Para ulama radikal dan aktifis Ormas Islam melakukan demo besar-besaran di Balaikota Jakarta. Akibatnya taman-taman di depan balaikota dan sepanjang jalan Merdeka Selatan menjadi rusak. Para demontran yang dikomandoi oleh Imam Besar FPI, Habib Riziek dan Amien Rais meneriakkan agar Ahok dihukum bunuh sekarang juga. Teriakan mereka itu sejalan dengan pendapat yang disampaikan Tengku Zulkarnain, yang menjadi Jubir MUI pada acara ILC-TiviOne, 11 Oktober 2016 yang lalu.
Akan tetapi para demonstran itu ternyata adalah orang-orang bayaran. Mereka bukan warga DKI Jakarta. Mereka sebenarnya adalah warga Karawang yang dibayar Rp 50.000 per orang oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjatuhkan Ahok. Bayaran yang diterima cukup lumayan untuk menambah uang dapur, selain mendapatkan kostum pakaian seragam, baju gamis putih dan sorban. Tetapi sebenarnya yang untung besar adalah para koordinator yang mengumpulkan orang-orang desa tersebut untuk dibawa ke Jakarta dengan tugas meneriakkan Allahu Akbar.
Apakah Ahok telah melakukan penistaan atau penghinaan terhadap agama Islam karena dalam pidatonya dengan menyebutkan surat Al-Maidah ayat 51?. Ahok menyebutkan “…bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu tidak bisa memilih saya, ya kan.. dibohongin pakai surat al-Maidah 51 macem-macem itu, itu hak bapak ibu….”. Itulah potongan pidato Ahok yang berdurasi lebih dari satu jam. Jadi seharusnya dibaca secara kesekuruhan untuk memahami konteksnya.
Menurut ahli bahasa yang diundang ILC pada acara itu, pengertian kalimat itu dari sudut bahasa Indonesia, “ada orang-orang yang membodohi masyarakat dengan menggunakan surat al-Maidah ayat 51 untuk tidak memlih Ahok “. Sebenarnya tidak ada penistaan terhadap agama Islam, khususnya al-Quran. Apakah orang Nasrani tidak boleh menyebut suatu nama ayat dalam al-Quran? Buktinya tidak ada dari para hadirin yang 99% beragama lslam merasa tersinggung dan marah setelah Ahok menyelesaikan pidatonya.
Ledakan kemarahan baru muncul sepuluh hari kemudian. Hal itu terjadi karena ada seseorang yang meng-upload potongan pidato Ahok itu dalam bentuk transkrip di akun twitternya. Orang itu hanya mengambil potongan pidato berdurasi 30 detik dari pidato panjang Ahok yang lebih dari satu jam. Ada kata-kata yang sengaja dibuang untuk menajamkan al-Maidah ayat 51 tersebut, sehingga menimbulkan kesan Ahok menghina ayat tersebut. Jadi kemarahan terjadi karena potongan pidato itu telah diplintir.
Mengapa kemarahan massa Islam mudah disulut? Yang pertama, masa demostran itu sebenarnya tidak tersulut, karena mereka sebenarnya hanya demonstan bayaran. Sebagian besar umat Islam yang punya akal sehat dan rasional tidak tersulut. Contohnya Buya Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah yang bertitel profesor doktor. Beliau mengajak umat Islam untuk memaafkan Ahok, karena memaafkan itu perbuatan mulia, dan selesai sampai di sana. Buya menyatakan bahwa masalah ini kan tidak bisa dilepaskan dari masalah politik sehubungan dengan Pilkada DKI Jakarta.
Yang tersulut itu paling-paling Habib Riziek dan Amien Rais mantan Ketua PP MUhammadiyah juga, tapi yang sablengnya. Tentu saja masa FPI, serta para muslim radikal yang tersebar di mana-mana. Sudah lama mereka membenci Ahok. Mereka tidak ikhlas Jakarta dipimpin oleh gubernur yang beragama Kristen. Ahok bertubi-tubi Ahok diserang dengan merujuk pada Surat Al-Maidah ayat 51 tersebut.
Misalnya pada pertengahan September 2016 ada pertemuan akbar di Mesjid Negara Istiqlal. Pertemuan itu mengeluarkan sembilan Risalah Istiqlal. Risalah pertamanya adalah himbauan kepada umat Islam untuk tidak memilih Ahok, tetapi memilih pemimpin muslim.
Oleh sebab itu kita sebaiknya mengacu saja pada ketentuan perundangan yang berlaku di NKRI, bukan hukum Islam abal-abal yang tidak jelas asal-usulnya, tidak ada rujukannya dalam al-Quran dan hadist Nabi. Sumbernya hanya pendapat seorang pengurus MUI.
Kita anggap saja Ahok bersalah. Buktinya, ia sudah menyampaikan permintaan maaf kepada umat Islam. Peraturan yang terkait dengan penistaan agama mengacu kepada UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU 1/PNPS/1965”). UU tersebut diterbitkan di era Orde Lama pada tahun 1965 dan ditandatangani oleh Presiden Sukarno. Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 menyatakan:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Pada Pasal 2 disebutkan bahwa perorangan yang dinyatakan bersalah akan dijatuhi hukuman berupa peringatankeras untuk menghentikan perbuatannya, melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.Barulah, jika orang itu masih juga melakukan perbuatannya, ia dapat dijatuhi hukuman penjara sampai 5 tahun penjara.
Jadi, berdasarkan UU tersebut, kalaupun Ahok divonis bersalah, maka hukuman yang dapat dijatuhkan kepadanya hanyalah berupa hukuman peringatan. Bukan hukum bunuh atau diusir dari Indonesia, sebagaimana disampaikan Jubir MUI dan diamini oleh Habib Riziek dan Amien Rais bersama ribuan demonstran bayaran.
Akhirnya, kita melihat sosok MUI sebagai LSM milik umat Islam itu telah sedemikian lebay dalam membuat fatwa dan pandangan-pandangannya. Selain itu MUI sudah masuk pada ranah politik yang bukan bidang tugasnya. Karena pandangan dan fatwanya yang lebay tersebut, MUI justru berperan sebagai provokator dalam menghasut umat Islam untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum, termasuk tindak kekerasan. Kalau demo di Balaikota Jakarta kemarin masih dikategorikan berlangsung tertib, tidak demikian halnya yang terjadi pada kasus demo dan penyerangan terhadap kelompok-kelompok yang difatwakan MUI sebagai paham atau aliran sesat. Pengrusakan, pembakaran dan pengusiran pengikut aliran yang difatwakan sesat itu berlangung d mana-mana.
Pada hal sebenarnya MUI telah melampau kewenangan yang dimilikinya. Mereka selalu mengatas namakan ajaran Islam, tetapi fatwa-fatwanya tidak sejalan atau bahkan bertentang dengan ketentuan yang digariskan al-Quran. Misalnya, fatwa tentang aliran sesat, sebenarnya bukan kewenangan MUI. Dalam al-Quran berkali dinyatakan bahwa urusan itu adalah kewenangan langsung dari Allah yang tidak diserahkan kepada manusia, termasuk MUI dan Menteri Agama sekalipun. Dalam surat an-Nahl/16:125 misalnya, ayat itu ditutup dengan Allah berfirman, bahwa hanya Allah yang mengetahui siapa yang berada kesesatan dan siapa saja yang berada di jalan kebenaran.
Oleh sebab itu, alih-alih menciptakan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang dilakukan MUI justru sebaliknya, yaitu laknatan lil ‘alamin.Sekarang dengan masuk pada ranah politik, MUI dapat menciptakan kerusakan pada NKRI.
Karenanya saya setuju dengan pendapat Kompasioner Zen Muttaqien, sebaiknya MUI dibubarkan saja karena tidak ada gunanya. MUI hanya menghabiskan uang Negara, karena disubsidi setiap tahun dari ABPN. Para ulama di MUI hanya menciptakan kerusakan pada NKRI. Mereka, pada dasarnya anti Pancasila, UUD 1945 dan anti bhinneka Tunggal Ika.
Sekian dan Salam
M. Jaya Nasti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H