Faktor lain di balik post-Islamisme berkaitan dengan paradoks negara Islam. Pertama, islamisasi negara telah menyebabkan sekularisasi fikih, atau yurisprudensi yang tumbuh. Valayat-e faqih yang absolut memberikan kekuasaan kepada faqih untuk mengubah hukum, sila, atau perintah apa pun yang menurutnya adalah untuk kepentingan negara.
Di sisi lain, fatwa ulama, atau keputusan, tentang urusan publik, harus disetujui oleh Valayat-e faqih; dan akses mereka ke haq-i imam, sumbangan dari umat, bergantung pada izin dari faqih tertinggi. Akhirnya, peleburan negara dan agama telah menodai legitimasi spiritual dan sosial para ulama, dan banyak Muslim Iran cenderung menyamakan kegagalan negara dengan kegagalan ulama.
Perlu diingat bahwa Revolusi Islam di Iran tidak muncul dari gerakan Islam yang kuat. Islamisasi masyarakat di Iran tumbuh bukan seperti layaknya di Mesir, tetapi sebagian besar diresmikan dari atas oleh pemerintahan Islam setelah Revolusi Islam. Ini merupakan penjelasan mengapa sebagian besar populasi menolak pelembagaan prinsip-prinsip Islam seperti jilbab, kontrol waktu luang dan perilaku di periode pasca-revolusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H