Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Media Sosial, Sebuah Dilema Baru dalam Peradaban?

18 April 2022   19:21 Diperbarui: 1 November 2023   10:48 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: https://www.thesocialdilemma.com/

Berapa yang Anda bayar untuk menggunakan akun-akun di media sosial? Zero, bukan? Tak ada sepeser uang pun yang harus Anda keluarkan untuk beraktivitas di berbagai platform medsos. Para penyedia platform medsos itu memang tidak mendapatkan uang dari Anda (sebagai users), tetapi dari para pemasang iklan atau sponsor.

Lalu pertanyaan selanjutnya: berapa keuntungan yang diperoleh para penyedia platform medsos itu (dari 4,6 milyar lebih users-nya di seluruh dunia)? Pertanyaan itu bisa dijawab dengan melihat berapa nilai berbagai perusahaan medsos itu. Besar sekali! Semua penyedia platform medsos itu memperoleh keuntungan finansial yang luar biasa besar.

Namun para penyedia platform itu tidak bisa mendapatkan keuntungan finansial yang besar, jika Anda tidak keranjingan atau tidak kecanduan medsos. Jadi para penyedia platform itu melakukan riset besar-besaran dengan melibatkan pakar psikologi dan sains tentang otak, ahli sejarah, dan lain-lain untuk bisa membuat Anda kecanduan sebagai social media user.

Masukan dari para pakar itu menjadi komponen penting bagi para ahli coding untuk membangun algorithm yang disisipkan dalam platform medsos. Jangan lupa apa yang mereka bangun itu adalah machine learning atau AI, sehingga setiap hari, setiap menit algorithm itu terus bertambah bagus dalam memenuhi goals yang ditetapkan oleh perancangnya.

Apa goal utama dari algorithm itu? Keuntungan finansial yang sebesar-besarnya!

Survei menunjukkan sehari rata-rata pengguna medsos menghabiskan waktunya sebanyak total 2.5 jam sehari (data dari Global Web Index). Pengguna yang ekstrim bisa lebih dari 6 jam sehari. Kecanduan itu memang sengaja diciptakan.

Apakah itu artinya kita kehilangan produktivitas? Tentu tidak selalu begitu, karena bagi users yang kerjanya memasang iklan di medsos, atau seorang online marketer, itu justru produktivitas, karena pekerjaannya adalah mempromosikan atau memasarkan produk atau jasa melalui medsos. Itu juga berlaku bagi buzzer politik atau buzzer sebuah pemikiran atau gerakan atau opinion maker.

Namun menurut berbagai riset, secara umum medsos menurunkan produktivitas yang ditandai oleh 3 dampak serius yang berlaku di seluruh dunia, selain dampak negatif lainnya:

1. Menurunnya kesehatan mental (stres atau depresi, bahkan hingga bunuh diri).
2. Menciptakan polarisasi politik (kubu-kubuan) atau polarisasi apapun (termasuk agama) yang sangat lebar di masyarakat di semua negeri di atas muka Bumi ini.
3. Penyebaran disinformation & misinformation (2 hal yang berbeda) 6 kali lebih cepat daripada informasi yang bisa dikonfirmasi.

Catatan untuk dampak serius medsos nomor 1:

a. Menurunnya kesehatan mental disebabkan oleh satu faktor utama yang berkaitan erat dengan kecenderungan dasar manusia, yaitu mind-wandering. Michael Corballis, seorang neuroscientist dari New Zealand dalam bukunya berjudul "The Wandering Mind" menyebut salah satu gejala dari mind-wandering adalah memikirkan apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya atau tentang pikirannya. Postingan yang Anda buat, komen, likes, shares, emoticons itu amat berkaitan dengan mind-wandering ini. Michael Corballis menyebutkan dalam bukunya, aktivitas mind-wandering ini menyumbang naiknya tingkat stres. Point penting yang hendak disampaikan di sini adalah: secara umum beraktivitas di medsos akan menaikkan aktivitas mind-wandering, lalu stres pun meningkat.

b. Kesehatan mental juga menurun karena adanya konten negatif yang sengaja "tidak dicegah" oleh penyedia medsos. Klik di sini untuk membaca tentang kasus besar yang dilontarkan oleh Frances Haugen (mantan Facebook product manager). Konten negatif di medsos itu termasuk:

i. Disinformation atau misinformation / conspiration theory, hoax, dll.
ii. Ujaran kebencian atau agresi, terorisme.
iii. Konten narcissism berkembang, terutama dari politisi. Menyombongkan diri menjadi hal biasa, termasuk juga bertingkah seolah memiliki semua privilige (anggota dewan atau pejabat misalnya).

