Cerpen Pengalaman Pribadi: Kenangan Di Bulan Mei
Kenangan Di Bulan Mei
31 Mei 2015, hampir dua tahun telah berlalu. Namun mengingat namanya saja sudah membuat sesak di dada. Begitu berat rasanya melepas kepergiannya. Seseorang yang sering membuatku kesal, marah, dan aku juga sering bertengkar dengannya. Namun baru aku sadari ialah sosok yang sangat tegar, tangguh dan berhati lembut bagaikan malaikat. Setiap kali aku teringat kejadian itu, air mataku langsung mengalir. Hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, ia akan pergi untuk selamanya. Meninggalkan kenangan pilu di hati kami.
Sore itu langit cerah berawan, aku dan kakak perempuanku sedang bersiap siap untuk pergi berbelanja karena kemarin ia telah menerima gaji pertamanya. Ia berjanji untuk mentraktir dan membelikanku sepatu baru. Sebenarnya dia sedang malas untuk pergi namun aku berhasil membujuknya. Dengan hati gembira kami berdua berpamitan dengan ayah dan mama. Namun tak kusangka itu adalah pamitan perpisahan.
Selama diperjalanan menuju tempat perbelanjaan aku telah membayangkan sepatu yang akan aku beli dan aku juga membayangkan makan makanan enak disana berasama kakakku. Hari semakin beranjak sore, langit pun berubah menjadi mendung dan tetes hujan gemiris membasahi kami. Namun kami masih tetap melanjutkan perjalanan karena hujannya tidak begitu deras dan kami tidak mau pulang kemalaman nantinya.
Kakakku membawa motornya dengan pelan dan hati hati. Namun hujan nampaknya semakin jadi membasahi kami. Jalanan lumayan sepi sore itu karena mungkin orang malas keluar saat hujan. Sudah tampak dekat kami dengan tempat tujuan namun tak disangka dari arah belakang datang seseorang bersepeda motor dengan kecepatan tinggi. Orang tersebut menarik tas kakakku yang tergantung dimotor. Sontak hal tersebut membuat kami kaget dan kakakku kehilangan keseimbangan akibat tarikan yang cukup keras itu.
Entah apa yang terjadi selanjutnya, yang ku ingat hanya kegelapan. Badan ku seperti mati rasa, kakiku kaku begitupun dengan tanganku. Kepalaku terasa sangat sakit meskipun helm yang aku gunakan masih terpasang di kepalaku. Aku perlahan membuka mataku meski badanku kaku tak bergerak. Suara ramai terdengar di telingaku, entah berapa banyak orang berada disekitarku. Aku digendong seorang bapak masuk ke mobil, rupanya ia ingin membawaku ke rumah sakit. Aku melamun menatap langit-langit mobil itu sambil bertanya dalam hati "Apakah sekarang aku sedang bermimpi?"
Aku membuka mulutku dan terasa perih, perlahan air mata menetes di pipiku. Selama itu yang aku pikirkan cuma mama, aku mengigau memanggilnya "Mamaa... Ma.. Sakitt..." Air mata terus mengalir membasahi wajahku. Aku merasakan mobil yang aku tumpangi berhenti. Pintu mobil pun terbuka, aku melihat suster dengan sigap memindahkanku di ranjang dan mendorongku entah kemana. Aku dibawa menuju sebuah ruangan, disana aku melihat kakakku. Barulah aku teringat kejadian memilukan tadi. Aku mendengar suara kakakku menjerit kesakitan. Tak pernah aku dengar ia menangis seperti itu. "Dokter.. Sakit dok.. Jangann.." Teriak kakakku. Aku merasa sakit yang aku rasakan tak ada apa apa nya dibandingkan sakit yang dirasakan kakakku.
      Kemudian seorang suster menghampiriku, ia mengambil hp yang berada di saku celana ku."Dek yang disebelah itu temennya ya?" Tanya suster itu kepadaku, "Bukan sus itu kakakku." Lalu dia menelpon no orang tuaku yang berada di hp itu. Aku tak bisa membayangkan perasaan ayah dan mama mendengar kabar ini. Namun, yang lebih aku pikirkan bagaimana keadaan kakakku yang terus menerus merintih kesakitan itu. "Dok kakakku baik baik aja kan?" Tanyaku pada dokter yang mendekatiku, namun dokter tersebut hanya diam. Ia mengambil sebuah kapas dan jarum lalu mendekatkannya ke wajahku. "Dek kita jahit dulu lukanya ya, lihat darahnya ngalir terus" Kata dokter tersebut. Dari tadi aku tak menyadari bahwa daguku terluka cukup besar dan darahnya terus mengalir.
Aku menutup mataku karena takut namun saat dokter tersebut sedang menjahit lukaku aku mendengar suara yang kukenal. "Nanaa.. Ya Allah kenapa bisa ini terjadi" Suara itu adalah suara mama, ternyata kedua orang tuaku sudah berada disini. Aku tak bisa berkata dan hanya bisa menangis. Lalu ranjangku didorong keluar dari ruangan itu, aku sempat melihat kakakku sedang dikelilingi oleh beberapa dokter dan suster. Aku dibawa menuju ruangan lain. Disana sudah ada ayahku dan seorang polisi yang meminta keterangan atas kejadian yang aku alami tadi, lalu aku pun menceritakan seluruh kejadian yang aku ingat.Â
Setelah polisi tersebut pergi, datang seorang suster memasangkan impus ditanganku. Setelah impus terpasang aku merasa sangat mengantuk dan tertidur. Setelah tertidur cukup lama aku terbangun ditengah malam karena mama mengusap keningku. Aku melihat ia menangis "Nanaa.. Do'ain kakak ya.. Kondisi kakak sudah buruk, kakak mu kritis di ruang ICU karena ada pembekuan darah di otaknya, dokter sedang berusaha semampunya.. Do'ain kakak bisa sembuh na." Kata kata mama  membuatku tertegun tak bisa berkata kata. Tak lama ayah datang memhampiriku, wajah ayah sangat lusuh dan ia menggelengkan kepalanya sambil menangis. "Nana kakakmu sudah pergi.." Jelas ayah terbata bata. Hatiku terasa hancur, bibirku membisu, dan tanganku bergetar. Mama ku terduduk dan menatap kosong ke arah ayah, ia terlihat sangat rapuh. Ayah membawa mama pergi melihat kakakku.
 "Maa.. Nana juga ingin lihat kakak.. Maa.." Jeritku kepada mama yang telah pergi dari ruanganku. Namun tante dan suster datang membawa kursi roda untukku menuju ruangan kakak. Tante mendorong kursi rodaku memasuki ruangan itu, aku melihat banyak orang yang kritis disana, lalu diujung ruangan aku melihat ranjang kakakku dikelilingi keluargaku. Air mata terus mengalir di wajahku perlahan aku berdiri dan mencium keningnya. "Kak.. Bangun kak.. Bangun.. Maafin Nana kak, nana janji gak akan buat kakak marah lagi. Nana bakalan jadi adek yang baik untuk kakak.. Kakak bangun dong kak..." Rintihku sambil mengoyang goyangkan badan kakakku yang terus diam tak bergerak. Aku terduduk diam dikursi rodaku, lalu mama datang menghampiriku "Nana.. Ikhlasin kakak na.. Waktu kakak sudah habis.. Nana harus kuat biar mama juga bisa kuat.. Sekarang Nana yang harus gantiin tugas kakak yaa." Mamaku benar benar wanita yang tegar seperti kakakku.
Setelah dirawat kurang lebih satu minggu dirumah sakit, aku pun diperbolehkan pulang oleh dokter. Luka di badanku pun sudah mulai mengering namun luka dihatiku masih terus saja terbuka, tak bisa hilang oleh waktu. Rasa sesal yang aku rasakan terus saja menghantuiku sampai saat ini. Namun aku yakin ada sesuatu yang menantiku selepas banyak kesabaran yang aku jalani hingga aku lupa pedihnya rasa sakit. "Nana janji kak nana bakal jagain mama, ayah, dan adek.. Nana juga janji bakalan buat mama, ayah dan kakak bangga dengan nana.. Nana sayang kakak.. Nana rindu kakak.. Tunggu kami disurga ya kak." Bisikku sambil memandangi foto kakakku yang tersenyum bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H