Presiden SBY sangat membanggakan dan mendukung habis-habisan program pengentasan kemiskinan yang diberi nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan. Program dengan nama baru tersebut diresmikan pada April 2007. PNPM Mandiri Perdesaan mengadopsi sepenuhnya mekanisme dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang sudah dimulai sejak 1998. Sedangkan PPK pada awalnya dilaksanakan sebagai bagian dari program jaringan pengamanan nasional (national savety net) karena negara dilanda krisis moneter dan krisis ekonomi berkepanjangan. Selama 7 tahun pelaksanaannya PNPM telah menghabiskan sebanyak Rp 70 Triliun yang diperoleh dengan cara berhutang kepada Bank Dunia.
Secara konsep di atas kertas, PNPM Perdesaan ini sebenarnya sangat bagus. Program ini dilaksanakan berdasarkan konsep pelibatan partisipasi masyarat dalam membangun desa mereka yang masih tertinggal. Oleh sebab itu, program ini sebenarnya menggunakan pendekatan “participation from below”, partisipasi dari bawah. Berbagai bentuk kegiatan dalam rangka PNPM ini dikaitkan dengan rakyat miskin yang menjadi kelompok sasaran utama. Ruang lingkup program bersifat komprehensif, yang mencakup perbaikan sarana ekonomi dan sarana pendidikan, sarana kesehatan dan sanitasi lingkungan yang dikerjakan melalui padat karya. Selain itu dilancarkan pula kegiatan pengembangan usaha perekonomian desa, koperasi dan sebagainya.
Akan tetapi program ini ternyata tidak cukup mangkus mengentaskan kemiskinan. Di sekitar 34 ribu desa tertinggal yang menjadi sasaran program, jumlah rakyat miskin tidak berkurang. Yang tersisa hanyalah infrastruktur desa yang dibangun dengan tidak melibatkan partisipasi rakyat, tetapi hanya menjadikan rakyat miskin sebagai buruh padat karya. Konon upah yang sudah kecil masih juga disunat oleh kontraktor lokal sebagai pelaksana pembangunan. Yang disebut partisipasi rakyat hanyalah kehadiran mereka dalam rapat untuk menentukan sarana apa saja yang perlu dibangun atau diperbaiki.
Pelaksanaan program yang semula digagas sebagai partisipasi dari bawah melalui pendekatan communit base development. Namun dalam pelaksanaannya berubah, menjadi proyek-proyek biasa yang ditenderkan kepada kontraktor, dengan merekrut rakyat miskin sebagai buruh padat karya. Bahkan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya rakyat desa mampu mengerjakannya secara swadaya plus sedikit dana dari PNPM, dalam kenyataanya diserahkan kepada kontraktor lokal. Untuk itu dilakukan proses tender yang diikuti minimal 3 kontaktor lokal.
Seharusnya, jika pendekatan partisipasi masyarkat secara utuh dilaksanakan, biaya pembangun sarana desa bisa jauh lebih murah. Yang digali terlebih dahulu oleh para fasilitator adalah kemampuan swadaya masyarakat. Yang disediakan pemerintah hanyalah kekurangan dari kemampuan swadaya masyarakat tersebut.
Masalahnya di seluruh proyek pemerintah, kemampuan swadaya masyarakat itu dimatikan oleh mekanisme pelaksanaan proyek yang kemudian menghadirkan kontraktor sebagai pelaksana pekerjaan. Jika partisipasi swadaya masyarakat dimasukkan, tentunya akan menurunkan nilai rupiah setiap proyek. Kondisi ini tidak sukai oleh para pemimpin proyek apa saja, karena berakibat berkurangnya uang komisi yang diterima dari para kontraktor. Hal itu pula yang terjadi pada PNPM. Berbagai sarana desa dibangun dengan mengesamping swadaya masyarakat, meskipun program ini diembel-embeli sebagai program partisipasi masyarakat.
PNPM mengadopsi pendekatan kesetaraan jender. Maka sasaran utama dalam pemberdayaan ekonomi adalah kaum perempuan desa. Mereka diorganisir untuk membentuk Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Atas nama kesetaraan jender, maka kata perempuan wajib digunakan, meskipun banyak yang menolaknya.
Namun SPP ala PNPM pada akhirnya mengalami kegagalan total, karena tidak dipersiapkan agar mampu mandiri dan berkelanjutan. SPP hanya eksis selama PNPM dilaksanakan, karena ada pengelolanya yang menjadi petugas PNPM yang mendapatkan honor dari PNPM. Tetapi setelah desa itu ditinggalkan, SPP mati suri karena pengelola koperasi tidak ada lagi, dan pendapatan koperasi tidak mampu membayar petugas pengelolanya.
Seharusnya untuk mendirikan sebuah lembaga keuangan mikro, PNMP belajar atau mengadopsi koperasi-koperasi wanita yang cukup berhasil, seperti di Jawa Timur. BIsa juga PNPM memodifikasi model credit union yang terbukti sangat berhasil di puluhan Negara.
Meskipun PNPM Perdesaan yang dimulai sejak PPK , sehingga sudah berjalan 15 tahun, program ini tidak mewariskan “transfer of technology” kepada aparat desa. Hal itu disebabkan PNPM dilaksanakan oleh para fasilitator, staf dan konsultan PNMP sendiri. Peranan kepala desa hanya sebatas membubuhkan tanda tangan pada setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. Tapi pada banyak kasus, para kepala desa memanfaatkan kewenangan memberikan tanda tangan itu untuk bernegosiasi dengan perusahaan peserta tender, apalagi kalau bukan untuk mendapatk uang komisi, dengan prinsip “wani piro”. Jadi, yang diwariskan PNPM kepada aparat desa hanyalah budaya korupsi, kongkalingkong antara kepala dengan dengan kontraktor
Dari segi administrasi keuangan untuk pertanggung-jawaban kepada Pemerintah, PNPM dinilai cukup berhasil, karena jumlah penyelewengan relatif kecil. Namun PNPM tidak memberikan pembelajaran kepada aparat desa bagaimana dana proyek dikelola dan dipertanggungjawabkan. Agaknya, hal itulah menjadikan Presiden Jokowi dan Menteri Marwan, Menteri Desa, Marwan Ja’far, serta para bupati terhambat dalam mencairkan dana desa yang sudah sejak lama dialokasikan. Tentu banyak kekhawatiran jika dana desa yang pada tahun 2005 sebesar Rp 750 juta per desa, akan mengantarkan para kepada desa dan aparatnya ke dalam penjara.