WHO sebenarnya sudah memperingatkan soal gelombang stres yang melanda dunia yang disebabkan oleh pandemi. Â Pandemi yang sudah berjalan selama 1,5 tahun dengan gelombang stresnya yang belum mereda, tiba-tiba pandemi di Indonesia diperburuk dengan hantaman tsunami COVID-19 sejak beberapa minggu terakhir setelah masa mudik Lebaran berakhir.
Pemerintah pun akhirnya menetapkan PPKM dan sekaligus menumbuhkan tingkat stres lebih tinggi lagi daripada sebelumnya.
Itu terlihat di WA Groups yang isinya menggila dengan berbagai hoax, fitnah, atau debat kusir diwarnai maki-maki. Kritik pada Jokowi dan pemerintah makin menjadi-jadi, bahkan kritik itu muncul di groups pendukung Jokowi sekalipun.
Kita pun melihat terjadi penentangan secara sporadis pada penerapan PPKM di berbagai lokasi. Sebagian seperti kerusuhan. Itu karena masyarakat bawah yang terpukul karena pandemi, sekarang lebih terpukul lagi dengan PPKM ini. Bantuan sosial diragukan efektivitasnya, karena misalnya entah bagaimana cara membuat daftar penerima bantuan sosial.
Sains menyebut, stres membuat fungsi otak menurun. Akibatnya kejernihan berpikir menurun. Mudah curiga pada orang lain. Kecemasan meninggi. Pertengkaran mudah terpicu oleh sebab yang kecil.
Stres ini bukan terjadi di masyarakat saja, tetapi juga terjadi pada pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan itu. Lihat saja obat cacing Ivermectin dijadikan obat COVID-19, padahal belum ada uji klinisnya. Sebelum Ivermectin juga ada yang lain.
Stres mungkin bagi sebagian orang dianggap tidak kasat mata, namun sebenarnya memiliki gejala:
1. Hoax tumbuh subur di masyarakat yang stres. Ini mudah terlihat di medsos seperti WA Groups.
2. Langkah yang diambil pemerintah mudah dicurigai. Akibatnya kebijakan pemerintah tidak ditaati oleh masyarakat.
3. Immune system menurun. Akibatnya lebih banyak orang yang terserang penyakit, apalagi COVID-19.