang yang punya motor, mobil dan rumah dan lain sebagainya!
Ternyata tak semudah itu, Ferguso!
Jika makan bangku sekolah mampu memastikan orang menjadi sukses, maka proposisi itu salah besar. Makan bangku sekolah tak sama sekali menjamin orang menjadi sukses (red. matrealistik). Paling pol, makan bangku sekolah akan menjadikan kita 'pernah dibohongi' oleh 'mereka'. Sebuah kebohongan yang terstruktur, sistematis dan massif!
Pendidikan Adalah Menyalakan Api
Institusi pendidikan manapun, tak akan mampu menjamin siswanya menjadi orang yang sukses. Bahkan sekelas institusi pendidikan milik luar negeri (yang katanya lebih maju) juga tak mampu menjamin.
Oke, jika kalian memaksa mengatakan; 'ada' institusi pendidikan yang menjamin orang menjadi sukses. Saya juga akan menjawab; suksesnya pun, paling banter hanya menjadi karyawan (pabrik, kantor dst.) Iya, kesuksesan yang sangat berbau matrealistik.
Kesuksesan palsu semacam itu tak terlepas dari adanya pengebirian akal manusia. Dalam arti lain, siswa harus menjadi seragam, teratur dan manut. Misalnya, siswa yang tak memakai sepatu berwarna hitam akan didenda. Atau, siswa yang 'kurang bisa matematika' dipaksa menelan (mentah-mentah) matematika. Abstraksi ini sangat cocok dengan penggalan kalimat William Butler Yeats; "Pendidikan bukan mengisi ember.."
Dari ucapan William Butler Yeats itulah kita bisa menemukan solusi yang tepat bagi masalah pendidikan di atas. Bahwa pendidikan bukan sekedar mengisi ember, melainkan menyalakan api. Pendidikan bukan sekedar mentransfer ilmu pengetahuan saja (kemudian mengebiri kekreatifitasan), melainkan memberi motivasi dan prinsip yang kuat kepada para siswa (menumbuhkan kekreatifitasan).
Guru tak lagi menjadi dewa pengetahuan (yang memaksa). Guru harus berubah menjadi fasilitator. Mewadahi, mengarahkan, membimbing dst.. para siswa. Menjadikan dirinya sendiri sebagai pendamping, bukan penguasa siswa. Tapi tetap menjaga marwah guru; digugu lan ditiru-nya.
Iya, begitulah prinsip (pendidikan) yang saya pegang. Tapi itu dulu! Sekarang harus realistis. Tak boleh neko-neko. Kudu mengikuti arus--menjadikan siswa sebagai ember yang terus-terusan diisi.
Bahkan, yang aneh, ketika saya microteaching tapi yang jadi muridnya adalah mahasiswa. Sangat tak masuk akal. Bagaimana bisa kita belajar menghadapi situasi kelas di sekolah-sekolah jika yang jadi murid adalah mahasiswa, teman kita sendiri?Â