Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jalan Tol di luar Jawa dan KA Cepat Tidak Ekonomis, Haruskah Kita Tolak?

10 Februari 2016   13:01 Diperbarui: 10 Februari 2016   13:06 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena bukan ekonom, saya terheran-heran dengan respon negatif dan pesimis terhadap berbagai infrastruktur ekonomi yang sedang atau hendak dibangun oleh Presiden Jokowi.  Pembangunan jalan tol Sumatera ditanggapi negatif, bahkan oleh ekonom sekelas Faisal Basri karena dipandang tidak ekonomis. KA Cepat Jakarta – Bandung ramai-ramai ditolak, karena mereka menganggap bukan prioritas infrastruktur yang perlu segera dibangun. Pada hal Presiden Jokowi sudah melakukan groundbreaking-nya. Kalau mengikuti alur pikir demikian, maka bisa-bisa seluruh pembangunan infrastruktur ekonomi dinilai belum ekonomis dan karenanya harus dihentikan.

Indonesia adalah salah satu negara besar yang infrastruktur ekonominya masih sangat kurang. Di dunia, Indonesia adalah negara terbesar keenam dalam luas wilayah dan nomor lima dalam jumlah penduduk.  Di ASEAN, Indonesia adalah Negara terbesar dan terbanyak penduduknya. Tapi infrastruktur ekonomi kita masih kalah jauh dari Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina.

Meskipun sudah merdeka dari penjajahan  selama 70 tahun, panjang jalan tol di Indonesia hanya sekitar 774 km saja, itupun hampir seluruhnya di Pulau Jawa. Kita masih kalah jauh dari Malaysia yang punya 3000 km jalan tol, apalagi dengan Cina yang mempunyai 60.000 km. Belum seluruh pulau Jawa yang  panjangnya 1000 km bisa dilewati jalan tol. Dari Jakarta, jalan tol baru terbangun sampai mendekati kota Brebes di Jawa Tengah. Separo pulau Jawa masih menggunakan jalan negara yang berlobang dan menyempit di di berbagai titik lokasi.

Apalagi di luar Jawa. Semuanya masih mengandalkan jalan negara yang kondisinya sangat memprihatinkan. Kita belum bisa menikmati jalan Trans Sumatera, Trans Kalimantan, Trans Sulawesi dan apalagi Trans Papua, karena semuanya dalam kondisi buruk dan terputus-putus di berbagai titik lokasi.

Mengapa infrasrtuktur ekonomi berupa jalan saja belum bisa dibangun, pada hal Indonesia mempunyai kekayaan sumberdaya alam yang melimpah?.  Untuk  menjawabnya, kita mungkin harus bertanya kepada rumput yang bergoyang. Soalnya, pada era pemerintahan 6 presiden sebelumnya, pembangunan infrasruktur berupa jalan, khususnya jalan tol rupanya tidak mendapat prioritas utama.

Presiden Soekarno belum sempat membangun karena  Indonesia baru saja merdeka. Presiden Soeharto lebih memprioritaskan pembangunan sektor pertanian. Presiden Habibie sibuk menyelesaikan krisis moneter. Presiden Abdurrahman Wahid belum sempat membangun karena sibuk melakukan kunjungan muhibah ke luar negeri. Presiden Megawati masih sibuk berdiskusi dengan para konglomerat mencari solusi masalah BLBI. Sedangkan Presiden SBY baru akan memulai pembangunan setelah dilanda bencana tsunami di Aceh dan skandal Bank Century.

Jadi proyek--proyek pembangunan jalan tol lintas Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang dilancarkan Presiden Jokowi, seharusnya ditanggapi dengan positif dan dengan penuh kegembiraan. Kita seharusnya menyambut dengan gembira dengan optimisme yang tinggi. Bayangkan, dalam lima tahun ke depan Indonesia akan mempunyai jalan tol di seluruh pulau besar. Lalu lintas  dan transportasi antar propinsi  akan lancar.  

Itulah yang mengherankan saya, kenapa sebagian besar pengamat ekonomi  justru menyambutnya dengan pesimisme, dengan analisa yang cenderung melecehkan, misalnya menyebutnya sebagai sesat pikir Presiden Jokowi.  

Yang saya tahu dari bacaan di media, anggaran proyek-proyek jalan tol di luar Jawa akan disediakan Pemerintah dari APBN dan dari hasil penjualan Surat Utang Negara. Dengan dihapuskannya subsidi BBM dalam pos anggaran di APBN, Pemerintah mempunyai cukup ruang untuk mengalihkannya bagi pembangunan infrastruktur ekonomi yang sangat dibutuhkan.

Selain itu Pemerintah juga bisa mendapatkan dana pinjaman luar negeri, baik dari lembaga keuangan internasional, maupun pinjaman yang sifatnya antar negara (bilateral). Soalnya, jika hanya mengandalkan APBN, diperlukan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan setiap proyek pembangunan infrastruktur ekonomi.

Rasio utang luar negeri Indonesia dipandang masih sangat aman, karena masih sekitar 27% dari PDB. Rasio utang terhadap PDB Indonesia ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperi Filipina dan Australia yang masing-masing sebesar 36 persen, Malaysia 56 persen, maupun Thailand yang sebesar 44 persen. Bahkan, masih sangat jauh di bawah AS dan Jepang yang rasio utang terhadap PDB-nya lebih dari 100 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun