Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Diamnya Jokowi Kunci Keberhasilan Menangani Politik

12 Maret 2016   13:52 Diperbarui: 12 Maret 2016   14:20 1354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diamnya Jokowi Menjadi Kunci Kemenangan

 

Ada dua gaya yang ditampilkan Presiden Jokowi dalam mengurus negara.  Dalam mengurus pembangunan  di bidang ekonomi, ia bergerak serba cepat seperti kijang berlari. Ia memang bekerja sambil berlari. Akan tetapi dalam menangani masalah-masalah yang bersifat politis, Jokowi memperlihatkan sikap  sebaliknya.  Ia berdiam diri. Sepertinya ia melakukan pembiaran dengan harapan masalah itu selesai dengan sendirinya.

Selaku rakyat, kita seringkali bingung dengan diamnya Jokowi pada saat rakyat menanti tindakan nyata sang presiden dalam memecahkan berbagai permasalahan besar yang terjadi.  Kita seringkali tidak sabaran. Kita menginginkan Jokowi bertindak cepat . Tetapi terlihat Jokowi tidak mau buru-buru. Ia menunggu dan mengamati situasi.  Ia ingin melihat siapa saja yang sebenarnya menjadi biang kerok, menjadi  ular-ular  dan tikus. Setelah itu, barulah Presiden Jokowi bertindak. Ternyata diamnya Jokowi  merupakan  taktik untuk memenangkan pertempuran.

Tetapi diamnya Jokowi bukan berarti ia betul-betul diam dan tidak mau tahu dengan permasalahan yang terjadi. Ada kalanya Jokowi menugaskan seorang menteri untuk bertindak sesuai  kewenangannya.  Ada kalanya, seorang menteri diminta untuk menjalankan misi rahasia, memainkan segala cara untuk memenangkan pertempuran.

Hal itulah yang terlihat dalam kasus pengangkatan Kapolri pada awal masa jabatannya.  KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, pada hal ia baru saja dimintai persetujuan  DPR oleh Presiden Jokowi menjadi Kapolri. Pencalonan BG menjadi Kapolri rupanya mendapat perlawanan dari  publik, termasuk LMS anti korupsi dan tokoh-tokoh masyarakat karena ia diduga salah seorang perwira Polri yang mempunyai rekening gendut.

Seluruh parpol mendukung dan mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengangkat BG menjadi  Kapolri. Lalu Wapres JK ikutan mendukung BG. Surya Paloh, Ketum Partai Nasdem berkali-kali terlihat menemui Presiden Jokowi, ikutan mendesaknya untuk segera mengangkat BG. Lalu Menko Polhukam,Tejo Edhi ikutan mendesak Presiden Jokowi.

Masalah berat yang dihadapi Jokowi adalah karena BG sebenarnya diback-up penuh oleh Megawati, yang memandang rendah Jokowi sebagai anak buahnya dan  hanya “petugas partai”  yang harus manut kepada kemauannya. Ia terjepit antara desakan politisi dengan tuntutan rakyat yang bertolak belakang.

Setelah semua aktor memperlihatkan wajah dan  sikap masing-masing, maka Jokowi dengan gagah berani menolak desakan para politisi Senayan,  pimpinan parpol, wapres dan menkonya sendiri. Jokowi  memutuskan tidak jadi mengangkat BG dengan alasan untuk menghindarkan kekacauan di tengah masyarakat. Ia lalu mengganti BG dengan Komjen Badrodin Haiti untuk disetujui DPR. Akhinya DPR dengan terpaksa memberikan persetujuan dan Presiden melantik Badrodin Haiti menjadi Kapolri.

Presiden Jokowi kembali bersikap diam, menunggu ular dan tikus-tikus keluar dari sarangnya dalam kasus “papa minta saham”. Jokowi mendiamkan kasus itu beberapa lama. Kali ini ia membiarkan pembantunya, Menteri ESDM bertarung melawan si “Papa Minta Saham” di Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Terlihat MKD lebih berpihak kepada SN. Hampir saja MKD memutuskan SN alias si “Papa Minta Saham” tidak terbukti bersalah.

Melihat situasi itu, barulah Jokowi mengambil bersikap. Ia marah dan menyatakan ia tidak rela jika simbol-simbol negara dipermainkan. Melihat kemarahan Presiden Jokowi, SN memutuskan mengundurkan diri dan menyampaikan surat pengunduran diri ke MKD. Sedangkan MKD  yang semula membela SN surut nyalinya. Mereka bersigegas rapat untuk membacakan surat pengunduran diri SN dari jabatannya selaku Ketua DPR.  Kembali Jokowi meraih kemenangan gilang gemilang.

Selanjutnya,  Presiden Jokowi juga bersikap diam melihat pertarungan dua kubu di Partai Golkar dan PPP. Presiden Jokowi sepertinya membiarkan dua kubu di kedua  partai bertarung habis-habisan. Meskipun diam, Presiden Jokowi menugaskan pembantunya, Menkumham mencari cara untuk menjaga agar kedua partai kehabisan nafas dengan sendirinya.

Setelah berbulan-bulan berlalu, mereka mulai lelah berkelahi. Maka kedua kubu di Golkar berdamai. Mereka sepakat untuk menyelenggarakan Munaslub. Partai Golkar juga berbalik arah, menjadi partai pendukung Pemerintahan Jokowi, meninggalkan Partai Gerinda dan Prabowo Subianto.  Maka kembali Presiden Jokowi memperoleh kemenangan gilang gemilang dalam percaturan politik di Indonesia. Sekarang tidak ada lagi tokoh politik yang lebih kuat dari Jokowi. Bahkan semua sudah ikut di belakang Jokowi.

Masalah yang sekarang dihadapi Presiden Jokowi adalah ketidak harmonisan dalam Kabinet Kerja yang ia pimpin. Beberapa menteri terlihat berbeda pendapat, saling menyindir dan menyalahkan rekannya sesama menteri.  Sekilas terlihat sepertinya pangkal masalah terletak pada Rizal Ramli (RR) yang diangkat menjadi Menko Maritim. Belum sampai seminggu setelah dilantik, RR langsung mempersoalkan kebijakan yang dbuat sejumlah rekannya di kabinet.

Bukannya hanya di sidang kabinet, RR juga membuka isu-isu itu ke ruang publik. Tidak hanya para  menteri yang terkena kepret yang marah, tetapi juga Wapres JK. Menteri yang terkena kepret adalah Rini Sumarno yang membawahi BUMN Garuda yang hendak membeli puluhan pesawat ukuran jumbo.  Sudirman  Said selalu menteri ESDM dikepret karena hendak membangun pembangkit listruk 35.000 MW yang menurut RR tidak masuk akal. Ia juga mempesoalkan keberpihakan SS kepada PT. Freeport.

Terakhir ia mempersoalkan rencana pembangunan tanki gas raksasa terapung (onshore) di Blok Gas Masela yang diusulkan SS selaku Menteri ESDM. RR berpendapat  pembangunan tangki raksasa terapung itu hanya memberikan keuntungan kepada investor asing tetapi tidak menciptakan multiplier effect bagi masyarakat di  pulau-pulau di sekitarnya.

Presiden Jokowi memahami bahwa di dalam kabinetnya ada kekuatan yang memperjuangkan kepentingan lain, bukannya untuk menegakkan Trisakti dan Nawacita. Masalahnya, kekuatan itu merupakan suatu greng yang dikomandani langsung oleh Wapres JK beranggotakan Rini Sumarno, Sudirman Said dan Sofyan Djalil. Kepentingan yang mereka usung adalah mendapatkan bagian dari investasi perusahaan-perusahaan asing bagi perusahaan-perusahaan yang mereka miliki. Mereka memiliki network yang kuat dan saling mendukung. Untuk itu, SS dan RS berperan sebagai “striker”, sedangkan JK memainkan peranan sebagai penjaga dan pendukung. Berkali-kali JK membela SS, misalnya dalam kasus surat untuk Freeport, dan terakhir ikut bersama-sama dengan SS menyerang RR.

Untuk menghadapi geng JK itu, Jokowi mengganti Menko Maritim dengan Rizal Ramli (RR). Pengangkatan RR sebagai Menko Maritim adalah bagian dari strategi Presiden Jokowi sendiri, untuk menghambat laju gerakan  dari geng JK. Presiden Jokowi sebenarnya meminjam tangan dan mulut RR untuk menghadapi mereka. Sebagai mantan aktifis mahasiswa dan ekonom bermazhab ekonomi kerakyatan, RR berhasil menahan laju gerakan gengnya JK. Kelanjutan kontrak kerjasama dengan Freeport berhasil dihentikan dan untuk sementara dibiarkan ngambang.  Keputusan pembangunan tanki terapung raksasa di Blok Masela belum bisa dieksekusi karena masih menunggu keputusan Presiden Jokowi.

Sebenarnya bisa saja Presiden Jokowi membuat Keppres yang berisi penegasan posisi  Wapres sebagai “ban serap”,   yang hanya bekerja sesuai penugasan presiden. Akan tetapi, sebagai orang Jawa Solo yang halus budi pekertinya, Jokowi tidak mau melakukannya.  Selain itu Presiden Jokowi juga memperhitungkan kekuatan di belakang JK secara politik dan ekonomi.  Hal itu pula yang menyebabkan Jokowi tidak mau gegabah mengganti menteri yang menjadi anggota gengnya JK.

Akan tetapi dengan RR berbicara di ruang publik, maka rakyat menjadi tahu persoalan yang sebenarnya. Publik mendapat kesempatan untuk menguji siapa yang benar-benar hendak mewujudkan Trisaksi dan Nawacita yang menjadi visi dan misi Presiden Jokowi. Publik menjadi tahu jaringan kerjasama  yang berada dibelakang layar untuk kepentingan pribadi dan perusahaan milik para pejabat Negara tersebut.  Akhirnya menjadi sangat terbuka, siapa petinggi negara dan para menteri yang sebenarnya menjadi antek-antek  asing.

Sekian, salam dari saya

M. Jaya Nasti

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun