PDIP sedang bingung. Tidak ada stok kader yang mumpuni yang lebih baik dari Ahok, sang cagub petahana. Sementara Megawati, Ketum PDIP sudah terlanjur menantang Ahok untuk bersikap jantan. Ternyata Ahok membuktikannya. Ia cukup jantan dan berani untuk maju melalui jalur independen. Â Ahok tidak pernah mengemis dukungan PDIP.Â
Bahkan sekarang, ada tiga partai politik yang secara resmi mendukung Ahok, yaitu Nasdem, Hanura dan Golkar. Ketiga partai  memiliki 24 kursi di DPRD Jakarta. Jumlah kursi itu sudah melebihi persyaratan minimal 22 kursi, jika Ahok akhirnya memutuskan memilih jalur parpol.  Jadi Ahok, tanpa PDIP, sudah bisa leluasa dalam memilih. Bisa melalui jalur independen yang didukung tiga parpol, atau jalur partai yang didukung oleh lebih sejuta KTP yang berhasil dikumpulkan teman-teman Ahok.
Untuk menenangkan hati Bu Ketum PDIP yang lagi kebingungan, Yunimart Girsang, anggota DPR dari PDIP secara sendirian atau bersama sebuah ormas di bawah Payung PDIP, mengambil inisiatif. Sayangnya inisiatif Girsangan sebenarnya merupakan tindakan tidak terpuji. Girsang  berupaya memecah belah organisasi Teman Ahok.
Pertama mereka merekayasa tuduhan bahwa Teman Ahok menerima uang dari Pengembang Reklamasi sebesar Rp 30 milyar. Tuduhan itu bahkan disampaikan Girsang dalam acara ILC di TV One. Kedua, mereka mencari anggota Teman Ahok yang mau berkhianat. Â Mereka berhasil mendapatkan 5 orang yang mau memberikan pernyataan bahwa formulir dan foto KPT yang mereka kumpulkan tidak dilakukan secara benar.Â
Tetapi, inisiatif Girsang menjadi konyol, karena ia tidak membawa serta bukti-bukti dan yang kuat. Ia tidak menjelaskan apa nama pengembang yang memberikan dana kepada Teman Ahok, dimana dan siapa yang menyerahkan, dan sebagainya. Girsang mungkin berpikiran bahwa publik akan percaya begitu saja dengan penjelasannya, karena ia berlatar belakang pengacara.Â
Lalu, karena 5 pengkhianat Teman Ahok mengadakan konfrensi pers di sebuah hotel berbintang, maka diperpertanyakan publik, siapa yang membayarkan sewa ruangan itu. Setelah dibully ramai-ramai, Girsang membela diri dengan menyatakan bahwa sebenarnya ia juga mendukung Ahok.
Kebingungan PDIP semakin bertambah, karena Trirismaharini, walikota Surabaya yang digadang mampu mengalahkan Ahok kembali menyatakan menolak dicalonkan. Ia tidak mau mengkhianati rakyat Surabaya yang baru saja memilihnya menjadi walikota. Maka PDIP-lah yang  sekarang ditantang, beranikah bersikap jantan mencalonkan kader sendiri dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, meskipun hampir dipastikan kalah?
PPP adalah partai lama yang juga menghadapi kebingungan. Sebagai partai Islam, tentunya  wajar mereka tidak mendukung Ahok yang beretnis Cina dan beragama Kristen Katholik. Ada H. Lulung, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari PDIP yang sangat berminat. Tapi mencalonkan H. Lulung sama buruknya. H. Lulung adalah komandan preman Tanah Abang. Akhirnya, PPP sekarang menggadang tokoh tua, Taufiqurrahman Ruki  yang umurnya sudah lebih 70 tahun.
Taufiqurrahman Ruki adalah mantan ketua KPK dan Plt Ketua KPK pada waktu terjadi kekosongan kepemimpinan di  KPK setelah Abraham Samad dijadikan tersangka. Setelah Muktamar PPP yang lalu, ia menjabat Ketua Mahkamah Partai. Ia mulai bersuara menyerang Ahok. Tapi pada langkah pertama saja, ia mendapat serangan balik.
Sebagai mantan ketua KPK, Ruki  dipandang tidak etis membuat pernyataan yang bertentangan dengan kebijakan pimpinan KPK sekarang. Karenanya komentar Ruki tentang kasus pembelian tanah RSSW, sebagai upayanya untuk menjelek-jelekkan Ahok dipandang tidak etis.
Selanjutnya Partai Gerindra, yang sangat membenci dan sangat berambisi untuk menumbangkan Ahok dalam Pilgub Jakarta 2017, kalau perlu sebelumnya. Di DPR, anggota dari Partai Gerindra bersuara paling keras untuk memojokkan Ahok dalam segala hal. Partai ini membenci Ahok karena menyatakan keluar dari Gerindra yang  mendukung Pilkada tidak langsung.