Aliran Wahabi sebenarnya sudah masuk ke Indonesia pada awal abad ke-19. Perang Paderi di Sumatera Barat dipimpin oleh tokoh Islam berpaham Wahabi.  Aliran ini  juga mempunyai banyak kedekatan dan persinggungan dengan doktrin keagamaan sejumlah ormas Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Persis dan kalangan Islam modernis Islam.
Persinggungan pertama adalah dalam paham untuk kembali kepada Al-Quran dan Hadist (ar-ruju’ ila alquran wal al-hadist). Namun ada perbedaan dalam penerapannya. Kalangan Wahabi menerapkan doktrin ini dengan melakukan penafsiran atas Quran dan hadis secara tekstual.  Sementara bagi Muhammadiyah, dan kalangan modernis Islam lainnya, menjalankan doktrin tersebut dengan mengutamakan argumen rasional. Karenanya, produk pemikiran yang dilahirkan keduanya akan berbeda, bahkan bisa dikatakan bertolak-belakang.
Persamaan kedua adalah doktrin anti TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat) yang dianut, baik Wahabi maupun Muhammadiyah dan Persis. Muhammadiyah menyebutnya sebagai pemurnian ajaran Islam dari praktek-praktek menyimpang dan kesyirikan. Muhammadiyah melarang pengikutnya melakukan kegiatan ziarah kubur, upacara kematian yang menimbulkan biaya yang memberatkan keluarga mayat dan sebagainya. Meskipun demikian, Muhammadiyah bersikap toleran kepada siapapun yang melakukannya, dan tidak mengkafirkan mereka. Muhammadiyah memandang kegiatan semacam ziarah kubur termasuk urusan pada tingkat furu’ yang tidak perlu dipertentangkan.
Sedangkan Kalangan Wahabi menerjemahkan doktrin anti TBC dengan kembali kepada kehidupan di zaman N.abi Muhammad SAW.  Oleh sebab itu Wahabi mewajibkan  pengikutnya untuk berpakaian seperti yang dijalankan di zaman Nabi Muhammad, seperti memelihara jenggot, memakai jubah dan serban. Wahabi  melarang kaum perempuan keluar rumah dan tidak bersekolah. Sangat berbeda dengan Muhammadiyah mempunyai organisasi otonom khusus perempuan, yaitu Aisyiah dan Nasyiatul Aisyah (remaja perempuan)  yang bertujuan memajukan kaum perempuan di bidang pendidikan dan karir.
Persamaan ketiga, baik Wahabisme maupun  Muhammadiyah adalah sama-sama tidak bermazhab. Namun berbeda dengan Muhammadiyah dan kalangan modernis Islam yang mendukung kebebasan berpikir, kelompok  Wahabi justru mendirikan mazhab baru yaitu mazhab wahabi yang berpandangan sempit.  Hal itu disebabkan wahabisme terkungkung dalam lingkar pemikiran ulama yang menjadi rujukan utamanya. Akibatnya cukup fatal. Wahabi merumuskan hukum-hukum yang bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri, seperti doktrin takfiri,  mengkafirkan sesama muslim yang tidak sependapat dengan mereka.
Wahabi di Indonesia tidak muncul sebagai nama dari ormas Islam atau partai politik Islam. Wahabi eksis di Indonesia melalui berbagai lembaga yang pemimpinnya menganut paham Wahabi.  Nama Wahabi di mata umat Islam dunia terpuruk  karena lahirnya sejumlah kelompok radikal paramiliter  yang menganut  atau terinpirasi dengan aliran Wahabi,  seperti Taliban, Al-Qaeda, ISIS, dan Boko Haram yang sangat kejam. Mereka jauh lebih radikal dengan mentakfirkan sesama muslim tidak hanya karena perbedaan pandangan dan aliran yang dianut, tetapi juga karena perbedaan batas Negara.
Oleh sebab itu, jika benar Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir pengikut aliran Wahabi, maka umat Islam Indonesia sebenarnya telah tertipu. Umat Islam Indonesia  yang tergolong radikal sekalipun paling-paling hanya bercita-cita mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan kaum Wahabi mempunyai ultimate goal menjadikan Indonesia Negara Islam beraliran Wahabi. Jika hal itu terjadi maka Indonesia akan menjadi ajang pertempuran antar golongan umat Islam sendiri, karena doktrin takfiri yang mereka jalankan.  Maka NKRI akan terkoyak-koyak. Â
Oleh sebab itu, menjadi tugas Pemerintah untuk selalu mewaspadai gerakan Wahabi di tanah air, setelah keberhasilan tiga jilid aksi demo damai. Perlu dicermati langkah-langkah selanjutnya yang diprakarsai dan digerakkan oleh Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir yang dapat diduga adalah pengikut dan bahkan pemimpin gerakan Wahabi di Indonesia.
Sekian dulu dan salam Kompasiana
M. Jaya Nasti
Sumber tulisan diolah dari berbagai artikel di internet.