Berita yang menarik kemarin adalah mengenai istri mantan Presiden SBY yang akan nyapres pada 2019. Tentunya tidak ada yang salah jika Ani Yudhoyono nyampres pada 2019 menantang Jokowi dan capres lainnya. Nyapres adalah hak konstitusional setiap warga Negara yang berhak memilih dan dipilih menjadi anggota parlemen atau menjadi kepada daerah dan kepada negara sekalipun.
Hanya saja setiap warga Negara harus mengukur diri dari sudut kapabilitas dirinya. Apakah ia cukup layak dan kapabel menjadi Presiden RI. Memang Ani Yudhoyono sudah berpengalaman selama 10 tahun menjadi ibu Negara. Ia menjadi pendamping setia SBY selaku Presiden. Tetapi apakah pengalaman menjadi ibu Negara dan pendamping suaminya selaku Presiden, dipandang cukup untuk meningkatkan kapabilitas dirinya menjadi Presiden?
Kekurangan Ani Yudhoyono adalah dia selama 10 tahun tidak tampil sebagai sosok ibu Negara yang cerdas dan peduli dengan nasib bangsanya. Ia hanya sibuk dengan hobi ecek-ecek, yaitu memotret, terutama memotret diri dan keluarganya. Hal itu sekaligus mengindikasikan Ani Yudhono punya penyakit narsis. Hasil potretan itu ditampilkannya di instagram agar bisa dilihat oleh publik. Sejauh ini, kita tidak pernah dengar pendapat atau pandangan Ani Yudhoyono mengenai berbagai masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi bangsanya.
Tentu saja Ani beda dengan ibu Negara terkenal lainnya di dunia, yang bahu membahu dengan suaminya memikirkan masalah besar yang dihadapi bangsanya. Jangan pula dibandingkan dengan Hillary Clinton, mantan ibu Negara AS. Hillary ikut menggodok UU kesejahteraan sosial bagi rakyatnya sewaktu suaminya Bill Clinton memerintah. Di Partai Demokrat, Hillary hanya bisa dikalahkan oleh Obama pada pemilihan capres dari Partai Demokrat pada 2008. Tetapi sekarang, Hillary Clinton adalah bacapres dari Partai Demokrat yang paling hebat, ia dipercaya akan bertanding dengan Donald Trump pada November 2017 yang akan datang. Hillary Clinton adalah seorang politisi ulung, ahli dalam berdebat, pernah menjadi Senator dan Menteri Luar Negeri AS. Jadi dibandingkan dengan Hillary Clinton, tentu Ani Yudhoyono tidak ada apa-apanya. Hanya penjilat seperti Nurhayati Assegaf saja yang berani mengatakan bahwa Ani lebih hebat dari Hillary Clinton.
Kelemahan lain adalah Ani sangat emosional. Ani merasa benar sendiri dan tidak tahan dikritik. Jika ada yang mengkritik hasil potretannya, Ani akan marah besar. Itulah yang beberapa waktu lalu menjadi berita di media masa. Bagaimana ia menjadi seorang presiden yang setiap hari dikritik dan diejek oleh para pembencinya, sebagaimana yang dialami Presiden Jokowi saat ini. Jangan-jangan kerjanya hanya marah melulu.
Sebenarnya yang perlu dipertanyakan adalah siapa yang mendorong-dorong Ani Yudhoyono untuk nyapres pada 2019? Mungkin SBY, mungkin keluarga besar Sarwo Edhy Wiboowo, dan mungkin pula para politisi yang menjadi pengurus inti Partai Demokrat.
Kemungkinan pertama, SBY yang mendorong istrinya untuk nyapres. Sejak menjadi mantan presiden tahun satu setengah tahun lalu, SBY merasa ada yang kosong pada dirinya, yaitu kekuasaan. Selama sepuluh tahun ia menjadi pusat perhatian. Tetapi selama satu setengah tahun sejak Jokowi menggantikannya, SBY merasa ada terampas dari diriya. Ia menjadi seorang yang terjangkiti penyakit “post power syndrome”. Ia merasa telah berjasa besar bagi bangsanya. Tetapi seringkali jasa-jasanya itu tidak dihargai oleh Pemerintahan yang baru. Bahkan ia merasa dijadikan kambiing hitam oleh para pembantu Jokowi. Namanya selalu dikait-kaitkan dengan mafia migas karena berteman akrab dengan Riza Chalid. Ia merasa disalahkan dengan deficit infrastruktur ekonomi.
Oleh sebab itu SBY berpikiran, jika Ani bisa menang nyapres pada 2019, maka SBY akan memperoleh kembali kekuasaan melalui isterinya. Pada 2019 ia belum terlalu tua, masih berumur 70 tahun. Ia akan sibuk kembali mengurus Negara, meski di belakang layar.
Kemungkinan kedua yang mendorong Ani nyapres adalah Keluarga Besar Alm. Sarwo Edhy Wibowo yang menghendaki adanya pelanjut dinasti. Ayah mereka, Sarwo Edhy memang tidak sampai menjabat jadi Presiden RI, karena Pak Harto masih memegang erat kekuasaan pada waktu itu. Tetapi, dinasti Sarwo Edhy Wibowo berhasil menjadi pusat kekuasaan di Indonesia melalui menantunya, SBY. Keluarga ini telah menikmati kemewahan dari kekuasaan selama sepuluh tahun SBY menjadi presiden. Jadi harus ada yang meneruskan untuk menjadikan keluarga besar itu tetap menjadi pusat kekuasaan di Indonesia. Selain itu, dinasti keluarga Cikeas harus lebih hebat dari keluarga Cendana.
Ani Yudhoyono adalah pilihan pertama karena ia mantan ibu Negara dan masih ada SBY yang akan mendampingi selaku presiden. Selain Ani, masih ada Jend. Purn. Pramono, adik Ani, mantan Kepala Staf Angkatan Darat. Sedangkan Agus Harimurti, anak sulung Ani sedang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin masa depan.
Kemungkinan ketiga adalah para politisi Partai Demokrat yang menjadi pengurus inti partai. Mereka memahami betul karakter dan sifat-sifat SBY dan Ani yang suka dipuja-puja. Mereka juga tahu SBY sangat marah jika ada yang membanding-bandingkannya dengan Jokowi. Maka mereka tahu cara untuk menyenangkan SBY dan Ani adalah memuji-muji kehebatannya. Selain itu. mereka akan selalu satu suara untuk memprotes dan marah kepada para pembantu Presiden Jokowi yang berani-beraninya mempersoalkan hasil kerja di era SBY. Sudirman Said, Darmin Nasution adalah Menteri pada Kabinet Kerja yang pernah menjadi sasaran kemarahan petinggi Partai Demokrat.