Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Liburan Pulang Kampung

11 Mei 2016   11:07 Diperbarui: 11 Mei 2016   11:13 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Libur panjang yang  baru berlalu saya manfaatkan untuk pulang kampung di Sumatera Barat bersama keluarga. Sudah empat tahun saya sekeluarga tidak pulang kampung. Ada kerinduan untuk menengok kampung, sanak famili dan orang-orang kampung.

Dalam rombongan terdapat anak, menantu, dua cucu dan juga besan, suami isteti,  yang juga berminat menikmati liburan di Sumatera Barat.  Adik saya yang bermukim di Padang memfasilitasi kami sebuah vila 3 kamar di Bukitinggi untuk menjadi basis liburan. Ia juga memfasilitas sebuah mobil sedan untuk digunakan berkeliling.

Saya berasal dari dekat kota Bukittinggi Kabuparen Agam  dan isteri saya dari lima kaum dekat  kota Batusangkat di Kabupaten Tanah Datar. Karenanya kami perlu mengatur jadwal perjalanan, agar saya bisa menengok kampung halaman. Begitu pula saya. Urusan menengok famili di kampung ini bisa diselesaikan dalam dua hari.

Sumatera Barat terkenal sebagai obyek wisata alam dan kuliner. Hampir seluruh kawasan di Sumatera Barat terlihat indah, dikelilingi oleh 4 gunung (Marapi, Singgalang, Tandikat, dan Sago), pergunungan bukit barisan dan lembah ngarai di sepanjang jalan. Sedangkan dalam hal wisata kuliner, terdapat aneka cita makanan dan masakan khas Minang yang cita rasanya tidak tertandingi.  

Kami berkeliling ke obyek-obyek wisata di Pantai Padang sampai ke Pantai Pariaman dan naik boat ke Pulau Angso Dua melalui Taman Gondoriah.

Pada hari lain, dari Bukittinggi menyusuri obyek wisata di sebelah Timur Bukitinggi, dari Lembah Harau, Istano Pagaruyung, Danau Singkarak, Padang Panjang dan kembali ke Bukitinggi.  Semuanya merupakan obyek wisata alam yang indah. Obyek wisata kuliner kami adalah makan siang di Batusangkar sebelum ke Singkarak, dan makan Sate Saiyo di Padang Panjang. Kami ke restoran Sate Mak Syukur tetapi satenya sudah habis. Malam harinya berjalan –jalan di Kampung Cina Bukittinggi untuk menikmati martabak Kubang, Teh Telor dan Sekoteng.

Pada hari berikutnya lagi, kami berkeliling obyek wisata di kawasan Barat Bukitinggi, tapi memulainya dari Bandara Internasional Minangkabau, sambil mengantarkan menantu saya yang harus balik duluan ke Jakarta. Kami menempuh perjalanan di jalan menuju kota Pariaman, ke Pantai Gondoriah lagi di Pariaman. Setelah makan siang,  kami meneruskan perjalanan ke Pantai Tiku, Lubuk Basung dan Maninjau. Setelah istirahat minum kopi di sebuah warung kopi di Pantai Danau Maninjau kami terus ke kelok 44 yang berliku-liku, sampai di Matur, Ambun Pagi, Lawang, Balingka, Malalah, Padang Luar dan sampai lagi di Bukitinggi.

Daerah Wisata tetapi Tidak Terurus dengan Baik

Meskipun memiliki banyak lokasi wisata, namun hampir semuanya tidak diurus dengan baik oleh Pemda atau Dinas Pariwisata setempat. Hal pertama dapat dilihat pada sedikitnya plang informasi lokasi wisata di pinggir jalan. Karenanya harus bertanya dulu kepada penduduk setempat  ke mana arah lokasi wisata yang dimaksud. Misalnya lokasi wisataa Sungai Jernih dekat Baso, dan Lembah Harau. Tidak ada sama sekali petunjuk lokasi.

Yang kedua adalah pengelolaan lokasi wisata yang terkesan sangat kampungan  dan tidak ada informasi tentang obyek yang dilihat. Jadi kesannya tidak ada sense of tourisme  di kalangan pejabat pariwisata.

Kampung-kampung yang Kosong di Tinggal Merantau  

Orang Minang terkenal sebagai perantau. Mereka meninggalkan kampung halaman sejak usia muda, setelah tamat SD, SMP atau SMA. Akibatnya kampung dan kota-kota menjadi sunyi. Setiap kali masuk ke suatu kampung, yang ditemui hanya orang-orang tua. Menjelang masuk ke kota Pariaman, saya melihat betapa sepinya kampung-kampung. Barulah setelah sampai di pusat kota ada sedikit keramaian. Itupun sebagian turis lokal yang berkunjung ke Taman Gondoria.

Begitu pula halnya di kampung saya di dekat Bukittinggi, sepi dan kosong melompong dari anak-anak muda. Sebagian besar sudah pergi merantau. Memang ada banyak rumah yang bagus dan bahkan berukir yang dibangun. Tetapi rumah-rumah itu dalam kondisi terkunci tanpa penghuni. Rumah-rumah bagus itu baru berpenghuni pada bulan puasa menjelang lebaran.

Lalu kemana orang-orang Minang pergi? Mereka ada di mana-mana di seluruh Indonesia dan bakan di luar negeri. Pada level bawah, mereka menjadi pedagang kaki lima, penjual makanan baik martabak, sate, penjual ketupat sayur padang.  Pada level menengah mereka menjadi pemilik toko, guru, ustad,  pegawai negeri, eksekutif perusahaan,  dan sebagainya. Sedangkan pada level tinggi, mereka menjadi pejabat Negara.

Pedagang Minang Menjadi Tukang Palak di Negeri Sendiri?

Saya ingin membuktikan melalui pengalaman langsung tulisan seorang Kompasioner asal Padang, Adi Bamansa. Ia menulis bahwa banyak orang Minang yang berjualan makanan yang menaikkan harga  berlipat-lipat. Nasi Kapau yang terkenal itu, sebungkusnya bisa dihargai beberapa ratus ribu.  Bahkan dalam tulisannya disebutkan sewaktu rombongan Presiden SBY makan di sama dengan rombongan, dipalak sampai Rp 20 juta.

Akan tetapi pengalaman saya makan di seluruh restoran yang dikunjungi berbeda. Tidak sekalipun terkena palak atau istilah lain “pakuak”.  Di Los Lambung yang menampung banyak penjual nasi kapau, harga per porsi lengkap nasi kapau  paling hanya Rp 25.000,-  Sedangkan di Restoran Nasi Kapau Ni Cah yang kelasnya lebih tinggi, hanya Rp 40.000,- per porsi/bungkus. Bedanya, lauk di Nasi Kapau Ni Cah satu potongnya sangat besar, seperti usus batalu, gulai ikan batalua, rendang ayam dan sebagainya. Satu porsi itu sudah lengkap dengan sayur nangka yang dcampur daun lobak (kol) dan kacang panjang. Jadi  harga makan ci kios nasi dan restoran masih sangat wajar dan normal. 

Bahkan dalam perjalanan panjang, berkali-kali kami makan di sejumlah restoran,  harga makanan relatif murah.  Pada hal jumlah orang dewasa yang ikut makan mencapai 6 orang dan anak-anak 2 dua orang. Total harga makan dan juga minuman untuk orang sebanyak itu hanya berkisar Rp 150.000,- saja.

Sedangkan di Bukittinggi, Bufet Ni Ayang yang namanya tertulis sebagai obyek wisata kuliner di Bukitinggi, satu porsi ketupat pical dihargai Rp 8.000,- Sedangkan di buffet Pical si Kai harganya Rp 12.000,- Jadi harganya masih sangat wajar.

Saya juga disarankan hati-hati dengan tukang parkir yang memalaki pemilik mobil.  Tapi pengalaman saya, ongkos parkir pada umumnya hanya Rp 3.000,- saja. Hanya sekali di Padang yang ongkos parkirnya Rp 5.000,-

Jadi entah dari mana Adi Bamansa mendapatkan informasi tentang tukang palak di Sumatera Barat. Menurut adik saya, banyak orang yang marah dan jengkel kepada Adi Bamansa yang tekesan menjelek-jelekkan orang kampung sendiri. Akibatnya orang jadi ragu dan khawati masuk warung nasi dan restoran untuk menikmati makanan dan minuman yang tersedia.

Sekian dan Salam

M. Jaya Nasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun