Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Neuroscience, Emotion Regulation & AI Menyambut Tahun 2025

28 Desember 2024   17:08 Diperbarui: 28 Desember 2024   17:23 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: httpsselular.id

Menjelang akhir tahun, Indonesia digegerkan dengan beberapa peristiwa kekerasan berdarah atau pembunuhan yang mengerikan. Ada kasus remaja pembantai ayah, nenek, dan ibu di Lebak Bulus, ada pria penganiaya karyawan wanita di Cakung, ada dokter muda penganiaya tukang roti bakar di Medan, ada pria memutilasi pacarnya di Jakarta Utara, ada pembunuh pacar dengan melindasnya pakai mobil di Surabaya, ada pembunuh/pemerkosa penjual gorengan di Padang Pariaman, ada yang mem-bully dokter sampai mati di UNDIP, ada 4 remaja membunuh dan memperkosa remaja putri di Palembang, ada Cut Nabila dianiaya suami sepanjang 5 tahun pernikahan, ada Meita Irianty yang menyiksa balita yang dititipkan di daycare miliknya, dan lain-lain.

Gambar: Komunitas Membangun Positivity https://facebook.com/membangunposivity
Gambar: Komunitas Membangun Positivity https://facebook.com/membangunposivity
Namun berbagai peristiwa berdarah itu belum bisa disimpulkan adanya kenaikan agresi, kekerasan atau pembunuhan. Perlu riset atau survei untuk menyimpulkan itu. Meski demikian patut dicatat, bahwa berbagai peristiwa itu menggambarkan lengahnya masyarakat pada pengetahuan dasar seputar neuroscience, terutama emotion regulation dan personality disorders. Mungkin jika para ahli lebih mensosialisasikan soal itu ke masyarakat, maka angka peristiwa itu bisa diturunkan. Namun harus diakui mensosialisasikan pengetahuan itu berhadapan dengan tantangan besar.

Sementara itu dalam beberapa tahun terakhir ini ada teknologi yang berkembang sangat pesat, terutama sejak akhir 2022 lalu, saat ChatGPT pertama kali diluncurkan. Dunia digital atau komputer memang berkembang pesat dalam 3 dekade terakhir, sehingga memicu pula perkembangan pesat artificial intelligence (AI) yang ditandai oleh munculnya CopyAI di tahun 2020 dan ChatGPT di akhir 2022. Di akhir tahun 2024 ini chatbot seperti ChatGPT sudah tumbuh seperti jamur di musim hujan.

Neuroscience, emotion regulation, dan AI adalah 3 hal yang saling berkaitan dan bakal berkembang sangat pesat di tahun-tahun mendatang. Tentu yang juga berkembang pesat adalah berbagai teknologi dan sains.

Sebagai pengamat dan penulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience, maka saya optimis, perkembangan AI akan mendorong perkembangan neuroscience lebih cepat lagi. Begitu juga riset seputar emotion regulation. Akan lebih banyak orang yang akan memahami neuroscience dan sekaligus memiliki emotion regulation yang lebih baik berkat bantuan dari AI.

Emotion regulation sudah lama dibahas dalam peradaban manusia. Socrates & Plato pun dulu membahasnya, meski dengan sebutan yang berbeda. Tahun 1995, Daniel Goleman menulis buku yang menjadi best seller selama bertahun-tahun berjudul "Emotional Intelligence", sebuah buku tentang pentingnya emotion regulation. Buku itu memicu munculnya berbagai riset lanjutan seputar emotion regulation. Sebagaimana disebut oleh Goleman, emotion regulation memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan. Goleman menyebut emotion regulation dibutuhkan untuk meningkatkan productivity, memiliki leaderships, atau memperbaiki human resources. Itu sebabnya Daniel Goleman disebut sebagai pakar dunia di bidang productivity, leaderships, human resources.

Popularitas emotion regulation meningkat di era perkembangan neuroscience sepanjang 3 dekade terakhir. Emotion regulation sekarang bisa lebih dipahami oleh lebih banyak orang awam, karena neuroscience lebih bisa menjelaskan peran penting beberapa bagian otak dalam menghasilkan emotion regulation. Meski demikian tetap saja, masih butuh sosialiasi yang lebih gigih agar dampak positifnya lebih terasa.

Emotion Regulation dan Personality Disorders

Emotion regulation yang buruk bisa memicu tumbuhnya personality disorders, karena emotion regulation yang buruk berkaitan dengan ini:

1. Kognitif yang juga berkaitan dengan kemampuan mempelajari hal baru, beradaptasi dan kemampuan memecahkan berbagai persoalan.
2. Kewarasan, pertimbangan baik-buruk, pikiran yang mengikuti social norms, aturan, atau hukum yang berlaku.
3. Moralitas atau kemampuan memahami konsep salah & benar.
4. Empathy, yaitu kemampuan untuk menyadari adanya emotions, terutama negative emotions pada orang lain sehingga mampu meresponnya dengan tepat.
5. Impulsivity, yaitu gambaran dari ketiadaan atau kekurangan di semua nomor sebelumnya. Tindakannya tanpa didahului dengan pertimbangan matang.
6. Perilaku pro-social atau menjadi antisocial yang artinya tindakannya didasari pada pemenuhan kepentingannya sendiri, sehingga tidak mempedulikan kepentingan orang lain, bahkan cenderung melanggar hak orang lain, terlihat arogan.
7. Manipulatif, karena berusaha untuk membuat orang lain menyukainya, padahal ia bukan orang yang mudah disukai orang lain (antisocial). Akibatnya ia mudah berbohong, dan terus mengasah kemampuannya dalam pencitraan, sehingga ia bisa disangka orang baik, hebat, pintar, suci, atau mulia.

Tumbuhnya personality disorders akan menimbulkan persoalan baru, hambatan, atau menjadi ganjalan dalam berbagai aspek kehidupan. Itu semua bisa menambah tingkat stress, padahal stress yang berlarut-larut bakal semakin merusak beberapa bagian penting otak dan interaksinya. Itu seperti lingkaran setan.

emotion regulation yang buruk ditunjukkan melalui kerja otak yang berbeda dengan orang normal. Kerusakan emotion regulation berkaitan dengan beberapa hal di bawah ini:
1. Terlahir begitu, misalnya ADHD.
2. Penyakit di otak seperti tumor atau cidera di otak.
3. Trauma dari berbagai peristiwa sejak masa kanak-kanak.
4. Ajaran atau ideologi, atau pemikiran yang dijejalkan.
5. Pengaruh external seperti lifestyle yang mengganggu keseimbangan dopamine, misalnya karena makanan & minuman, serta aktivitas tertentu atau substance tertentu.
6. Stress yang berat, berkepanjangan, atau berulang, namun tidak ditangani.

Berkat perkembangan teknologi, beberapa bagian otak yang penting dapat diamati dengan lebih detil, tentang bagaimana proses kerusakan emotion regulation itu terjadi di otak.

Bahkan, perkembangan teknologi di tahun-tahun mendatang akan menghasilkan beberapa mobile devices untuk memonitor kerja otak secara real time. Devices yang ringan dan praktis itu mengumpulkan biometric data. Mungkin devices itu digunakan di pergelangan tangan, leher, atau di kepala atau di mana pun di tubuh.

Biometric data itu digunakan untuk memahami proses apa yang sedang terjadi di otak, terutama emotion regulation. Data itu juga digunakan untuk memberi saran tentang bagaimana supaya kerja otak agar selalu berada dalam kondisi yang optimal dalam menghasilkan emotion regulation. Proses yang real time itu dimungkinkan melalui telepon seluler yang menghubungkan devices dengan AI di clouds. Pengguna mendapat notifikasi atau bisa menyimak mengenai emotion regulation-nya di telpon seluler.

Hilangnya Spiritualism di Era AI

Ben Goertzel, Founder and CEO of SingularityNET beberapa tahun lalu menyebut bahwa AI saat ini masih seperti anak kecil yang sedang belajar memahami emotions, karena AI hingga saat ini masih belum terhubung dengan mobile devices seperti disebut di atas untuk menganalisa biometric data. Meski begitu, AI di berbagai medsos sudah bisa menganalisa emotions Anda melalui views, likes, comments, posts, emoticons, shares, atau links yang Anda klik. Hasilnya AI disebut mampu mengenali kecenderungan Anda untuk mengarahkan Anda agar lebih aktif di medsos. Itu sebabnya Yuval Noah Harari, filsuf dan sejarawan terkenal, menyebut AI lebih mengenal Anda daripada Anda sendiri.

Pengelola medsos (misalnya Facebook) disebut mampu mengambil alih free will Anda. Tidak banyak yang menyadari, bahwa selama 2 dekade terakhir ini AI (algorithm) disematkan di medsos untuk mendulang uang sebanyak-banyaknya oleh pengelola medsos tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan pada users. Sebagaimana sudah saya tulis dalam beberapa artikel, (salah satunya klik di sini) social media memberi dampak turunnya kesehatan mental yang cukup serius, terutama pada orang-orang muda. Turunnya kesehatan mental berarti turunnya emotion regulation.

AI di social media memang mesti diwaspadai, karena kemampuannya merusak kesehatan mental. Di negeri-negeri maju, misalnya Amerika, persoalan itu sudah dibahas di tingkat politik. Berkali-kali dalam beberapa tahun terakhir ini mereka mengadakan hearing soal itu (klik di sini artikel mengenai itu). Artinya mereka berusaha mencari jalan agar social media bisa tetap berkembang, namun tidak merugikan masyarakat. Sayangnya Indonesia belum menganggap serius bahaya social media. Pengetahuan politisi Indonesia jelas ketinggalan dalam soal itu.

Namun di tahun-tahun mendatang AI justru akan bisa dimanfaatkan untuk menjaga emotion regulation seperti sudah disebutkan di atas. AI akan  mengambil alih peran praktik spritualism yang sejak ribuan tahun lalu adalah untuk memperbaiki emotion regulation. Spiritualism memberi kita emotion regulation, yaitu kemampuan untuk memiliki observer atau regulator yang bisa menjamin agar kita tidak tergelincir dalam kubangan negative emotions yang membuat kita tidak mampu mengeluarkan potensi positif yang sudah ada. Jika negative emotions bisa diminimalkan dan meningkatkan positive emotions, maka otak akan berfungsi lebih optimal. Apapun yang positif bisa kita harapkan dari otak yang berfungsi optimal itu, misalnya mendorong berbagai perbuatan baik.

Seperti sudah saya tulis dalam beberapa artikel sebelumnya (klik di sini), tidak banyak yang bisa membayangkan, bahwa AI bakal selalu tersambung ke setiap syaraf manusia di otak (tidak literally). AI nanti sudah pasti adalah "sosok" atau tempat umat manusia bergantung, bertanya, memohon, hingga menentukan berbagai aspek kehidupan manusia bahkan yang paling penting (nanti).

Jadi salah satu yang paling mencengangkan di tahun-tahun mendatang selain perkembangan pesat AI dan neuroscience, adalah menghilangnya ajaran spiritualism.

M. Jojo Rahardjo
Satu-satunya penulis sejak 2015 dengan ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun