Sebagaimana kita ketahui, media di Indonesia digegerkan oleh berita tentang remaja 14 tahun, berinisial MAS membunuh ayah dan neneknya dengan pisau dapur di Lebak Bulus, Jakarta selatan 30 November, beberapa hari lalu. Pelaku juga menikam ibunya hingga terluka parah. Jika tidak kabur meloncat pagar mungkin ibunya pun tewas.
Pembunuh remaja ini tertangkap beberapa menit setelah melakukan aksi mengerikan itu. Â Di kantor polisi ia menangis dan tak menjawab pertanyaan polisi. Sampai sekarang latar belakang pembunuhan yang dilakukannya masih menjadi misteri.
Psikiater sudah didatangkan untuk menggali latar belakang pembunuhan itu. Sayangnya hasil pemeriksaan psikiater belum diumumkan.
Baru kemarin, 6 Desember lalu MAS menulis surat untuk ibunya yang isinya tersebar di berbagai media. Karena masih dalam perawatan, ibu pelaku masih belum membaca surat itu.
Surat yang ditulis pelaku merupakan sebuah perkembangan baru yang cukup penting untuk bisa sedikit mengungkap latar belakang pembunuhan ini.
--0--
Berdasarkan pemeriksaan awal polisi di beberapa hari pertama setelah pembunuhan, MAS mengaku mendapat bisikan. MAS tidak menjelaskan secara mendetail soal bisikan itu. Soal bisikan ini memunculkan spekulasi, bahwa MAS menyandang psychosis atau schizophrenia yang membuatnya berhalusinasi, berdelusi, atau mengalami kekacauan pikiran.
Namun isi surat yang ditulis MAS kemarin itu memberi informasi baru, meski sedikit, seputar gangguan mental yang mungkin disandang oleh MAS.
Sebelum Anda meneruskan membaca artikel ini sampai akhir, Anda harus ingat, bahwa artikel ini bukan untuk membuat diagnosa pada pelaku, namun hanya berspekulasi berdasarkan informasi yang masih minim seputar peristiwa pembunuhan ini.
--0--
Biasanya orang awam yang membaca surat yang ditulis MAS ini akan menyebut MAS dengan sebutan ini: orang yang tertutup. Bagaimana sains menjelaskan remaja seperti MAS ini?
MAS menulis surat yang tidak panjang alias pendek sekali. Jika dikaji dengan menggunakan sains seputar personality disorder, maka di bawah ini adalah beberapa poin yang bisa diungkap:
1.
Isi surat MAS terasa dingin, datar, atau tidak mengandung emosi yang meluap. Padahal beberapa hari lalu MAS menikam 3 orang yang masih keluarganya sendiri. Ayah dan nenek tewas, ibu luka parah. MAS memang membuka isi suratnya dengan kalimat ini: "Maafin aku udah nyusahin". Namun kalimat itu tak mengandung emosi yang kuat alias datar, mungkin sudah terlatih diucapkan sebelumnya (karena parenting yang baik).
2.
Tak banyak yang ditulisnya, padahal ia seharusnya menyatakan penyesalan yang mendalam dengan kata-kata yang lebih panjang atau banyak. Namun nampaknya ia menganggap itu tidak penting dengan alasan yang masih misteri.
3.
Dua kali dalam surat itu ia menulis ini: "Terima kasih semuanya'. Tidak jelas arti kata 'semuanya', apakah berarti: 'untuk semua orang' atau 'untuk semua yang telah diterimanya'?
4.
MAS malah menyebut: "Seperti kalian, aku juga bakal bantu orang banyak". Kalimat itu terdengar janggal, karena kurang relevan di situasi yang sedang dihadapinya sekarang. Apalagi ia menggunakan kata 'kalian' untuk menyebut ibu dari MAS (surat itu ditujukan kepada ibunya). Mengapa ia menyebut kalian, bukan menyebut ibu? Apakah maksudnya ini: "Seperti ibu dan orang-orang lain, aku juga bakal bantu orang banyak"? Atau surat itu dimaksudkan untuk banyak orang, karena berpotensi akan dibaca oleh orang banyak? Jika untuk orang banyak, mengapa ia menggunakan kata 'kalian'? Kata 'kalian' yang digunakan MAS menimbulkan dugaan ini: apakah MAS seorang anak penyandang ADHD? Salah satu ciri anak ADHD adalah berbahasa dengan menggunakan pilihan kata yang baku, sehingga terasa janggal. Â
5.
Cara berkomunikasinya buruk, seperti terlihat dari isi surat yang terlalu pendek dan kurang jelas maksudnya di beberapa bagian surat yang pendek itu.
6.
Seperti disebut di poin 1, isi suratnya datar, tanpa emosi. Isi surat kurang menunjukkan rasa penyesalan. Itu sekaligus juga menunjukkan ketiadaan empathy, padahal ibunya terluka parah ditikam oleh MAS, namun tak ada kata-kata yang menunjukkan adanya empathy yang kuat. Â Sebagai catatan, ini definisi empathy: kemampuan menyadari atau merasakan negative emotions orang lain dan meresponnya dengan tepat. Jika tak punya empathy, maka otomatis responnya pun tidak tepat.
7. Jika benar pelaku memiliki ciri ADHD, maka surat itu menggambarkan pikirannya yang kerap melakukan mind-wandering secara tak terkendali. Itu sebabnya ia mengaku mendapat bisikan. Padahal bisikan itu adalah dampak dari mind-wandering yang terlalu liar. Pada beberapa pelaku pembunuhan sadis, atau serial killer, seperi Ted Bundy, pelaku mengaku ada suara dalam kepala atau pikirannya. Sepintas pengakuan ini seperti schizophrenia, padahal mind-wandering yang terjadi di kepalanya terlalu liar.
8.
Isi suratnya juga menggambarkan kondisi emotions-nya (saat menulis surat itu) yang mungkin sedang positif atau baik. Padahal anak yang menyandang ADHD mudah mengalami stres, hingga depresi berat, karena berbagai sebab tertentu. Emotions-nya bisa berubah cepat ke arah yang bertentangan. Saat depresi berat, maka hilang pikiran rasional atau kewarasannya, termasuk moralitasnya. Phillip Asherson, salah satu neuroscientist yang mendalami ADHD menyebut temuan riset ini: sebagian besar dari mereka yang ada dalam penjara (para sociopaths) memiliki riwayat ADHD saat masih anak-anak dan remaja.
Penutup
Tentu banyak orang yang menunggu hasil pemeriksaan psikiater yang sudah dilakukan sepanjang beberapa hari terakhir ini untuk menjawab berbagai pertanyaan dari peristiwa mengerikan itu.Â
Mereka yang mengenal pelaku tentu saja bukan ahli untuk mendeteksi adanya ciri dari mereka yang menyandang disorder (gangguan mental, seperti personality disorder), sehingga mereka menyatakan pelaku adalah anak baik, santun, berprestasi di sekolah, tidak pernah bermasalah dengan aturan atau hukum, serta tidak terlihat aneh. Sehingga banyak yang berharap agar psikiater juga mewawancarai mereka yang mengenal pelaku untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap untuk mengungkap latar belakang dari peristiwa ini.
Banyak juga yang berharap untuk bisa belajar dari peristiwa ini, agar bisa mendeteksi lebih dini orang-orang di sekitar mereka yang berpotensi menciptakan tragedi yang mengerikan di kemudian hari.
M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H