Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Muslim Radikal Vs Ahok

12 Oktober 2016   10:05 Diperbarui: 12 Oktober 2016   10:12 1440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cagub Petahana, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, meminta maaf kepada seluruh umat Islam Indonesia, sehubungan dengan perkataannya atau pidatonya di Kabupaten Kepulauan Seribu yang dikaitkan dengan Surat Al-Maidah ayat 51. Rupanya perkataan Ahok tersebut kemudian dijadikan senjata untuk menjatuhkannya. Maka terjadilah keributan dan demostrasi. Ahok dituduh telah melakukan penistaan terhadap al-Quran, kitab suci umat Islam. Perkataan Ahok itu tidak pantas diucapkan oleh seorang gubernur yang digaji oleh Negara. Dengan berbagai tuduhan itu, maka Ahok dilaporkan kepada polisi.

Pada hal jika dilihat secara keseluruhan, pidato Ahok di Kabupaten Kepulauan Seribu itu biasa-biasa saja. Kehebohan baru terjadi sepuluh hari kemudian, karena ada seseorang yang pembenci Ahok yang mempelintir pidato Ahok tersebut dan menyebarkannya di medsos. Dia membuat transkrip dari pidato Ahok sepanjang 30 detik, dengan membuang kata tertentu. Pada hal Ahok berpidato lebih dari 60 menit. Hasilnya, publik mendapatkan kesan bahwa Ahok telah menghina al-Quran.

Tadi malam dalam acara ILC yang ditayangkan secara langsung oleh Tivione, dengan Topik “Setelah Ahok Minta Maaf”, terlihat nyata ada dua kelompok manusia yang hadir.  Kelompok pertama kita sebut saja, kelompok muslim radikal, yang membenci Ahok sampai ke ubun-ubun. Mereka berpandangan dan berpikiran bahwa sepertinya Indonesia adalah negara Islam yang diatur oleh hukum-hukum syariah. Surat al-Maidah ayat 51 adalah ayat yang selalu mereka gunakan sebagai dalil untuk menolak Ahok yang berasal dari double minoritas (etnis Cina dan beragama Nasrani)  menjadi pemimpin,  dalam hal ini Gubernur Jakarta.  Dalam kelompok ini bergabung pula para politisi dari Gerindra yang diwakili Fadli Zon dan PKS yang diwakili oleh Fahri Hamzah. Semua membenci Ahok dan tidak ingin Ahok terpilih lagi menjadi gubernur DKI Jakarta.

Sedangkan kelompok kedua adalah muslim moderat.  Mereka ini berpandangan bahwa Indonesia adalah Negara didirikan dengan kesepakatan bersama semua pemeluk agama. Karenanya Indonesia didirikan dan diatur berdasarkan suatu konstutitusi yang disepakati bersama, dan bukan berdasarkan syariat Islam. Dasar Negara kita adalah Pancasila, bukan syariat Islam. Semua golongan mempunyai hak dan kewajiban yang sama selaku warga Negara.  

Kelompok ini menjadi pendukung Ahok dan sebagian malah menjadi Tim Sukses Ahok. Mereka tidak memandang Ahok dari sisi double minoritasnya. Yang dilihat adalah prestasi kerja Ahok selama 4 tahun ini yang sangat fenomenal.  Bahkan Nusron Wahid mantan Ketua Tim Sukses Ahok-Djarot memberikan contoh tentang adanya gubernur beragama Nasrani yang  diangkat oleh Khalifah Abbasiyah. Sedangkan Hamka dari DPP PDIP menjelaskan tentang masa Abu Thalib, paman Nabi Muhammad,  yang menjadi pemimpin Mekah  meski tetap kafir sampai meninggal. Umat Muhammad yang disiksa kaum kafir Mekah justru diperintahkan untuk hijrah ke Abesenia yang diperintah oleh raja beragama Kristen.

Yang perlu dipahami Ahok, bahwa di dalam setiap ormas Islam, termasuk Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah yang dikenal moderat,  ada unsur muslim radikalnya.  Pada acara ILC tadi malam terlihat jelas orang NU dan Muhammadiyah yang termasuk kelompok muslim radikal dan muslim moderat.  Merekalah yang saling berdebat dengan sengit dan saling berhadapan. 

Bedanya, yang termasuk kelompok muslim radikal  dari NU adalah generasi tua, yang diwakili oleh tokoh tua NU yang menjabat sebagai mustasyar dalam PBNU. Sedangkan unsur muslim moderat NU diwakili oleh banyak tokoh muda seperti Nusron Wahid, Effendi Choiri, serta beberapa kiyai muda yang duduk dalam Suriah PBNU. Di luar itu masih banyak tokoh-tokoh NU yang tergolong muslim moderat, seperti KH Said Agil Siraj (Ketua PBNU), Masdar Farid Mas’udi (PBNU), dan Ulil Absar (Koordinator JIL),

Sebaliknya dengan Muhammmadiyah. Anak-anak mudanya justru kebanyakan berpaham muslim radikal. Mereka diwakili oleh organisasi-organisasi otonom (ortom) dalam Muhammadiyah, seperti Pemuda Muhammadiyah. Ortom Pemuda Muhammadiyah inilah yang melaporkan Ahok ke polisi dengan tuduhan menistakan al-Quran.

Sedangkan generasi tua Muhammadiyah justru banyak yang tergolong muslim moderat. Mereka direpresentasikan oleh Buya Syafii Maarif yang semalam tampil  melalui teleconference. Selain itu di luar  ada sejumlah tokoh tua, antara lain M. Dawam Rahardjo.

Ada perbedaan lain antara NU dan Muhammadiyah. Meskipun di dalam NU terdapat dua kelompok yang saling berbeda pandangan tersebut, mereka terlihat menerima perbedaan dalam kebersamaan. Jadi dalam kepengurusan PBNU terdapat kelompok  muslim radikal dan muslim moderat yang dapat bekerjasama dengan damai.

Sebaliknya di Muhammadiyah, tokoh-tokoh moderat biasanya dibenci dan dijauhi. Buya Syafii Maarif misalnya adalah tokoh yang sangat dibenci oleh kalangan musim radikal Muhammadiyah. Untunglah Buya mempunyai lembaga “Maarif Institute” tempat berkiprah beliau dan para pemuda di lingkungan Muhammadiyah yang berpaham Islam moderat dan liberal.

Adapun para pimpinan pusat Muhammadiyah sendiri, sejak periode Din Syamsuddin sampai sekarang selalu mengambil sikap mendua. Mereka tidak tegas dalam bersikap. Kadang-kadang mereka bergabung dalam  kelompok Islam radikal, dan kadang-kadang bersikap sama seperti Islam moderat. Sikap mendua itu mereka lakukan  agar dapat diterima oleh kedua pihak, baik yang muslim radikal maupun muslim liberal. Gaya kepemimpinan seperti itu sepertinya diikuti pula oleh para PP Muhammadiyah sekarang, yang dipimpin oleh Dr. Haedar Nasir.

Tapi yang pasti, sebagai ormas Islam, Muhammadiyah selalu bersikap netral, tidak berpihak kepada kontestan manapun dalam Pemilu dan Pilkada. Karenanya siapapun cagub DKI Jakarta yang datang  untuk minta restu akan diterima dengan baik. Mereka akan didukung,  tetapi secara pribadi-pribadi, bukan secara kelembagaan Muhammadiyah.

Pada Piilpres 2014, para tokoh muslim moderat dari kalangan NU menjadi pendukung dan pembela Jokowi yang gigih. Mereka bertarung melawan fitnah-fitnah yang berhamburan dari kalangan muslim radikal. Sedangkan anak-anak muda Muhammadiyah bahu membahu  dengan PKS untuk menjatuhkan dan mengalahkan Jokowi.

Saya setuju dengan pandangan Mawalu di Kompasiana, Ahok tidak perlu bicara tentang agama Islam, tentang kedekatannya dengan Islam sejak masih kecil di Belitung Timur sana.  Tidak perlu cerita bahwa ia pernah  selama sekian tahun bersekolah di sekolah Islam. Yang perlu disadari benar Ahok adalah ia sangat dibenci oleh banyak sekali muslim radikal, yang tidak menginginkan ia terpilih kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta.   

Saya berpendapat ada baiknya Ahok memanfaatkan tokoh-tokoh muslim moderat yang menjadi tim suksesnya untuk berbicara tentang perilaku Islami Ahok. Yang bicara bukan Ahok sendiri, karena bisa disalah artikan.  Begitu pula, Tim Sukseslah yang berbicara tentang berbagai prestasi Ahok yang terkait dengan keislaman, seperti pembangunan masjid agung di Balaikota,  pengiriman para marbot atau penjaga masjid  untuk melakukan umrah dan sebagainya.

Sekian dulu, Salam

M. Jaya Nasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun