Komen pertama muncul, mungkin karena praktik ta'aruf itu, dan suaminya digambarkan oleh Eka memang memiliki ciri kadrun. Sedangkan komen kedua adalah komen yang amat umum saat melihat seseorang melakukan tindakan yang aneh atau dinilai tidak bisa dimengerti oleh orang normal.
Jika disingkat, maka suami Eka dikategorikan oleh netizen dengan 2 kategori: 1. kadrun, 2. gila.
Gila dan kadrun itu nampaknya saling melengkapi di kasus ini. Padahal kasus seperti ini sebenarnya terjadi di kultur manapun di seluruh dunia, karena ini kasus yang muncul karena kesehatan mental yang tidak bagus dari salah satu pasangan (suami Eka).
Dari apa yang diceritakan oleh Eka di akun Twitter-nya, suaminya nampak memiliki ciri utama dari toxic person (selanjutnya akan disebut kata toxic saja). Tentu saja mengapa seseorang menjadi toxic itu penyebabnya beragam. Anda bisa membaca beberapa artikel yang sudah saya tulis seputar toxic persons, atau narcissism.
Jika apa yang sudah diceritakan Eka benar atau obyektif, maka Eka nampak tidak memahami apa itu toxic person sejak awal sekali. Itu terlihat karena ia tidak memeriksa kondisi kesehatan mental calon suaminya sebelum bertemu muka. Apalagi setelah bertemu, Eka masih tetap berharap suaminya bisa berubah menjadi lebih lembut. Bahkan Eka berani kembali rujuk setelah beberapa perlakuan negatif sebelumnya yang telah diterimanya dari suaminya. Padahal toxic person nyaris tidak bisa "diperbaiki".
Dalam banyak kasus toxic relationships, korbannya biasanya terjerat oleh si toxic itu, sehingga sulit melepaskan diri atau sulit mencari jalan keluar. Baca beberapa tulisan saya lainnya mengenai itu. Untungnya Eka hanya mengalami itu selama beberapa hari saja. Meski begitu para netizen sempat geram ketika membaca bagaimana keluarga Eka membiarkan Eka kembali ke "sarang" suaminya, sehingga nampak Eka dikorbankan oleh keluarganya untuk satu kehormatan.
Jadi, kasus ini tidak akan terjadi jika:
1. Eka memahami apa itu toxic person, sehingga ia akan tidak dengan mudah menerima seorang laki-laki untuk menjadi suaminya tanpa melakukan pengecekan kesehatan mental terlebih dahulu, misalnya untuk mengetahui apakah calon suaminya memiliki ciri toxic person.
2. Tidak ada tradisi yang mengutamakan kehormatan keluarga melebihi keselamatan perempuan yang anggota keluarganya sendiri.
Bagaimana pun kita semua patut bersyukur, karena Eka selamat, dan akan berangsur-angsur sembuh dari trauma yang dialaminya itu. Semoga kisah Eka menjadi pelajaran penting, bahwa untuk memperoleh pernikahan yang sehat dan terutama berketurunan yang sehat, maka dibutuhkan pengetahuan tentang toxic persons atau pengetahuan tentang kesehatan mental.Â
Siapa pun bisa bersinggungan dengan toxic persons ini, yang bisa saja adalah orang-orang yang terhormat di masyarakat, atau orang-orang yang memiliki sederet gelar akademis, atau memiliki pencapaian ekonomi yang tinggi, bahkan memiliki gelar keagamaan sekalipun.
M. Jojo Rahardjo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H