Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Salah Kaprah Soal Pengadilan Rakyat 1965 di Belanda

13 November 2015   10:24 Diperbarui: 13 November 2015   13:16 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Bukan diprakarsai oleh Belanda dan bukan "suara bule"

Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tidak ada hubungannya dengan Pemerintah Belanda. Orang-orang yang menginisiasi juga bukanlah orang asing, melainkan aktivis HAM dan sejumlah warga Indonesia yang tinggal di Belanda.

IPT 1965 dikoordinasikan oleh aktivis dan praktisi hukum Nursyahbani Katjasungkana. Sementara Todung Mulya Lubis, pengacara yang dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia (HAM), menjadi jaksa ketua.

Tetapi, format sidang dibuat sama seperti pengadilan HAM formal dengan pembentukan tim peneliti yang menghimpun data dan kesaksian, serta penyusunan panel hakim internasional.

Nantinya, ada tujuh hakim yang akan memutuskan perkara, yaitu Sir Geoffrey Nice, Helen Jarvis, Mireille Fanon Mendes France, John Gittings, Shadi Sadr, Cees Flinterman, dan Zak Yacoob.

 

2. Pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum

Karena diprakarsai dan dibentuk murni oleh warga sipil biasa, IPT berada di luar negara dan lembaga formal seperti PBB. Itu artinya, keputusan apa pun yang dihasilkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Pemerintah Indonesia sudah menegaskan tidak mempunyai masalah dengan proses yang berlangsung di Den Haag.

Namun, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mewanti-wanti IPT itu merupakan bentuk kebebasan berpendapat, bukan bagian dari proses pengadilan internasional.

"Pemerintah Indonesia sudah mempunyai proses tersendiri untuk rekonsiliasi terkait dengan sejarah kita yang masa lalu itu," tambah Arrmanatha Nasir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun