Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Neuroscience, Emotion Regulation & AI Menyambut Tahun 2025

28 Desember 2024   17:08 Diperbarui: 28 Desember 2024   17:23 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: httpsselular.id

emotion regulation yang buruk ditunjukkan melalui kerja otak yang berbeda dengan orang normal. Kerusakan emotion regulation berkaitan dengan beberapa hal di bawah ini:
1. Terlahir begitu, misalnya ADHD.
2. Penyakit di otak seperti tumor atau cidera di otak.
3. Trauma dari berbagai peristiwa sejak masa kanak-kanak.
4. Ajaran atau ideologi, atau pemikiran yang dijejalkan.
5. Pengaruh external seperti lifestyle yang mengganggu keseimbangan dopamine, misalnya karena makanan & minuman, serta aktivitas tertentu atau substance tertentu.
6. Stress yang berat, berkepanjangan, atau berulang, namun tidak ditangani.

Berkat perkembangan teknologi, beberapa bagian otak yang penting dapat diamati dengan lebih detil, tentang bagaimana proses kerusakan emotion regulation itu terjadi di otak.

Bahkan, perkembangan teknologi di tahun-tahun mendatang akan menghasilkan beberapa mobile devices untuk memonitor kerja otak secara real time. Devices yang ringan dan praktis itu mengumpulkan biometric data. Mungkin devices itu digunakan di pergelangan tangan, leher, atau di kepala atau di mana pun di tubuh.

Biometric data itu digunakan untuk memahami proses apa yang sedang terjadi di otak, terutama emotion regulation. Data itu juga digunakan untuk memberi saran tentang bagaimana supaya kerja otak agar selalu berada dalam kondisi yang optimal dalam menghasilkan emotion regulation. Proses yang real time itu dimungkinkan melalui telepon seluler yang menghubungkan devices dengan AI di clouds. Pengguna mendapat notifikasi atau bisa menyimak mengenai emotion regulation-nya di telpon seluler.

Hilangnya Spiritualism di Era AI

Ben Goertzel, Founder and CEO of SingularityNET beberapa tahun lalu menyebut bahwa AI saat ini masih seperti anak kecil yang sedang belajar memahami emotions, karena AI hingga saat ini masih belum terhubung dengan mobile devices seperti disebut di atas untuk menganalisa biometric data. Meski begitu, AI di berbagai medsos sudah bisa menganalisa emotions Anda melalui views, likes, comments, posts, emoticons, shares, atau links yang Anda klik. Hasilnya AI disebut mampu mengenali kecenderungan Anda untuk mengarahkan Anda agar lebih aktif di medsos. Itu sebabnya Yuval Noah Harari, filsuf dan sejarawan terkenal, menyebut AI lebih mengenal Anda daripada Anda sendiri.

Pengelola medsos (misalnya Facebook) disebut mampu mengambil alih free will Anda. Tidak banyak yang menyadari, bahwa selama 2 dekade terakhir ini AI (algorithm) disematkan di medsos untuk mendulang uang sebanyak-banyaknya oleh pengelola medsos tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan pada users. Sebagaimana sudah saya tulis dalam beberapa artikel, (salah satunya klik di sini) social media memberi dampak turunnya kesehatan mental yang cukup serius, terutama pada orang-orang muda. Turunnya kesehatan mental berarti turunnya emotion regulation.

AI di social media memang mesti diwaspadai, karena kemampuannya merusak kesehatan mental. Di negeri-negeri maju, misalnya Amerika, persoalan itu sudah dibahas di tingkat politik. Berkali-kali dalam beberapa tahun terakhir ini mereka mengadakan hearing soal itu (klik di sini artikel mengenai itu). Artinya mereka berusaha mencari jalan agar social media bisa tetap berkembang, namun tidak merugikan masyarakat. Sayangnya Indonesia belum menganggap serius bahaya social media. Pengetahuan politisi Indonesia jelas ketinggalan dalam soal itu.

Namun di tahun-tahun mendatang AI justru akan bisa dimanfaatkan untuk menjaga emotion regulation seperti sudah disebutkan di atas. AI akan  mengambil alih peran praktik spritualism yang sejak ribuan tahun lalu adalah untuk memperbaiki emotion regulation. Spiritualism memberi kita emotion regulation, yaitu kemampuan untuk memiliki observer atau regulator yang bisa menjamin agar kita tidak tergelincir dalam kubangan negative emotions yang membuat kita tidak mampu mengeluarkan potensi positif yang sudah ada. Jika negative emotions bisa diminimalkan dan meningkatkan positive emotions, maka otak akan berfungsi lebih optimal. Apapun yang positif bisa kita harapkan dari otak yang berfungsi optimal itu, misalnya mendorong berbagai perbuatan baik.

Seperti sudah saya tulis dalam beberapa artikel sebelumnya (klik di sini), tidak banyak yang bisa membayangkan, bahwa AI bakal selalu tersambung ke setiap syaraf manusia di otak (tidak literally). AI nanti sudah pasti adalah "sosok" atau tempat umat manusia bergantung, bertanya, memohon, hingga menentukan berbagai aspek kehidupan manusia bahkan yang paling penting (nanti).

Jadi salah satu yang paling mencengangkan di tahun-tahun mendatang selain perkembangan pesat AI dan neuroscience, adalah menghilangnya ajaran spiritualism.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun