Orang Minang terkenal sebagai perantau. Mereka meninggalkan kampung halaman sejak usia muda, setelah tamat SD, SMP atau SMA. Akibatnya kampung dan kota-kota menjadi sunyi. Setiap kali masuk ke suatu kampung, yang ditemui hanya orang-orang tua. Menjelang masuk ke kota Pariaman, saya melihat betapa sepinya kampung-kampung. Barulah setelah sampai di pusat kota ada sedikit keramaian. Itupun sebagian turis lokal yang berkunjung ke Taman Gondoria.
Begitu pula halnya di kampung saya di dekat Bukittinggi, sepi dan kosong melompong dari anak-anak muda. Sebagian besar sudah pergi merantau. Memang ada banyak rumah yang bagus dan bahkan berukir yang dibangun. Tetapi rumah-rumah itu dalam kondisi terkunci tanpa penghuni. Rumah-rumah bagus itu baru berpenghuni pada bulan puasa menjelang lebaran.
Lalu kemana orang-orang Minang pergi? Mereka ada di mana-mana di seluruh Indonesia dan bakan di luar negeri. Pada level bawah, mereka menjadi pedagang kaki lima, penjual makanan baik martabak, sate, penjual ketupat sayur padang. Pada level menengah mereka menjadi pemilik toko, guru, ustad, pegawai negeri, eksekutif perusahaan, dan sebagainya. Sedangkan pada level tinggi, mereka menjadi pejabat Negara.
Pedagang Minang Menjadi Tukang Palak di Negeri Sendiri?
Saya ingin membuktikan melalui pengalaman langsung tulisan seorang Kompasioner asal Padang, Adi Bamansa. Ia menulis bahwa banyak orang Minang yang berjualan makanan yang menaikkan harga berlipat-lipat. Nasi Kapau yang terkenal itu, sebungkusnya bisa dihargai beberapa ratus ribu. Bahkan dalam tulisannya disebutkan sewaktu rombongan Presiden SBY makan di sama dengan rombongan, dipalak sampai Rp 20 juta.
Akan tetapi pengalaman saya makan di seluruh restoran yang dikunjungi berbeda. Tidak sekalipun terkena palak atau istilah lain “pakuak”. Di Los Lambung yang menampung banyak penjual nasi kapau, harga per porsi lengkap nasi kapau paling hanya Rp 25.000,- Sedangkan di Restoran Nasi Kapau Ni Cah yang kelasnya lebih tinggi, hanya Rp 40.000,- per porsi/bungkus. Bedanya, lauk di Nasi Kapau Ni Cah satu potongnya sangat besar, seperti usus batalu, gulai ikan batalua, rendang ayam dan sebagainya. Satu porsi itu sudah lengkap dengan sayur nangka yang dcampur daun lobak (kol) dan kacang panjang. Jadi harga makan ci kios nasi dan restoran masih sangat wajar dan normal.
Bahkan dalam perjalanan panjang, berkali-kali kami makan di sejumlah restoran, harga makanan relatif murah. Pada hal jumlah orang dewasa yang ikut makan mencapai 6 orang dan anak-anak 2 dua orang. Total harga makan dan juga minuman untuk orang sebanyak itu hanya berkisar Rp 150.000,- saja.
Sedangkan di Bukittinggi, Bufet Ni Ayang yang namanya tertulis sebagai obyek wisata kuliner di Bukitinggi, satu porsi ketupat pical dihargai Rp 8.000,- Sedangkan di buffet Pical si Kai harganya Rp 12.000,- Jadi harganya masih sangat wajar.
Saya juga disarankan hati-hati dengan tukang parkir yang memalaki pemilik mobil. Tapi pengalaman saya, ongkos parkir pada umumnya hanya Rp 3.000,- saja. Hanya sekali di Padang yang ongkos parkirnya Rp 5.000,-
Jadi entah dari mana Adi Bamansa mendapatkan informasi tentang tukang palak di Sumatera Barat. Menurut adik saya, banyak orang yang marah dan jengkel kepada Adi Bamansa yang tekesan menjelek-jelekkan orang kampung sendiri. Akibatnya orang jadi ragu dan khawati masuk warung nasi dan restoran untuk menikmati makanan dan minuman yang tersedia.
Sekian dan Salam