Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kasus Eka Rufaedah, Kasus Toxic Relationships

24 Mei 2022   22:33 Diperbarui: 16 Oktober 2022   10:37 2986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: https://www.reqnews.com/

Pasti Anda semua sudah mengetahui kisah pilu Eka Rufaedah yang menjadi viral di berbagai media akhir-akhir ini. Eka seorang perempuan muda yang dicerai suaminya hanya setelah 8 hari menikah. Itu pun bukan nikah di KUA, tetapi nikah agama saja, yaitu disyahkan oleh orangtua Eka dan dihadiri oleh beberapa saksi saja. Sang suami memiliki gelar Doktor dan mengajar di universitas swasta.

Sang suami yang baru saja dikenalnya beberapa hari saja melalui praktik ta'aruf ternyata bersikap negatif selama beberapa hari pernikahan. Namun Eka tetap berusaha untuk mempertahankan pernikahan itu dan berharap Tuhan akan melembutkan hati suaminya ini. Pada akhirnya setelah melalui hari-hari yang membagongkan, Eka meyakini bahwa jalan yang terbaik baginya adalah meninggalkan suaminya yang 2 kali menceraikannya (sempat rujuk sekali) hanya dalam tempo beberapa hari saja.

Perceraian pertama terjadi hanya beberapa hari setelah pernikahan, gara-gara nasi yang akan diberikan kepada suaminya tersentuh pakaian Eka. Peristiwa itu ternyata mampu membuat suaminya melakukan beberapa tindakan yang tidak masuk akal, hingga menceraikan Eka, seperti diceritakan oleh Eka dalam Twitter-nya.

Perceraian kedua terjadi setelah Eka diminta kembali rujuk oleh suaminya. Namun baru beberapa hari rujuk dengan suaminya ini, Eka kembali dicerai, karena alasan yang membuat hati Eka terluka.

Sebagaimana yang diceritakan Eka, suaminya memanggil pulang Eka yang sudah kembali ke rumah orangtuanya setelah diceraikan pertama kali oleh suaminya. Tentu saja orangtua Eka setuju Eka kembali rujuk dengan suaminya, karena perceraian itu tentu mencoreng kehormatan keluarga, apalagi Eka cuma dinikahi secara agama, bukan di KUA. Padahal keluarga Eka sempat "marah" dan ingin meminta "penjelasan" dari suami Eka atas perlakuan negatif yang dilakukan suaminya pada Eka. Namun nampaknya bagi keluarga Eka, kehormatan keluarga harus lebih dijaga daripada menjaga keselamatan & kenyamanan Eka.

Eka juga menambahkan saat ia dicerai 2 kali itu, Eka selalu pulang ke rumah orangtuanya sendirian dengan transportasi umum tanpa diantar oleh suaminya. Demikian juga saat Eka kembali dari rumah orangtuanya ke rumah suaminya hanya dengan transportasi umum, tanpa dijemput oleh suaminya.

==o==

Nampaknya praktik ta'aruf ini adalah praktik menjodohkan 2 orang oleh sekelompok (beberapa) orang agar 2 orang ini diikat dalam satu tali pernikahan. Namun sayangnya praktik ini tidak dilengkapi dengan informasi bagi kedua belah pihak mengenai kesehatan mental masing-masing, kecuali kondisi ekonomi, pengalaman kerja, dan berbagai pencapaian akademis.

Kisah yang viral ini mengundang berbagai komen. Setidaknya ada 2 jenis komen menonjol dari kisah itu: 

1. kadrun kok dijadikan suami,

2. suaminya memang gila. 

Komen pertama muncul, mungkin karena praktik ta'aruf itu, dan suaminya digambarkan oleh Eka memang memiliki ciri kadrun. Sedangkan komen kedua adalah komen yang amat umum saat melihat seseorang melakukan tindakan yang aneh atau dinilai tidak bisa dimengerti oleh orang normal.

Jika disingkat, maka suami Eka dikategorikan oleh netizen dengan 2 kategori: 1. kadrun, 2. gila.

Gila dan kadrun itu nampaknya saling melengkapi di kasus ini. Padahal kasus seperti ini sebenarnya terjadi di kultur manapun di seluruh dunia, karena ini kasus yang muncul karena kesehatan mental yang tidak bagus dari salah satu pasangan (suami Eka).

Dari apa yang diceritakan oleh Eka di akun Twitter-nya, suaminya nampak memiliki ciri utama dari toxic person (selanjutnya akan disebut kata toxic saja). Tentu saja mengapa seseorang menjadi toxic itu penyebabnya beragam. Anda bisa membaca beberapa artikel yang sudah saya tulis seputar toxic persons, atau narcissism.

Jika apa yang sudah diceritakan Eka benar atau obyektif, maka Eka nampak tidak memahami apa itu toxic person sejak awal sekali. Itu terlihat karena ia tidak memeriksa kondisi kesehatan mental calon suaminya sebelum bertemu muka. Apalagi setelah bertemu, Eka masih tetap berharap suaminya bisa berubah menjadi lebih lembut. Bahkan Eka berani kembali rujuk setelah beberapa perlakuan negatif sebelumnya yang telah diterimanya dari suaminya. Padahal toxic person nyaris tidak bisa "diperbaiki".

Dalam banyak kasus toxic relationships, korbannya biasanya terjerat oleh si toxic itu, sehingga sulit melepaskan diri atau sulit mencari jalan keluar. Baca beberapa tulisan saya lainnya mengenai itu. Untungnya Eka hanya mengalami itu selama beberapa hari saja. Meski begitu para netizen sempat geram ketika membaca bagaimana keluarga Eka membiarkan Eka kembali ke "sarang" suaminya, sehingga nampak Eka dikorbankan oleh keluarganya untuk satu kehormatan.

Jadi, kasus ini tidak akan terjadi jika:
1. Eka memahami apa itu toxic person, sehingga ia akan tidak dengan mudah menerima seorang laki-laki untuk menjadi suaminya tanpa melakukan pengecekan kesehatan mental terlebih dahulu, misalnya untuk mengetahui apakah calon suaminya memiliki ciri toxic person.
2. Tidak ada tradisi yang mengutamakan kehormatan keluarga melebihi keselamatan perempuan yang anggota keluarganya sendiri.

Bagaimana pun kita semua patut bersyukur, karena Eka selamat, dan akan berangsur-angsur sembuh dari trauma yang dialaminya itu. Semoga kisah Eka menjadi pelajaran penting, bahwa untuk memperoleh pernikahan yang sehat dan terutama berketurunan yang sehat, maka dibutuhkan pengetahuan tentang toxic persons atau pengetahuan tentang kesehatan mental. 

Siapa pun bisa bersinggungan dengan toxic persons ini, yang bisa saja adalah orang-orang yang terhormat di masyarakat, atau orang-orang yang memiliki sederet gelar akademis, atau memiliki pencapaian ekonomi yang tinggi, bahkan memiliki gelar keagamaan sekalipun.

M. Jojo Rahardjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun