Beberapa kali ada yang mengecam saya di media sosial seperti ini: Ahli neuroscience kok berpihak atau mendukung capres tertentu?
Tentu itu harus diluruskan:
Pertama,
Saya bukan ahli neuroscience, karena saya hanya citizen scientist. Itu sebutan yang populer untuk netizen yang aktif mensosialisasikan atau mempopulerkan berbagai riset yang dilakukan oleh para scientist di berbagai universitas atau lembaga riset.
Scientists memang membutuhkan citizen scientists yang dulu perannya dipanggul oleh para jurnalis di berbagai media. Itu karena kebanyakan scientists tidak mahir dalam penulisan populer untuk berbagai media.
Meski saya bukan scientist yang melakukan riset dan membuat penemuan penting, saya sudah menulis ratusan artikel dan video. Anda bisa melihat kumpulan tulisan saya salah satunya di Kompasania dan juga di berbagai akun medsos saya lainnya. Tulisan saya dikutip oleh akademisi Indonesia atau mereka yang belajar neuroscience di berbagai universitas. Mereka mengutip tulisan saya di beberapa buku mereka.
Kedua,
Sebagai citizen scientist saya harus menunjukkan manfaat dari berbagai riset neuroscience yang telah saya sosialisasikan sejak tahun 2015. Misalnya tentang bagaimana mendeteksi potensi kerugian yang bakal dialami masyarakat jika memilih satu capres tertentu.
Dalam beberapa artikel yang saya tulis beberapa tahun belakangan ini, saya sering membahas tentang personality disorder yang banyak disandang oleh politisi, termasuk juga para capres.
Saya juga membahas capres mana saja yang personality disorder-nya paling menonjol, seperti: narcissist, atau sociopath, atau juga psychopath.
Pilpres kali ini berbeda banget dengan beberapa pilpres sebelumnya. Dulu, capres yang bukan lesser evil sangat jelas. Sedangkan sekarang semua capresnya nampak sebagai lesser evils, sehingga untuk memilih capres, sebaiknya kita juga harus menghitung siapa saja yang berada di sekitar capres atau siapa saja yang berada di belakang capres.
Bagaimana menghitungnya? Tentu bukan dengan menggunakan ukuran moral, atau "etik ndasmu", norma, atau aturan, karena itu hanya akan menghasilkan perdebatan panjang dari mereka yang menganggap dirinya brilian, akademisi, atau intelektual.
Y.N. Harari, sejarawan terkenal bilang kira-kira seperti ini: Sejarah dibentuk oleh stories atau fictions, bukan oleh moralitas. Sedangkan neuroscience memberi pembenaran untuk Harari dengan menyebut begini: Sejarah hitam dibentuk oleh mereka yang memiliki personality disorder melalui "great" fictions yang mereka lemparkan ke sekitarnya. Contoh untuk ini misalnya kisah seputar Alexander the Great yang mengklaim sebagai keturunan dewa-dewi. Padahal penaklukan Alexander  menghasilkan jumlah korban tewas yang fantastis di masa itu. Begitu juga Adolf Hitler.
Sedangkan sejarah yang baik dibentuk oleh mereka yang memiliki emotion regulation melalui stories atau fictions juga. Berbagai sejarah seputar spiritualisme adalah contohnya.
Oleh karena itu, ini saran dari neuroscience dalam memilih capres: Hitung keberadaan orang yang memiliki emotion regulation, karena emotion regulation mudah menular ke sekelilingnya. Satu orang saja sudah cukup. Dalam catatan sejarah pengaruh satu orang bisa terus bertahan hingga ribuan tahun, misalnya Siddhartha Gautama.
Emotion regulation adalah cara manusia untuk meninggalkan primitive instinct agar executive function di otak bekerja lebih maksimal. Hanya manusia yang memiliki executive function yang terbukti mampu menciptakan dominasi di planet Bumi. Executive function yang telah melesatkan peradaban manusia dalam beberapa ratus tahun terakhir dari sejarah panjang evolusi yang panjangnya 3 miliar tahun di planet Bumi.
M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H