Mohon tunggu...
Mj Jafar Shodiq
Mj Jafar Shodiq Mohon Tunggu... Dosen - Koordinator Nasional Kaukus Muda PPP

Direktur PT Mukti Lintas Media Owner Nuslembabershop Owner Majapahit Rental Owner Avra Pimpinan Redaksi Hidayatuna.com Direktur Lembaga Tunas Muda Cendekia Pendiri ITHLA (Organisasi Persatuan Mahasiswa Bahasa Arab Se Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sepenggal Kisah Perubahan Naskah Piagam Jakarta

28 Februari 2020   14:00 Diperbarui: 7 April 2021   10:37 2134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari setelahnya, yakni pada tanggal 11 Juli 1945, Latuharhari, seorang Protestan dan anggota Badan Penyelidik, menyatakan keberatannya atas kalimat tersebut. "Akibatnya mungkin besar. Terutama terhadap agama lain, katanya ,"...kalimat ini juga bias menimbulkan kekacauan, misalnya, terhadap adat istiadat." Soekarno yang memimpin pertemuan, mengingatkan segenap anggota bahwa preambul itu adalah suatu jerih-payah antara golongan Islam dan kebangsaan, "kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam."

Pasca dibacakan Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, Keesokan harinya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk telah dibentuk 7 Agustus 1945, dipimpin oleh Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua, menerima dengan bulat teks perubahan preambul dan batang tubuh Undang-Undang Dasar. Preambul dan batang tubuh Undang-Undang Dasar dengan beberapa perubahan ini dikenal luas sebagai "Undang-Undang Dasar 1945". Pertanyaannya, apa saja bentuk perubahan tersebut?. Perubahan tersebut diantaranya kata "Mukaddimah" diganti dengan kata "Pembukaan". Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat; "dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi "berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Pasal 6 ayat 1, "Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam", kata-kata "dan beragama Islam" dicoret. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1 menjadi "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa', sebagai pengganti "Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Apa sebab rumusan "Piagam Jakarta" yang didapatkan dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam hitungan jam dapat diubah?.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Hatta telah menjelaskannya dalam bukunya yang berjudul Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa pada petang hari 17 Agustus 1945, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) datang kepada Hatta dan mengatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun sangat keberatan atas anak-kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Walaupun mereka mengakui, bahwa anak-kalimat tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengikat rakyat yang beragama Islam, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap golongan minoritas. Hatta menjawab kepada opsir itu (yang namanya tidak diingatnya), bahwa hal tersebut bukanlah diskriminisai, karena penetapan tersebut hanya mengikat rakyat yang beragama Islam.

Ketika Pembukaan UUD tersebut dirumuskan, Mr. Maramis --seorang Kristen- yang menjadi salah satu anggota Panitia Sembilan, tidak keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni 1945 turut membubuhkan tanda tangannya. Opsir tersebut menjawab, bahwa pada waktu itu mungkin Mr. Maramis tidak merasakan bahwa penetapan tersebut merupakan suatu diskriminasi. Kalau diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri sendiri di luar Republik. Opsir tersebut yang sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka, mengingatkan Hatta pada semboyan yang selama ini didengungkan "bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh." Hatta mengakui bahwa kata-kata opsir itu mempengaruhi pendiriannya. Hatta menjanjikan kepada opsir itu bahwa pada esok hari dia akan menyampaikan masalah penting ini dalam siding PPKI.

Esok harinya, Hatta langsung memanggil keempat orang yang dianggap mewakili Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman, Teuku Mohammad Hasan, dan KH. Wahid Hasyim. Dalam diskusi, akhirnya mereka setuju rujukan tentang Islam dalam mukaddimah UUD 1945 dihapus; juga persyaratan presiden harus orang Indonesia aseli yang beragama Islam, diganti dihilangkan rujukan agama Islamnya. KH. Wahid Hasyim kemudian mengusulkan agar Piagam Jakarta itu diganti dengan rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa", sebagai ganti dari kata "Negara berdasar atas Ketuhanan".

Kesepakatan secara paripurna tersebut menurut Andree Feillard mempunyai arti simbolis, dan pihak Islam menduduki posisi menentukan dalam perdebatan mengenai bentuk Negara Indonesia. Kalangan Islam ini bersedia mencari jalan keluar dengan agama lainnya demi persatuan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun