Ayah menjelaskan, selama menjadi kepada bagian kepegawaian itu banyak sekali godaan. Kalau ingin cepat kaya juga bisa dengan mempersulit urusan kenaikan pangkat para pegawai se kabupaten.Â
Para pegawai baru biasanya akan mengantarkan amplop berisi uang. Begitu juga dengan para pegawai lama yang pangkatnya naik tanpa repot-repot. Tapi kata Ayah, semua hadiah dan upeti itu ditolaknya. Biasanya Ayah akan bertanya dengan nada ketus, "apa sudah banyak benar uang kamu kok mau memberi saya uang?" Lalu orang itu disuruh menyimpan kembali amplop berisi uang itu.
Kata Ayah, waktu itu semua pegawai negeri hidupnya susah. Pemerintah masih miskin sehingga gaji pegawai negeri hanya cukup untuk biaya hidup selama dua minggu. Sedangkan Ayahku, selain terima gaji, ia juga mempunyai sumber penghasilan dari usaha penggilingan padi. Jadi ia termasuk pegawai negeri yang cukup kaya. Jadi sangat tidak manusiawi memeras sesama pegawai negeri yang hidupnya sudah susah. Â
Tapi Ayah tidak suka dengan sikap dan pandangan politik saya yang anti Soeharto. Jadi kami sering berdebat dan kadang-kadang memarahi saya. Pada waktu itu, Pak Harto yang berkuasa selama 32 tahun, menerapkan azas loyalitas tunggal para pegawai negeri. Semua harus menjadi anggota Golkar, dan lebih terpuji lagi jika mampu mengajak seluruh anggota keluarga menjadi anggota Golkar.
Kalau saya pulang ke kampung, Ayah pastilah akan memuji-muji Pak Harto, kehebatannya dan hasil karyanya. Tetapi saya bergeming, saya justru menjelaskan betapa jahat dan korupnya rezim Soeharto.
Sudah 20 tahun Ayah meninggal dunia. Tapi saya bangga  punya ayah pegawai negeri yang tidak mau korupsi, dan tidak mau menjadi beban bagi negaranya. Tentu saja saya akan malu jika Ayah saya adalah pegawai negeri yang hidup enak dari korupsi, atau sempat masuk penjara karena korupsi.®
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H