Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ayahku Pegawai Negeri

13 November 2015   17:09 Diperbarui: 13 November 2015   17:47 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini adalah hari ayah. Maka saya akan bercerita tentang Ayah.

Saya anak pegawai negeri di kota Bukittinggi di Sumatera Barat. Ayah menjadi pegawai di Kantor Pemda, sedangkan Ibu menjadi guru sekolah dasar negeri. Dengan gaji yang mereka peroleh berdua, plus hasil panen padi dari sawah milik ibuku, Ayah dan Ibu menghidupi dan menyekolahkan kami, 5 orang anak-anaknya, empat laki-laki dan seorang perempuan.

Saya pikir kami menjalani masa kanak-kanak yang menyenangkan. Di rumah ada jam  untuk belajar. Lalu, setiap waktu sholat masuk, Ibu selalu mengingatkan, agar kami tidak lupa sholat.

Tapi Ibu memberi kesempatan bermain di luar rumah bersama kawan-kawan sesama anak-anak kampung. Kami bermain sepak bola di halaman masjid atau sebuah lapangan kecil di dekat bukit. Kami main kelereng dan main petak umpet. Kadang-kadang saya bermain di pematang sawah untuk memancing belut.

Setelah tamat SLTA, kami anak-anak laki-laki, satu persatu melanjutkan pendidikan tinggi ke Jawa. Sedangkan adik perempuan saya tidak ikut karena ia memilih sekolah perawat dan bekerja di rumah sakit umum. Dia tidak merantau karena statusnya sebagai pewaris harta pusaka tua, sesuai adat Minangkabau.

Kami semua di rantau mendapat kiriman uang belanja via wesel pos dari Ayah setiap awal  bulan. Memang Ayah pada mulanya agak kedodoran mencarikan uang belanja bagi kami. Tapi Ayah mempunyai bakat wirausaha. Ia membuka dan menjadi pemilik 3 unit usaha penggilingan padi,  berkongsi dengan seorang temannya. Keuntungan dari usaha itu cukup untuk membiayai pendidikan kami di Jawa sampai tamat.

Kalau saya pulang ke kampung, Ayah akan bercerita tentang pengalaman hidupnya sebagai pegawai negeri.  Ayah bercerita tentang keputusannya yang tepat untuk tetap setia ke pada Pemerintah Pusat pada waktu terjadi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat tahun 1958-1960. Ayah tidak setuju  dan tidak yakin PRRI akan memenangkan peperangan. Oleh sebab itu, Ayah berpura-pura ikut PRRI selama menjadi penguasa di Sumatera Barat,  agar tidak ditangkap dan dianggap pengkhianat.

Tetapi sehari setelah kota Bukittinggi dikuasai oleh TNI dari Jakarta, Ayah langsung melapor kepada bupati baru yang disiapkan oleh Pemerintah pusat. Oleh bupati yang berpangkat mayor, Ayah diperintahkan untuk  langsung bekerja. Nasib malang dialami kawan-kawannya  sesama pegawai negeri yang ikut PRRI. Mereka diberhentikan dan terpaksa mencari nafkah dengan mencangkul sawah dan ladang sebagai petani.

Ayah dengan bangga bercerita bahwa ia dan Ibu menunaikan ibadah haji dengan uang sendiri. Pada hal, menurut Ayah, ia bisa dengan mudah meminta jatah haji dengan biaya dinas (haji abidin). Soalnya waktu itu Ayah menjabat kepala bidang kesra di kantor bupati yang ikut mengurus perjalanan haji.

 Menurut Ayah, lebih afdhal menunaikan ibadah haji dengan dana sendiri. Ayah berprinsip menunaikan ibadah haji adalah kewajiban dan urusan pribadi dengan Tuhan. Karenanya, keliru jika biaya menunaikan ibadah haji dibebankan kepada Negara.

Pernah pula Ayah menduduki jabatan basah,  sebagai kepala bagian kepegawaian (personalia). Tugasnya antara lain melakukan seleksi dan rekruitmen pegawai baru dan menyesuaikan pangkat serta golongan seluruh pegawai, sesuai ketentuan yang berlaku. Jika ada pegawai yang sudah waktunya naik pangkat, Ayah akan memanggil orang itu untuk menyiapkan segala dokumen yang diperlukan.

Ayah menjelaskan, selama menjadi kepada bagian kepegawaian itu banyak sekali godaan. Kalau ingin cepat kaya juga bisa dengan mempersulit urusan kenaikan pangkat para pegawai se kabupaten. 

Para pegawai baru biasanya akan mengantarkan amplop berisi uang. Begitu juga dengan para pegawai lama yang pangkatnya naik tanpa repot-repot. Tapi kata Ayah, semua hadiah dan upeti itu ditolaknya. Biasanya Ayah akan bertanya dengan nada ketus, "apa sudah banyak benar uang kamu kok mau memberi saya uang?" Lalu orang itu disuruh menyimpan kembali amplop berisi uang itu.

Kata Ayah, waktu itu semua pegawai negeri hidupnya susah. Pemerintah masih miskin sehingga gaji pegawai negeri hanya cukup untuk biaya hidup selama dua minggu. Sedangkan Ayahku, selain terima gaji, ia juga mempunyai sumber penghasilan dari usaha penggilingan padi. Jadi ia termasuk pegawai negeri yang cukup kaya. Jadi sangat tidak manusiawi memeras sesama pegawai negeri yang hidupnya sudah susah.  

Tapi Ayah tidak suka dengan sikap dan pandangan politik saya yang anti Soeharto. Jadi kami sering berdebat dan kadang-kadang memarahi saya. Pada waktu itu, Pak Harto yang berkuasa selama 32 tahun, menerapkan azas loyalitas tunggal para pegawai negeri. Semua harus menjadi anggota Golkar, dan lebih terpuji lagi jika mampu mengajak seluruh anggota keluarga menjadi anggota Golkar.

Kalau saya pulang ke kampung, Ayah pastilah akan memuji-muji Pak Harto, kehebatannya dan hasil karyanya. Tetapi saya bergeming, saya justru menjelaskan betapa jahat dan korupnya rezim Soeharto.

Sudah 20 tahun Ayah meninggal dunia. Tapi saya bangga   punya ayah pegawai negeri yang tidak mau korupsi,  dan  tidak mau menjadi beban bagi negaranya. Tentu saja saya akan malu jika Ayah saya adalah pegawai negeri yang hidup enak dari korupsi, atau sempat masuk penjara karena korupsi.®

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun