Ketidakmampuan psikopat mengenali emosi itu berkaitan dengan otak mereka yang berbeda (baca di sini artikel mengenai itu).
Menurut beberapa riset (klik di sini), isi penjara di seluruh dunia didominasi oleh para psikopat. Itu berarti kemampuan untuk mengenali emosi orang lain amat penting di masyarakat, supaya tidak masuk penjara (karena melanggar hukum).Â
Jika seseorang tidak "peduli" pada kepentingan (termasuk dalam bentuk emosi) orang lain, maka ia mudah melakukan pelanggaran norma atau pelanggaran hukum.Â
Sains menyebut mereka yang cenderung melakukan pelanggaran aturan itu dianggap sebagai orang yang memiliki kualitas hidup atau kapasitas yang tidak baik.
Daniel Goleman, tahun 1995 menerbitkan satu buku berjudul "Emotional Intelligence" yang membahas soal emosi.Â
Emotional Intelligence ini sering disebut juga dengan EQ yang sama pentingnya dengan IQ. Goleman menyebut kualitas hidup bergantung pada tingkat EQ yang dimiliki.Â
Goleman kemudian dikenal sebagai pakar di bidang pengembangan SDM di berbagai perusahaan besar, juga pakar dalam soal leaderships. Hingga kini konsepnya soal emotional intelligence atau EQ itu masih terus dikutip oleh pakar lain di seluruh dunia.
Emotional Intelligence menjadi topik penting selama beberapa dekade (sejak 1995). Itu menunjukkan pentingnya kemampuan memahami emosi untuk mengembangkan kualitas atau kapasitas seseorang.
Mereka yang terlalu sibuk dengan emosi negatif pada dirinya sendiri akan menemui kesulitan untuk mengenali emosi negatif dari orang lain. Dalam beberapa riset, psikopat adalah mereka yang terlalu sibuk dengan emosi negatif pada dirinya.Â
Philip Asherson, seorang neuroscientist dari Inggris, menyebut tingkat mind-wandering psikopat jauh lebih tinggi dari orang normal (simak di sini). Padahal mind-wandering baik pada pada hal-hal yang negatif atau positif sekalipun akan sama menghasilkan emosi negatif.