1. Bukan diprakarsai oleh Belanda dan bukan "suara bule"
Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tidak ada hubungannya dengan Pemerintah Belanda. Orang-orang yang menginisiasi juga bukanlah orang asing, melainkan aktivis HAM dan sejumlah warga Indonesia yang tinggal di Belanda.
IPT 1965 dikoordinasikan oleh aktivis dan praktisi hukum Nursyahbani Katjasungkana. Sementara Todung Mulya Lubis, pengacara yang dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia (HAM), menjadi jaksa ketua.
Tetapi, format sidang dibuat sama seperti pengadilan HAM formal dengan pembentukan tim peneliti yang menghimpun data dan kesaksian, serta penyusunan panel hakim internasional.
Nantinya, ada tujuh hakim yang akan memutuskan perkara, yaitu Sir Geoffrey Nice, Helen Jarvis, Mireille Fanon Mendes France, John Gittings, Shadi Sadr, Cees Flinterman, dan Zak Yacoob.
Â
2. Pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum
Karena diprakarsai dan dibentuk murni oleh warga sipil biasa, IPT berada di luar negara dan lembaga formal seperti PBB. Itu artinya, keputusan apa pun yang dihasilkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Pemerintah Indonesia sudah menegaskan tidak mempunyai masalah dengan proses yang berlangsung di Den Haag.
Namun, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mewanti-wanti IPT itu merupakan bentuk kebebasan berpendapat, bukan bagian dari proses pengadilan internasional.
"Pemerintah Indonesia sudah mempunyai proses tersendiri untuk rekonsiliasi terkait dengan sejarah kita yang masa lalu itu," tambah Arrmanatha Nasir.