Catatan untuk dampak serius medsos nomor 2 & 3:

Meski penyedia platform medsos mampu menahan atau mencegah polarisasi politik, polarisasi agama atau apapun di semua negeri di atas muka Bumi ini, namun penyedia medsos malah "membiarkannya" semakin berkembang (lihat link di atas sebelumnya mengenai buktinya).

Media Sosial Mengeskalasi Berbagai Persoalan Dunia dan Nasional

Tentu sudah banyak yang menonton sebuah documentary yang berjudul "The Social Dilemma" yang menceritakan tentang seluk-beluk industri medsos di dunia, terutama sekali tentang dampak medsos. Documentary yang dirilis Netflix di akhir tahun 2020 lalu ini tidak hanya membicarakan soal skandal yang dilakukan oleh industri medsos untuk membuat medsos menjadi candu bagi penggunanya, tetapi juga tentang bagaimana akibat lainnya yang lebih serius dari penggunaan algorithm atau AI pada semua platform medsos.

Di bagian akhir dari documentary sepanjang 1,5 jam ini dibahas dampak terburuk dari medsos (yang ber-AI) pada peradaban manusia, yaitu ancaman human extinction hanya dalam beberapa dekade mendatang saja.

Sejauh yang penulis baca dari berbagai review berbahasa Indonesia yang ditulis tentang documentary itu, memang jarang yang mengkaitkan The Social Dilemma dengan global issues. Padahal global issues adalah panduan kita dalam melangkah di era AI sekarang ini. Misalnya, apa dampak medsos pada berbagai global issues seperti: mental health? Juga poverty, violence, government corruption, hingga global warming atau climate change, dan lain-lain.

Tristan Harris yang menjadi satu tokoh sentral dalam documentary itu pernah tampil bersama dengan Yuval Noah Harari dalam satu acara talkshow untuk membahas social media dilemma. Satu point penting yang perlu dicatat adalah tentang "hilangnya" free will saat kita beraktivitas di medsos, namun kita sama sekali tidak menyadari. Itu semua karena kecanggihan teknologi yang berkembang sangat cepat, sehingga tak banyak yang tahu, bahwa free will sudah mampu "dilenyapkan". "Hilangnya" free will ini berarti ancaman bagi kemanusiaan, karena memungkinkan munculnya dictatorship, authoritarianism baru. 

Kita beranggapan selama ini kita sendiri yang memilih konten yang kita kunyah, padahal platform medsos lah yang memilihkan untuk kita tanpa kita sadari.

Point lainnya adalah bagaimana medsos sangat rentan untuk ditunggangi oleh organisasi besar seperti partai politik, perusahaan, atau mereka yang memiliki uang banyak. Mereka sangat memiliki kapasitas untuk menggunakannya untuk satu tujuan yang sempit atau satu tujuan yang bisa saja merugikan masyarakat, atau mengancam kemanusiaan.

Kasus seperti itu pernah lama dibicarakan bertahun-tahun oleh berbagai ahli saat pemerintah Rusia dituduh membobol Facebook untuk ikut campur dalam US election di tahun 2017. Padahal yang terjadi adalah Rusia hanya memanfaatkan apa yang sudah tersedia di Facebook, yaitu algorithm. Namun, apakah betul Rusia yang menggunakan Facebook untuk ikut campur dalam US election? Atau ada pihak lain yang menggunakan nama Rusia? Kasus itu rupanya terjadi lagi saat US election di tahun 2020. Adabeberapa contoh lain yang diberikan oleh "The Social Dilemma" tentang bagaimana demokrasi terancam karena munculnya medsos dalam peradaban manusia di 2 dekade terakhir.

