Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Benarkah AI Tidak Mungkin Memiliki Emosi?

16 Maret 2023   22:40 Diperbarui: 30 Agustus 2023   11:39 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: NewScientist.com

Pernah dengar bahwa psikopat tidak memiliki emosi?

Itu salah satu dari beberapa salah kaprah tentang psikopat yang sudah cukup lama. Padahal menurut beberapa riset (klik di sini) psikopat juga memiliki emosi. 

Namun psikopat tidak (kurang) mampu mengenali adanya emosi di orang lain, sehingga ia merespon emosi orang lain dengan cara yang tidak tepat. 

Misalnya psikopat disebut tidak memiliki empati, itu artinya ia tidak memiliki kemampuan merasakan emosi negatif dari orang lain seperti sedih, takut, atau menderita, sehingga ia tidak tergerak melakukan sesuatu yang positif bagi orang itu.

Ketidakmampuan itu membuat psikopat bisa memperlakukan orang lain dengan kejam sekali, atau merugikan sekali, karena ia tidak mampu mengenali emosi negatif dari orang lain, seperti takut, sedih, menderita. 

Jika psikopat itu seorang pejabat pemerintah atau politisi, maka langkah atau kebjikannya bisa mengabaikan keselamatan masyarakat. 

Tentu kekejaman itu juga disebabkan karena ketidakmampuannya memahami konsep salah dan benar (salah satu ciri lain dari psikopat), sehingga ia cenderung untuk melakukan pelanggaran norma, atau aturan yang berlaku (klik di sini).

Apa hubungan psikopat dengan AI, juga dengan emosi?

Kemampuan mengenali emosi orang lain itu dimiliki oleh 99% populasi manusia, kecuali psikopat yang hanya 1% dari populasi. Tentu saja kemampuan itu berbeda tingkatannya. 

Kemampuan itu dipelajari sejak bayi secara alamiah, tanpa diajarkan secara khusus. Dari waktu ke waktu, sejak bayi, kita akan mengerti dengan sendirinya apa arti tiap mimik muka, bahkan gerakan alis mata, juga intonasi suara, bahasa tubuh, hingga pilihan kata, atau konteks kalimat, dll. 

Ketidakmampuan psikopat mengenali emosi itu berkaitan dengan otak mereka yang berbeda (baca di sini artikel mengenai itu).

Menurut beberapa riset (klik di sini), isi penjara di seluruh dunia didominasi oleh para psikopat. Itu berarti kemampuan untuk mengenali emosi orang lain amat penting di masyarakat, supaya tidak masuk penjara (karena melanggar hukum). 

Jika seseorang tidak "peduli" pada kepentingan (termasuk dalam bentuk emosi) orang lain, maka ia mudah melakukan pelanggaran norma atau pelanggaran hukum. 

Gambar: NewScientist.com
Gambar: NewScientist.com

Sains menyebut mereka yang cenderung melakukan pelanggaran aturan itu dianggap sebagai orang yang memiliki kualitas hidup atau kapasitas yang tidak baik.

Daniel Goleman, tahun 1995 menerbitkan satu buku berjudul "Emotional Intelligence" yang membahas soal emosi. 

Emotional Intelligence ini sering disebut juga dengan EQ yang sama pentingnya dengan IQ. Goleman menyebut kualitas hidup bergantung pada tingkat EQ yang dimiliki. 

Goleman kemudian dikenal sebagai pakar di bidang pengembangan SDM di berbagai perusahaan besar, juga pakar dalam soal leaderships. Hingga kini konsepnya soal emotional intelligence atau EQ itu masih terus dikutip oleh pakar lain di seluruh dunia.

Emotional Intelligence menjadi topik penting selama beberapa dekade (sejak 1995). Itu menunjukkan pentingnya kemampuan memahami emosi untuk mengembangkan kualitas atau kapasitas seseorang.

Mereka yang terlalu sibuk dengan emosi negatif pada dirinya sendiri akan menemui kesulitan untuk mengenali emosi negatif dari orang lain. Dalam beberapa riset, psikopat adalah mereka yang terlalu sibuk dengan emosi negatif pada dirinya. 

Philip Asherson, seorang neuroscientist dari Inggris, menyebut tingkat mind-wandering psikopat jauh lebih tinggi dari orang normal (simak di sini). Padahal mind-wandering baik pada pada hal-hal yang negatif atau positif sekalipun akan sama menghasilkan emosi negatif.

Kemampuan mengenali emosi orang lain melalui mimik muka, gerakan alis mata, juga intonasi suara, bahasa tubuh, hingga pilihan kata, atau konteks kalimat, dll. tentu bisa diterapkan ke machine atau artificial intelligence.

AI yang dibuat bisa mengenali emosi ini bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, terutama bagi para psikopat yang masih di masa perkembangan sebelum usia dewasa, agar ia tidak terus terjebak dalam psychopathy-nya yang bisa menurunkan kualitas hidupnya dan merugikan orang lain.

Tidak hanya sekedar mengenali emosi orang lain, tetapi AI juga akan dibuat untuk memberikan saran pada penggunanya untuk melakukan sesuatu yang positif pada orang lain. Aplikasi ini tentu nanti bisa disematkan pada HP yang melekat pada kita sehari-hari.

Aplikasi seperti ini berguna bukan hanya untuk psikopat saja, tetapi juga untuk masyarakat umum yang ingin mengembangkan emotional intelligence-nya sebagai konsep yang sudah populer beberapa dekade terakir yang dikembangkan oleh Daniel Goleman seperti disebut di atas.

Penerapan Affective AI (AI yang mengenal emosi) atau Emotion AI tentu bakal menjadi booming tidak terlalu lama lagi (lihat di sini). 

Affective AI bakal menguntungkan para pemasang iklan, karena bisa mendapatkan masukan yang penting saat beriklan. 

Sebuah iklan akan bisa mendeteksi emosi dari target (melalui facial expressions,misalnya), sehingga bisa menentukan langkah selanjutnya, seperti mengarahkan untuk transaksi, atau mengarahkan ke item atau produk lainnya. 

Bahkan juga pemasang iklan akan mampu memanipulasi emosi target agar di arahkan untuk menyukai satu produk tertentu. Tentu saja ini juga bakal berguna bagi opinion maker, politisi, bahkan juga dictatorship jenis baru.

Lalu kita patut bertanya: apakah masih ada free will? Pertanyaan selanjutnya: useless class itu nampaknya memang nyata, seperti yang diingatkan oleh Harari.

M. Jojo Rahardjo

Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun