Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Short Video di Medsos Berbahaya atau Merugikan?

8 September 2022   19:41 Diperbarui: 27 Mei 2023   15:41 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat makan siang di sebuah warung, saya melihat satu orang yang baru saja selesai makan. Ia terlihat tersenyum-senyum memandangi HP-nya. Rupanya ia sedang menikmati video lucu berbahasa Indonesia di HP-nya. Mungkin sekali ia sedang menikmati short video yang tersedia di berbagai platform medsos, seperti Youtube, TikTok, FaceBook, WhatsApp, IG dan lain-lain.

Saya juga kadang menikmati short video seperti itu di berbagai platform medsos. Sering tanpa saya sadari tanpa sengaja menyaksikan video kekerasan, kebencian, atau konten yang menggambarkan agresi. Bahkan juga video hoax, teori konspirasi, propaganda politik, termasuk juga berbagai video menyesatkan tentang apa yang terjadi di Duren Tiga awal Juli yang baru lalu (kasus pembunuhan Brigadir Joshua). Pembuat konten short video itu tentu siapa saja, dari orang biasa, hingga mereka yang profesional dalam pembentukan opini.

Apakah short video ini "diawasi" oleh pengelola berbagai medsos itu? Sudah pasti tidak, karena kita bisa lihat sendiri ada berbagai video yang seharusnya tidak muncul di sana. Apakah short video ini diawasi oleh negara? Jika ya, bagaimana cara mengawasinya?

Tulisan saya beberapa waktu lalu (lihat di sini: "Tulisan Kedua Soal Bahaya Medsos di Tahun Politik 2024"), menyebutkan bahwa pengelola medsos justru mendapat untung dari konten berisi hoax, teori konsipirasi, penyesatan informasi, kekerasan, agresi, ujaran kebencian, propaganda hitam, dan lain-lain yang negatif. Itu salahsatunya dikatakan oleh Frances Haugen, mantan product manager di FaceBook yang sudah keluar dari FaceBook karena ingin memperjuangkan medsos yang lebih aman bagi masyarakat.

Di tulisan yang berbeda (lihat di sini: "Media Sosial, Sebuah Dilema Baru dalam Peradaban?") saya juga menulis lebih dalam tentang pengaruh buruk medsos berdasarkan apa yang disampaikan oleh para aktivis yang berjuang untuk membebaskan dunia dari pengaruh buruk medsos. 

Mereka bukan sekedar aktivis, namun banyak dari mereka yang sebelumnya bekerja di perusahaan global dengan posisi yang strategis, seperti Tristan Harris yang pernah menjadi design ethicist di Google (lalu keluar). Apa kata mereka tentang medsos? Anda bisa menyimaknya di sebuah documentary yang menimbulkan kontroversi, yaitu "The Social Dilemma" (lihat di sini).

"The Social Dilemma" antara lain mengungkap secara detil bagaimana medsos sengaja atau membiarkan adanya konten hoax, teori konspirasi, agresi, penyesatan informasi, ujaran kebencian, rasisme, fasisme, autoritarianisme, kekerasan, propaganda hitam, dan lain-lain yang negatif. 

Diungkap juga bagaimana semua konten seperti itu malah bisa menghasilkan uang yang lebih banyak bagi pengelola medsos. Sehingga medsos cenderung untuk membiarkan, namun berpura-pura atau berusaha memberi kesan, bahwa mereka mencegah konten seperti itu.


Tentu saja itu berarti medsos adalah sebuah ancaman bagi kemanusiaan, jika tiap negara atau tiap komunitas belum "duduk bersama" untuk membahasnya.

Beberapa pemikir, futurists, atau filsuf dunia sudah menyebutkan salah satu ancaman bagi planet Bumi dan ummat manusia, adalah perang nuklir. Lalu "The Social Dilemma" memperkirakan pemicu perang nuklir adalah konten negatif di medsos. 

"The Social Dilemma" memberi beberapa contoh, misalnya pemilu di Amerika yang diperdebatkan bahwa telah dikutak-katik oleh Kremlin Rusia melalui medsos. Apakah benar begitu? Penjelasannya ternyata lumayan rumit sebagaimana dijelaskan di "The Social Dilemma". Seorang hacker remaja yang iseng sekalipun bisa melakukan sesuatu yang berbahaya bagi pilpres di Amerika, apalagi di Indonesia.

Mengapa kita menyukai short video bahkan bisa mencandunya? Ada 2 faktor utama:

1. Artificial Intelligence (AI)

Sebagaimana yang disampaikan dalam "The Social Dilemma", pengelola medsos memang berusaha agar penggunanya kecanduan. Dijelaskan juga dengan panjang-lebar bagaimana AI diselipkan (dimanafaatkan) pada medsos untuk memastikan pengguna medsos menjadi kecanduan. 

Semakin pengguna medsos kecanduan, maka semakin untung pengelola medsos, karena pendapatan dari iklan meningkat. Itu sebabnya di "The Social Dilemma", pengguna medsos disebut sebagai The Product, bukan pengguna medsos atau user, karena The Product itu yang "dijual" ke pemasang iklan.

2. Mind Wandering

Michael Corballis seorang neuroscientist dari New Zealand dalam bukunya berjudul "The Wandering Mind" menjelaskan mengenai kecenderungan pikiran manusia untuk sering melakukan mind wandering. Hampir separuh dari saat kita terjaga, pikiran kita ternyata melakukan mind wandering. Harvard Study mengenai itu menyebut 47% dari saat kita terjaga (lihat di sini: "Wandering Mind not a Happy Mind").

Mind wandering ini meski memiliki benefit bagi peradaban manusia (lihat di sini: "Mind Wandering di Jaman Digital"), namun sekaligus juga menyumbang stres atau kondisi tidak bahagia (lihat juga di sini: "Let Your Mind Wander"). Sedangkan stres atau kondisi tidak bahagia itu berpengaruh buruk pada produktivitas, kecerdasan, kreativitas, kesehatan tubuh, kesehatan mental, perilaku, dll.

Mind wandering adalah kecenderungan dasar pikiran saat "melayang" memikirkan berbagai hal yang tidak berkaitan dengan apa yang sedang dikerjakan saat ini, misalnya membaca artikel ini, berkendara, menonton film, menulis surat, dll.  Apa yang kita pikirkan (saat "melayang" melakukan mind wandering itu) nyaris tidak bisa kita ingat atau bahkan tidak menyadarinya. Saat kita melakukan mind wandering (padahal sedang membaca artikel ini) kita tidak bisa mengingat keduanya (membaca artikel ini dan mind wanderingnya).

Mind wandering juga disebut dengan sebutan lain, yaitu: default mode network, karena pada saat kita beristirahat atau tidak melakukan apa-apa, maka otomatis pikiran kita melakukan mind wandering. Apa yang kita pikirkan itu nyaris tanpa bisa dikontrol. 

Ada beberapa studi atau riset yang menemukan kaitan antara mind wandering dengan kecanduan pada smartphone, salah satunya adalah lihat (klik) di sini: "Mind-Wandering Mediates the Associations Between Neuroticism and Conscientiousness, and Tendencies Towards Smartphone Use Disorder". Kecanduan pada smartphone ini (smartphone addiction) juga disebut dengan smartphone use disorder (SmUD). 

Kecanduan ini lebih "mengerikan" dibanding dengan Internet Use Disorder (IUD), karena smartphone yang jumlahnya sekitar 4,7 milyar di dunia menjadikan pengguna smartphone selalu terhubung dengan Internet setiap waktu 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Itu artinya pengguna smartphone lebih terhubung ke medsos nyaris setiap waktu.

Apa saja yang dikerjakan mereka yang kecanduan dengan smartphone-nya? Ini beberapa dari daftar panjangnya: Browsing tanpa tujuan atau arah, berinteraksi (secara berlebihan) di medsos (FaceBook, TikTok, YouTube, WhatsApp, Twitter, IG, dll), mengakses (lebih banyak melalui medsos) pornografi, hoax, disinformation content, conspiracy theory, shopping online, gaming, gambling, browsing short video, dll.

Munculnya SmUD disebut oleh beberapa riset, salah satunya disebut di link di atas tadi berkaitan dengan adanya mind wandering. Semakin panjang duration dari mind wandering, maka semakin parah tingkat SmUD-nya.  Lebih jauh mengenai mind wandering bisa menyimak satu tulisan saya di sini (klik di sini: "Meditasi + Sains = Produktivitas"). 

Tulisan saya itu menjelaskan bagaimana cara menurunkan duration dari aktivitas mind wandering yang nyaris dari separuh dari saat kita terjaga. Termasuk juga temuan riset sains yang menunjukkan dampak buruk (stres) dari mind wandering bisa diturunkan melalui meditasi yang teratur.

Penutup

"The Social Dillema" seharusnya sudah cukup untuk memperingatkan kita tentang bahaya tersembunyi dari medsos. Short video di berbagai medsos yang sudah saya sebutkan di atas adalah salah satu bahaya tersembunyi dari medsos. Berbagai riset sains juga sudah menunjukkan bahwa medsos menambah tingkat stres sebagaimana sudah dijelaskan di atas.  

Indonesia sedang menjelang datangnya tahun politik 2024. Tentu kita semua menginginkan agar masyarakat tetap terjaga produktivitasnya saat memasuki tahun politik itu. 

Kita semua juga menginginkan masyarakat agar terjaga kecerdasannya, kreativitasnya, kesehatan tubuh & mentalnya, dll yang positif. Itu semua dibutuhkan agar masyarakat bisa memilih capres atau wakilnya dengan jernih, tanpa teracuni oleh konten menghasut yang sengaja ditebarkan di medsos, misalnya WhatsApp. Oleh karena itu masyarakat butuh mendapat edukasi atau diberi penyuluhan tentang adanya bahaya tersembunyi dari medsos itu. 

Tentu itu membutuhkan upaya yang besar yang mungkin tidak cukup hanya dengan menulis satu atau dua, bahkan belasan artikel seperti yang sedang Anda baca ini. Upaya seperti itu membutuhkan peran pemerintah yang konon telah bertekad untuk meningkatkan SDM Unggul.


M. Jojo Rahardjo

Menulis ratusan tulisan & video seputar fungsi otak serta kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan, terutama soal produktivitas (di sini: https://www.kompasiana.com/mjr )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun