Oleh: Mj Ja'far Shodiq (Kornas Kaukus Muda PPP)
Asef Bayat dalam artikelnya berjudul The Coming of a Post-Islamis Society secara jeli melihat sebuah fenomena baru berupa gelombang masyarakat post-Islamisme di masyarakat Islam. Menariknya gelombang post-Islamisme ini justru muncul di negara Islam pertama yakni Iran. Ia melihat di Iran, tengah terindikasi menuju masyarakat post-Islamisme.
Salah satu ciri masyarakat Iran yang sedang memasuki era post-Islamisme ini menurut Asef Bayat terlihat ketika masalah sekulerisme mulai bergaung di negara tersebut. Misalnya tentang istilah politik Islam dinilai sedang memudar di negara tersebut. Lantas apa yang disebut dengan post-Islamisme, indikasi dan penyebabnya?
Di sini Asef Bayat berhasil mengurai secara detail dengan studi kasus di Iran kontemporer. Tidak hanya mengurai tentang indikasi dan penyebab terjadinya post-Islamisme, ia juga menjelaskan tentang bagaimana proses awal fase islamisme di masyarakat Iran yang kemudian pada perkembangannya mengalami masa transisi perubahan sosial menuju masyarakat post-Islamisme.
Terkait fase Islamisme masyarakat Iran sendiri ditandai dengan meletusnya revolusi Iran pada 1979. Â Dimana pada fase ini terjadi pembentukan negara Islam pertama di zaman modern. Bersamaan dengan itulah fase Islamisasi masyarakat Iran berlangsung secara bertahap. Ciri utama Islamisme Iran adalah menciptakan sistem pemerintahan Islam berdasarkan gagasan baru dari Valayat-i Faqih. Menurut Konstitusi Iran 1979, semua hukum di negara itu harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Terkait istilah post-Islamisme, Asef Bayat menjelaskan sebagai sebuah gambaran tentang suatu kondisi masyarakat Islam setelah melalui berbagai tahapan, mulai daya tarik, energi, simbol dan sumber legitimasi islamisme mulai pudar. Ia menegaskan, post islamisme bukan berarti sebagai kondisi anti islam, melainkan lebih cenderung sebagai bentuk resekularisasi agama.
Hal itu ditandai dengan seruan untuk membatasi peran politik agama. Di Iran kontemporer, post-Islamisme diekspresikan dalam gagasan fusi antara Islam (sebagai keyakinan yang dipersonalisasi) dan kebebasan dan pilihan individu. Dimana post-Islamisme dikaitkan dengan kecepatan demokrasi dan aspek modernitas. Gagasan ini lahir dari anggapan bahwa Islam tidak memiliki jawaban untuk menjawab semua masalah sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat.
Lantas apa indikasi yang digunakan Asef Bayat dalam melihat fenomena post-Islamisme di masyarakat Iran kontemporer? Dalam hal ini, ia melihat ada tiga indikasi besar.
Pertama, ditandai dengan pembangunan Ibu Kota Teheran. Dimana sejak 1989, Gholamhosain Karbaschi telah mendesain ulang Ibu Kota Teheran. Ia menampilkan sebuah wajah baru ibukota yang jauh dari citra kota Islam. Mulai dari jalan raya, papan reklame komersial besar, dan pusat perbelanjaannya lebih mengingatkan pengunjung pada Madrid atau Los Angeles daripada Karbala atau Qom. Pusat budaya yang indah ini didirikan untuk melayani berbagai hiburan. Mulai dari seni, musik, dan teknologi modern. Ada popularitas yang luar biasa di kalangan anak muda untuk musik klasik Barat dan Iran. Lebih dari 75 persen dari penonton konser ini adalah pria dan wanita muda.
Kedua, lahirnya sejumlah gerakan pemikiran alternatif. Di tingkat intelektual, wujud paling dramatis Post-Islamisme adalah gerakan baru Andisheh-ye Diger atau Pemikiran Alternatif, yang dipimpin oleh profesor filsafat, Abdul-Karim Soroush. Gerakan ini tidak anti-Islam atau sekuler, tetapi berusaha untuk mendefinisikan kembali kemampuan agama di zaman modern untuk mengatasi masalah kebutuhan manusia yang semakin kompleks.
Gerakan Pemikiran Alternatif mendapat dukungan luas di kalangan para pemuda terpelajar dan berpikiran religius serta kelompok sekuler Iran, terutama kelas menengah modern yang banyak terpinggirkan secara politik. Para ulama muda ini peduli dengan agama sebagai institusi dan masa depan mereka. Namun mereka merasa basis hak prerogatif dan legitimasi mereka terkikis di tengah tumbuhnya anti-klerikalisme di masyarakat.
Ide-ide yang dikemukakan oleh degarandishan (pemikir alternatif) ini, sebagaimana mereka disebut di Iran, disebarkan melalui ceramah, simposium, konferensi internasional, buku, artikel, dan khususnya, Kiyan bulanan. Tentu saja, pemikiran serupa dapat ditemukan di kalangan modernis Islam seperti Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi atau bahkan Nasr Abou Zeid sekuler di Mesir. Namun, orisinalitas bukanlah masalah di sini, melainkan bahwa ide-ide ini telah mendapatkan popularitas di bawah negara Islam sendiri.
Ketiga, menguatnya feminisme Islam. Tren gerakan ini muncul bersamaan dengan menguatnya Gerakan Pemikiran Alternatif. Dimana para aktivis, yang akrab dengan debat feminis barat dan ajaran Alquran, berjuang dalam wacana Islam untuk mencabut undang-undang dan praktik anti-perempuan yang dikatakan memiliki justifikasi agama.
Dengan slogan "Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Islam" gerakan ini telah membuat terobosan besar dalam upayanya untuk memberdayakan perempuan dalam domain pekerjaan, pendidikan dan hukum keluarga.
Seiring menguatnya wacana feminisme Islam, mendorong banyak perempuan kelas bawah yang dulunya tinggal di rumah sekarang dimobilisasi dan memainkan peran sosial di lingkungan dan lembaga keagamaan. Meskipun demikian, perempuan kelas menengah modern yang tidak menyukai cadar paksa tidak tetap pasif, dan akibatnya, banyak perempuan perkotaan yang mengenakan jilbab dengan sangat longgar.
Selain itu, kesempatan perempuan untuk mengenyam pendidikan yang setara dengan laki-laki terus meningkat. Selain itu poligami secara serius telah dibatasi, hak sepihak laki-laki untuk bercerai telah dibatasi, dan perkawinan mut'ah yang direstui secara agama dianggap sebagai perlakuan tidak adil. Demikian juga tentang hak asuh anak, yang dalam hukum Islam berpihak pada ayah mulai diperdebatkan. Bahkan perjuangan perempuan untuk menjadi hakim terus disuarakan.
Lantas mengapa ketiga tren di atas menguat dan apa penyebab post-Islamisme lahir? Asef Bayat mengungkapkan bahwa penyebab post-Islamisme ini muncul karena terdapat kontradiksi pengalaman Islamis di Iran. Beberapa pemimpin khawatir kekurangan ini justru dapat merusak Islam sebagai legitimasi republik Islam.
Pertama-tama, struktur politik pasca-revolusi mengecualikan banyak kelompok dari partisipasi. Meskipun faqih, ahli hukum tertinggi, memerintah bersama dengan parlemen yang dipilih secara demokratis, pembatasan pembentukan partai politik, dan diskualifikasi calon anggota Dewan Wali untuk pemilihan meminggirkan berbagai kecenderungan politik. Bahkan beberapa pendukung kuat sistem menjadi terdemoralisasi oleh ekses pemerintah dalam kontrol politik dan pertikaian antar faksi.
Selain itu, ekonomi Islam dinilai tidak mampu menghasilkan sebanyak yang diharapkan. Meskipun distribusi pendapatan membaik dibandingkan dengan situasi sebelum revolusi, namun pendapatan nasional secara umum turun menjadi setengahnya pada akhir tahun 1970-an. Faktor lainnya karena blokade ekonomi, perang dengan Irak dan penurunan besar harga minyak internasional merupakan faktor penting dalam penurunan ini, tetapi salah urus ekonomi dan kurangnya keamanan ekonomi juga merupakan faktor yang signifikan.
Ekonomi yang lesu mengubah ekspektasi mereka. Batasan moral, sebagai tambahan, menekan ekspresi keinginan masa muda mereka. Ini memang skenario yang akrab juga di Mesir, di mana, dengan tidak adanya alternatif lain yang dapat dipercaya, kelompok yang marah secara moral ini beralih ke politik Islam.
Namun, di Iran, pertanyaannya adalah kecenderungan ideologis mana yang akan dikejar oleh para pemuda ini jika mereka telah mengalami Islamisme? Dalam fase baru post-Islamisme ini, kaum muda berada dalam kekosongan ideologis, dalam situasi di mana mereka telah mengalami banyak ideologi tetapi belum mendapatkan banyak.
Dengan latar belakang umum inilah post-Islamisme muncul sebagai jalan keluar, sebagai pandangan dunia untuk mengintegrasikan keterasingan tersebut dan segmen yang terpinggirkan. Di luar pemikiran alternatif, keaslian sekuler --- dalam bentuk seni, musik, dan sains modern --- ditawarkan oleh beberapa pemimpin yang tercerahkan.
Faktor lain di balik post-Islamisme berkaitan dengan paradoks negara Islam. Pertama, islamisasi negara telah menyebabkan sekularisasi fikih, atau yurisprudensi yang tumbuh. Valayat-e faqih yang absolut memberikan kekuasaan kepada faqih untuk mengubah hukum, sila, atau perintah apa pun yang menurutnya adalah untuk kepentingan negara.
Di sisi lain, fatwa ulama, atau keputusan, tentang urusan publik, harus disetujui oleh Valayat-e faqih; dan akses mereka ke haq-i imam, sumbangan dari umat, bergantung pada izin dari faqih tertinggi. Akhirnya, peleburan negara dan agama telah menodai legitimasi spiritual dan sosial para ulama, dan banyak Muslim Iran cenderung menyamakan kegagalan negara dengan kegagalan ulama.
Perlu diingat bahwa Revolusi Islam di Iran tidak muncul dari gerakan Islam yang kuat. Islamisasi masyarakat di Iran tumbuh bukan seperti layaknya di Mesir, tetapi sebagian besar diresmikan dari atas oleh pemerintahan Islam setelah Revolusi Islam. Ini merupakan penjelasan mengapa sebagian besar populasi menolak pelembagaan prinsip-prinsip Islam seperti jilbab, kontrol waktu luang dan perilaku di periode pasca-revolusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H