Â
Hak Angket di Pusaran Kekuasaan Represif
Oleh Muhammad Julijanto
Apapun kondisinya hak angket perlu dilakukan. Untuk menguji bagaimana pelaksanaan pemilihan umum. Kita tidak punya cara selain mempertanyakan secara konstitusional melalui mekanisme hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dasar hukum hak angket sebagaimana termaktub dalam Pasal 20 A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak angket juga diatur dalam Undang-Udang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang dikenal dengan UU MD3.
Hak angket merupakan hak yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hal itu bertujuan untuk mengawasi pemerintah dan memastikan akuntabilitasnya terhadap rakyat. Dalam praktiknya, hak angket dapat berdampak pada pemecatan anggota pemerintahan yang bersalah atau sanksi hukum yang sesuai dengan jenis, bobot dan kadar pelanggaran yang dilakukan.
Di sinilah DPR dapat mempertanyakan berbagai hal terkait pelaksanaan pemilu dari tahapan awal hingga tahapan berjalan, bila ada pelanggaran yang terkait pidana pemilu segera diproses, bila ada pelanggaran administrasi segera diproses, bila ada di tahapan rekapitulasi dan penetapan hasil pemilu terjadi sengketa, maka diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan secara hukum.
Secara kasat mata ada upaya-upaya menggunakan instrumen negara digunakan oleh rejim untuk memenangkan pemilihan umum, dan bahkan sudah sejak zaman dahulu, tidak pernah dievaluasi. Ada pelanggarannya namun tidak cukup bukti untuk diajukan ke proses peradilan, karena tidak ada bukti laporan. Adapun korban maupun pelaku tidak mau melaporkan kepada pihak berwenang merasa terganggunya privasi.
Keberanian dan antusiasme rakyat dalam mengawal jalannya proses pemilu sebenarnya sudah dimotori kelompok Masyarakat sipil, baik dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dunia pers, maupun dunia kampus yang mempunyai kebebasan mimbar akademik dapat mengajukan kritik dan saran yang membangun dalam mewujudkan pemilihan umum demokratis, bermartabat.
Terjunnya dunia kampus melalui dewan guru besar maupun senat perguruan tinggi menyuarakan suara demokrasi, menyuarakan amanat penderitaan rakyat namun minim tanggapan dan dianggap sebagai upaya untuk menyerang kelompok yang sehaluan dengan kepentingan rejim berkuasa.