Bagaimana dengan Indonesia?

Untuk kasus Indonesia adalah: makin terlihat dalam beberapa tahun terakhir ini sekelompok atau beberapa kelompok orang yang menunggangi (memanfaatkan) medsos untuk memenangkan partai-partai tertentu dan memenangkan kandidat tertentu dalam pilkada atau pilpres atau pemilu. Padahal partai-partai atau kandidat itu sudah memiliki jejak digitalnya yang hitam, yaitu pernah mengoyak kemanusiaan.

Sebagaimana sudah disebut sebelumnya di atas, penunggangan ini tidak akan terlalu dipusingkan oleh penyedia platform medsos (artinya: dibiarkan saja), karena penunggangan ini berarti bertambahnya aktivitas di medsos yang akan menghasilkan lebih banyak keuntungan finansial bagi penyedia medsos.

Memang kita kadang melihat beberapa akun medsos yang diberi sangsi atau diblok oleh penyedia platform. Namun itu cuma "bualan" belaka. Karena sebenarnya AI yang digunakan oleh penyedia bisa memahami arti sebuah kalimat, bahkan konteksnya. Sedangkan yang diberi sangsi oleh penyedia hanya karena kata-kata tertentu saja, misalnya kata-kata yang memiliki arti langsung pada kekerasan, kebencian, atau kejahatan. Namun penyedia medsos tidak memaksimalkan penggunaan AI untuk benar-benar mencegah misinformation, disinformation, violence, hate speech, serangan pada humanism, dan lain-lain.

Kasus medsos ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang melawan kemanusiaan sudah pernah terindikasi terjadi dan menjadi contoh yang jelas di Jakarta tahun 2017. Jejak digital dari skandal hitam ini akan lama tercatat dalam sejarah. Beberapa kelompok yang sebelumnya pernah berkuasa namun korup berkolaborasi dengan kelompok-kelompok radikal agama, bahkan kelompok teroris. Semua kelompok ini terindikasi menunggangi medsos dengan politisasi agamanya, dan memenangkan pilkada Jakarta 2017. Tentu di balik skandal hitam ini ada master mind atau orang yang merancang untuk menggunakan medsos sebagai salah satu kunci kemenangan. Jejak digitalnya tak bisa dihapus begitu saja. Tetapi apakah masyarakat awam bisa mencegah mereka beraksi kembali di 2024?

Langkah Bijak untuk Menghadapi Tahun Politik 2024

Seperti judul artikel ini, medsos adalah dilema baru bagi peradaban manusia di pelosok mana pun di muka Bumi ini. Medsos mengeskalasi berbagai persoalan manusia, bahkan medsos mengancam eksistensi manusia, menurut "The Social Dilema".

Lalu bagaimana? Apakah kita akan ikut gerakan yang beberapa tahun belakangan ini ramai dibicarakan, yaitu gerakan men-delete akun medsos? Tentu itu bukan langkah yang bijak, karena itu artinya medsos akan didominasi oleh mereka yang memiliki tujuan sempit dan berbahaya. Padahal kita harus tetap berada di medsos untuk menyemarakkan medsos dengan konten positif.

Tapi bagaimana melakukan itu tanpa harus terseret menjadi addicted? Bagaimana melakukan itu tanpa menjadi penguat echo chamber (lihat tulisan saya yang lain mengenai ini)? Bagaimana kita tahu apa yang kita sebarkan di medsos adalah konten positif?

Ini jawaban yang paling mungkin:

Bangsa ini harus duduk bersama dan membicarakan sebuah protokol yang harus tersedia untuk masyarakat tentang penggunaan medsos dalam menghadapi tahun politik 2024. Jika tidak, maka bangsa ini akan tercerai-berai oleh dampak dari medsos, yaitu menggilanya polarisasi politik, agama, atau apapun, menurunnya kesehatan mental (stres atau depresi) yang kronis, kehilangan produktivitas, perang saudara yang bisa meluluh-lantakan negeri ini.

Yuk duduk bersama!

M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun