Dalam kasus “Papa Minta Saham”, sebagai rakyat kita hanya bisa menjadi penonton, sama seperti menonton sepakbola. Kita bisa memberikan komentar tentang pemain yang hebat atau yang goblok. Karenanya kita bisa menilai para tokoh dalam kasus “Papa Minta Saham” itu.
Pertama, para hakim di MKD, yang semula waras sekarang mulai berbalik arah menjadi sableng. Dulu ada 13 orang yang setuju sidang terbuka MKD. Sekarang sudah banyak yang masuk angin, mereka setuju sidang tertutup untuk mendengarkan keterangan Setya Novanto (SN). Jumlah yang menginginkan sidang terbuka hanya tinggal 5 orang. Mereka tidak peduli bahwa rakyat menginginkan transparansi, karenanya MKD harus menggelar sidang terbuka.
Mengapa mereka berubah sikap? Tentu mereka sendiri yang tahu selain Tuhan. Tapi isu adanya uang sebesar Rp 2 milyar per anggota MKD untuk yang mau berpihak ke SN menguat lagi. Tentu bagi SN apalagi RC uang sebesar 12 x Rp 2 milyar = Rp 24 milyar tidak ada apa-apanya dibanding dengan uang yang mereka simpan di sejumlah rekening bank, baik di dalam maupun di luar negeri. Sedangkan bagi hakim MKD jumlah Rp 2 M itu besar sekali, seluruh utang mereka kepada berbagai pihak bisa dilunasi.
Kedua, logika SN selaku teradu, menolak menjawab semua pertanyaan jika terkait dengan rekaman. SN menyatakan rekaman itu tidak sah dan harus dianggap tidak ada. Pada hal SN mengakui adanya pertemuan bertiga, SN, RC dan MS.
Itulah logika SN yang kemudian diamini oleh para haki m MKD. Meskipun rekaman itu berisi suaranya dan dua orang lain, SN tidak mau menerimanya.
Logika yang benar adalah seperti yang diucapkan Kapolri bahwa rekaman itu sah saja, karena sama dengan CCTV yang digunakan untuk mengenali pencuri dan perampok di suatu tempat. Bahkan puntung rokokpun bisa dijadikan alat bukti suatu kejahatan.
Hal lainnya yang dilontarkan SN adalah bahwa dialah yang dizalimi dan Sudirman Said yang menzaliminya, karenanya SS adalah orang jahat sekali. Logika itu didasarkan bahwa rekaman tidak bisa dijadikan barang bukti, pada hal rekaman berisi suara SN silih berganti dengan Riza Chalid dan Maroef Syamsuddin.
Ketiga, logika Riza Chalid. Ia melihat bahwa cara yang terbaik adalah cepat-cepat kabur ke luar negeri, menghindar dari segala keributan yang terjadi di Indonesia. Itulah logika penjahat dan maling yang segera kabur sebelum aparat hukum mengejarnya. Tetapi jika RC adalah seorang terhormat dan berjiwa kesatria, maka ia akan memenuhi panggilan MKD untuk memberikan keterangan secara jujur dan apa adanya.
Keempat, logika Sudirman Said (SS). Ia menggunakan logika seorang yang berpura-pura inosen yang bidang tugasnya diintervensi oleh pejabat tinggi yang bukan tugasnya. Orang itu adalah SN, yang menjabat Ketua DPR.
Akan tetapi SS sebenarnya sudah mengetahui adanya intervensi itu sejak bulan Juni, 4 bulan sebelum melapor ke MKD. Mengapa SS selama itu mendiamkan saja kasus itu. Lalu mengapa 4 bulan kemudian baru membuat heboh dengan melaporkan SN telah mencatut nama presiden dan wapres untuk meminta saham dari Freeport.
SS melaporkan kasus SN karena tiba-tiba ia berhadapan dengan RR yang mengkepretnya selaku menteri yang lemah imannya berhadapan dengan PT. Freeport Indonesia (PFI). Ia dituding membuat surat yang seakan-akan Pemerintah Indonsia sudah setuju memperpanjang kontrak kerjasama. Pada hal berbagai hal belum dirundingkan dan belum disepakati.