"Maa.. Nana juga ingin lihat kakak.. Maa.." Jeritku kepada mama yang telah pergi dari ruanganku. Namun tante dan suster datang membawa kursi roda untukku menuju ruangan kakak. Tante mendorong kursi rodaku memasuki ruangan itu, aku melihat banyak orang yang kritis disana, lalu diujung ruangan aku melihat ranjang kakakku dikelilingi keluargaku. Air mata terus mengalir di wajahku perlahan aku berdiri dan mencium keningnya. "Kak.. Bangun kak.. Bangun.. Maafin Nana kak, nana janji gak akan buat kakak marah lagi. Nana bakalan jadi adek yang baik untuk kakak.. Kakak bangun dong kak..." Rintihku sambil mengoyang goyangkan badan kakakku yang terus diam tak bergerak. Aku terduduk diam dikursi rodaku, lalu mama datang menghampiriku "Nana.. Ikhlasin kakak na.. Waktu kakak sudah habis.. Nana harus kuat biar mama juga bisa kuat.. Sekarang Nana yang harus gantiin tugas kakak yaa." Mamaku benar benar wanita yang tegar seperti kakakku.
Setelah dirawat kurang lebih satu minggu dirumah sakit, aku pun diperbolehkan pulang oleh dokter. Luka di badanku pun sudah mulai mengering namun luka dihatiku masih terus saja terbuka, tak bisa hilang oleh waktu. Rasa sesal yang aku rasakan terus saja menghantuiku sampai saat ini. Namun aku yakin ada sesuatu yang menantiku selepas banyak kesabaran yang aku jalani hingga aku lupa pedihnya rasa sakit. "Nana janji kak nana bakal jagain mama, ayah, dan adek.. Nana juga janji bakalan buat mama, ayah dan kakak bangga dengan nana.. Nana sayang kakak.. Nana rindu kakak.. Tunggu kami disurga ya kak." Bisikku sambil memandangi foto kakakku yang tersenyum bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H