otak kita tidak cepat menurun, atau pikun, yaitu dengan cara tetap aktif menggunakan otak, misalnya dengan mengisi teka-teki silang, atau dengan terus membaca dan mempelajari hal-hal baru. Itu memang terbukti pada mereka yang tetap aktif di usia tua, ternyata mereka cenderung lebih sehat, dan bahkan tetap tajam dalam berpikir, termasuk tidak pikun.
Dulu saya sering mendengar saran agar fungsi
Neuroscience yang berkembang dalam beberapa dekade terakhir memiliki penjelasan yang lebih rinci, mengapa otak akan tetap berfungsi bagus, jika kita terus mengaktifkannya.
==o==
Tak banyak diketahui orang, ternyata sains akhir-akhir ini banyak mengkaji atau meneliti tentang kecenderungan pikiran yang selalu berkelana memikirkan apa saja setiap saat. Fenomena pikiran yang selalu berkelana ini disebut dengan mind-wandering. Mungkin bahasa Indonesianya adalah melamun, meski sebenarnya belum terlalu tepat. Mind-wandering adalah kecenderungan pikiran yang berkelana dan terjadi begitu saja atau tanpa kita sadari. Jadi berbeda dengan saat kita sedang melakukan problem solving, atau sedang merancang masa depan dengan sengaja dan dengan sebuah tujuan. Ciri mind-wandering yang lain adalah pikiran selalu meloncat-loncat dari satu hal ke hal lainnya. Ciri lainnya lagi adalah menurunkan kualitas aktivitas (kerja) yang sedang kita lakukan, misalnya menyetir kendaraan, menulis, bekerja dengan komputer, berbicara dengan orang lain, makan, dll.
Mind-wandering tentu memiliki benefit, namun ada pula kerugiannya. Kerugian utamanya adalah menghasilkan stres. Mind-wandering juga tetap menghasilkan stres meski pikiran berkelana ke hal-hal yang positif, bagus, atau menyenangkan, apalagi jika mind-wandering berkelana ke hal-hal yang negatif, buruk, atau tidak menyenangkan.
Stres, sebagaimana kita tahu, tentu harus dihindari atau dikurangi, karena 1. Menurunkan fungsi otak, 2. Menurunkan kesehatan secara umum.
Saat kita stres, amygdala (satu bagian kecil di otak) akan mendominasi kerja otak secara keseluruhan, sehingga menurunkan kerja prefrontal cortex (bagian lain di otak yang memiliki executive function), sehingga kecerdasan menurun secara umum.
Tentu kondisi itu tidak mengherankan jika fokus kita menurun pada aktivitas atau pekerjaaan yang sedang kita lakukan, dan akibat lanjutannya adalah menurunkan produktivitas atau prestasi kerja.
Stres tidak hanya menurunkan fungsi otak, tetapi juga punya pengaruh pada kerja otak dalam menghasilkan immune system. Bukan hanya immune system yang terganggu, namun telomeres juga memendek. Telomeres yang berada di setiap ujung dari chromosome disebut oleh sains sebagai indikator kesehatan, semakin memendek, semakin kita rentan pada penyakit, kanker, hingga penuaan dini.
Terlihat jelas, peran mind-wandering dalam memicu stres setiap hari. Padahal pemicu stres ada lagi, seperti peristiwa buruk atau negatif yang terjadi di sekitar kita atau terjadi pada kita. Peristiwa negatif ini ada yang terjadi sesekali, ada yang terjadi berulang-ulang setiap hari, seperti kemacetan lalu-lintas, bos yang doyan marah-marah, dll. Ada juga peristiwa negatif yang kadang terjadi, namun amat besar skalanya, seperti bencana alam, munculnya wabah penyakit (COVID-19), bencana sosial, huru-hara, perlakuan diskriminatif dari sekelompok orang atau negara, dll.
==o==
Jadi, pemicu stres tersedia setiap hari, yaitu dari pikiran kita sendiri yang cenderung melakukan mind-wandering, dan dari apa yang terjadi di sekitar kita atau kepada kita. Sebagaimana sudah disebut di atas stres itu tidak bagus atau merugikan, sehingga perlu cara yang cerdas untuk menurunkan tingkat stres. Tentu cara itu adalah cara yang telah disediakan oleh sains.
Sebagaimana disebutkan di bagian awal tulisan ini, ada beberapa aktivitas yang disebut bisa menghambat proses menurunnya fungsi otak atau pikun. Kebiasaan mempelajari hal-hal baru adalah salah satu aktivitas yang mengaktifkan prefrontal cortex. Demikian juga kebiasaan mengasah-otak yang maksudnya sama dengan mengaktifkan otak.
Agar kebiasaan ini terus berlangsung atau tidak terputus karena usia, maka dibutuhkan kebiasaan yang ditanamkan sejak usia dini. Itu lebih sering disebut mendisiplinkan diri dengan kebiasaan baik. Agar seorang anak memiliki disiplin, tentu dibutuhkan orangtua yang memiliki skill dalam penerapannya (butuh punishment & reward). Pada usia dini, sebuah kebiasaan yang dihasilkan dari pendisiplinan akan melekat terus hingga usia dewasa. Kebiasaan mempelajari hal-hal baru atau kebiasaan mengasah otak tentu harus dibiasakan sejak dini, agar di masa dewasa dan tua nanti akan terus diterapkan.
Mempelajari hal-hal baru adalah salah satu cara untuk menghindari aktivitas mind-wandering. Saat kita mempelajari hal-hal baru, bagian prefrontal cortex menjadi aktif dan berinteraksi dengan banyak bagian otak yang lain. Riset menunjukkan saat seperti itu adalah saat otak tidak menghasilkan stres. Kata yang lain untuk menggambarkan kondisi otak seperti itu adalah: otak sedang dalam kondisi positif, sehingga kita merasakan adanya happiness, atau wellbeing.
Menjadi tak mengherankan jika kita melihat ada beberapa orang yang keranjingan belajar, membaca buku, melakukan riset mendalam, mempelajari skill baru dalam olahraga, mempelajari teknik pertukangan, mekanik, biologi, kedokteran, keuangan, komputer, teknologi, dll. Rupanya mereka keranjingan karena kegiatan itu menghasilkan positivity, atau happiness, atau wellbeing.
Michael Corballis, seorang neuroscientist dari New Zealand menulis buku tentang mind-wandering yang menjelaskan secara rinci bagaimana mind-wandering terjadi di otak. Bagian apa saja yang terlibat atau menjadi aktif saat mind-wandering, dan bagaimana asal-muasal otak manusia memiliki kecenderungan ini. Apakah hewan memiliki kecenderungan mind-wandering ini? Itu dikaji oleh Corballis dengan dalam sehingga menjadi jelas mengapa hewan hingga manusia memiliki kecenderungan ini. Ini akan saya bahas dalam tulisan mendatang.
Masih ada lagi beberapa kebiasaan lain yang bisa menghindari aktivitas mind-wandering. Meditasi sekuler adalah salah satu cara untuk menghindarinya. Meditasi sekuler dapat dilakukan di mana saja, kapan saja dan dengan posisi apa saja. Saat kita menunggu sesuatu atau sedang berada di kendaraan umum, tentu kita bisa melakukan meditasi sekuler untuk menghindari aktivitas mind-wandering. Kita bisa melakukannya, meski hanya dalam beberapa menit saja atau bahkan kurang dari itu. Lakukan juga meditasi sekuler saat sebelum tidur atau saat baru terbangun.
Menulis jurnal positif juga cara lain yang efektif untuk menghindari aktivitas mind-wandering. Tulis dalam 1 paragraf tentang apa pun yang positif yang sudah terjadi dalam 24 jam terakhir atau seminggu lalu, atau sebulan lalu, atau kapan pun. Cobalah mencari yang positif itu, meskipun sulit. Semakin sering berlatih, maka akan membuat Anda menjadi lebih mudah untuk menemukan apa pun yang positif itu, dan akan merubah cara pandang Anda dalam melihat apa pun. Pembahasan mengenai jurnal positif ini bisa sangat panjang, dan kebetulan saya sudah menulisnya beberapa kali di waktu yang lalu. Silakan dibaca.
==o==
Meskipun sudah tersedia beberapa cara untuk menghindari mind-wandering, namun tantangan besar dalam menghindari mind-wandering adalah adanya gadget (smartphone) yang selalu dalam genggaman tangan kita. Itulah tantangan terbesar di era digital sekarang ini. Menurut riset Harvard, 47% dari waktu kita (saat terjaga) ternyata otak kita melakukan mind-wandering. Tingkat mind-wandering ini berkaitan dengan kecenderungan untuk mencandu media sosial (medsos) di smartphone yang selalu dalam genggaman tangan kita itu. Padahal aktivitas di medsos juga memicu munculnya mind-wandering.
Untungnya sudah ada riset yang menemukan, bahwa ternyata mindfulness practice atau meditasi dapat menurunkan aktivitas mind-wandering. Meditasi juga dapat menurunkan dampak negatif (stres) dari aktivitas mind-wandering (lihat di sini: Mindfulness Meditation May Help Reduce Mind-Wandering In People With Anxiety).
M. Jojo Rahardjo
Menulis lebih dari 500 artikel, 100 lebih video, 3 ebooks, dan menyelenggarakan diskusi online sejak 2020. Semuanya untuk mempromosikan berbagai riset sains seputar fungsi otak dan kaitannya dengan kecerdasan, produktivitas, kreativitas, inovasi, ketangguhan pada situasi sulit, kecenderungan pada altruism, dan kesehatan. Kunjungi: https://facebook.com/membangunpositivity
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H