Mohon tunggu...
Mj Jafar Shodiq
Mj Jafar Shodiq Mohon Tunggu... Dosen - Koordinator Nasional Kaukus Muda PPP

Direktur PT Mukti Lintas Media Owner Nuslembabershop Owner Majapahit Rental Owner Avra Pimpinan Redaksi Hidayatuna.com Direktur Lembaga Tunas Muda Cendekia Pendiri ITHLA (Organisasi Persatuan Mahasiswa Bahasa Arab Se Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sepenggal Kisah Perubahan Naskah Piagam Jakarta

28 Februari 2020   14:00 Diperbarui: 7 April 2021   10:37 2134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Mj. Ja'far Shodiq (Kornas Kaukus Muda PPP)

Setelah berjuang selama lebih dari tiga abad, bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah yang sangat mendasar, yakni ketika mereka akhirnya sampai di gerbang kemerdekaan pada tahun 1945. Atas dasar apa negara yang baru ini akan dibangun?. Ketika itu para wakil rakyat Indonesia terbagi atas dua kelompok: pertama mereka yang menganjurkan agar Negara itu berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khas pada ideologi keagamaan; kedua, mereka yang mengajukan Islam sebagai dasar Negara.

Kedua aliran pemikiran tersebut masing-masing mempunyai akar dalam sejarah dan perkembangan gerakan nasionalis Indonesia pada tengah pertama abad 20. Untuk mengakomodir berbagai pendapat demi menghasilkan kesepakatan bersama, maka sebelum Indonesia merdeka dibentuklah apa yang disebut dengan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Badan ini terdiri dari wakil-wakil berbagai unsur dan tokoh-tokoh, berjumlah 67 orang,terdiri dari 60 orang yang dianggap tokoh dari Indonesia dan 7 orang anggota Jepang dan keturunan Indonesia lainnya tanpa hak suara. Badan ini bertugas mendiskusikan dan me nyusun RUUD dan dasar Negara Indonesia merdeka. Badan bersidang 2 kali: 28 Mei--1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945.

Dalam buku karya Andree Feillard, seorang pengamat Islam Indonesia dari Prancis yang berjudul NU vis a vis Negara. Terjadi diskusi antara Soekarno dengan tokoh Islam dalam perumusan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Begini lengkap hasil wawancara yang tersimpan di Arsip Nasional itu :

"...Saya di rumahnya Muhammad Yamin, saya, Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir dari Yogyakarta. Bertiga, berempat dengan Yamin, Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu."

Bung Karno: "Ada apa?"

"Kita ini ingin dasar Islam, tetapi kalau dasar Islam negara ini pecah. Bagaimana kira-kira umat Islam bisa bela tanah air, tapi tidak pecah."

Bung Karno: "Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini."

Yamin: "Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan, minta keselamatan, minta apa gitu."

Bung Karno: "Nah ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan. Cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan. Kalau begitu, negara kita dari dulu sudah ketuhanan. Sudah ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman Ketuhanan. Ketuhanan. Bagaimana Islam? Ketuhanan. Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Tulis. Tulis Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?"

"Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa. Kalau datang dikasih wedang. Kalau waktu makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai-sampai, kalau sama-sama, menemani."

"Kalau begitu kata Bung Karno: "Bangsa Indonesia dulu itu bangsa yang perikemanusiaan, satu sama lain suka tolong menolong. Kerja sama, perikemanusiaan."

"Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita...: Kemanusiaan itu boleh tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh tidak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri saya potong tangannya. Siti Fathimah putri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya kalau salah ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya benar. Benar ini memang."

Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: "Siapa dulu..?"

Kahar Mudzakkir lontarkan: "Ada orang budayanya tidak mau dipersentuh dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis. Kasih uang dilemparkan begitu saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam harus diserahkan yang baik. Jadi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi."

Lantas sampai kepada orang Indonesia itu, orang Jawa itu dulu, suka memberikan apa-apa sama tetangganya. Kalau rumah ini tak punya cabe, minta sama rumah sini. Kalau tidak punya garam, minta sama rumah sini, kan begitu. Jadi orang Jawa dulu, kalau masak di rumah minta garam sama tetangga... Ini diusulkan Bung Karno... Ini namanya tolong menolong. Gotong royong. Lantas ada lagi, bangsa Jawa itu dulu, sampai ada kepada lima itu. Begini. Kalau ada apa-apa, kumpul orang-orang desa itu. Satu sama lain tanya bagaimana baiknya begini, baiknya begini. Ini dinamakan Bung Karno musyawarah. Jadi bangsa kita dulu itu suka musyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya, mufakatan, kalau mau menamakan anakanya dinamakan siap mufakatan. Yang ambil suara biasanya yang tertua. Bung Karno katakan musyawarah perwakilan. Lantas perkara orang Jawa dulu itu, kalau dimintai apa-apa, minta apa-apa dikasihkan. Sampai minta apa, biar di sini habis, diberikan. Solidaritas sosialnya.

Lalu ditanyakan kepada Islam. Islam memang zakat, kita kewajiban  zakat, kita memberi fakir miskin, yang kaya memberikan ke yang fakir miskin. Jadi sampai kesimpulan lima itu. Kesimpulan lima tadinya mau di tambah, tapi kita umat Islam mengatakan, rukun Islam itu lima. Jadi, lima ini saja bisa dikembangkan satu persatu, tetapi jangan ditambah. Hitungannya supaya bisa lima. Ramai... dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai shubuh. Ini dijadikan Bung Karno Pancasila. Menjadikan penggantinya dasar Islam Negara. Kita, umat Islam mengatakan, kalau dasar Islam itu isim-nya diambil, kalau Pancasila itu musammah-nya yang diambil. Ini sebagai musammah. Isi Islam-Isi Islam, musammah-nya Pancasila. Lantas Bung Karno katakan: "Mau saya usulkan Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau (Kiai Masjkur ketawa imitasi Bung Karno). Awas!"

Kita tak boleh bantah. Lantas diusulkan Bung karno itu. Lima sila itu. Saya pikir waktu itu dengan kawan-kawan, Pak Yusuf Hasyim, kalau dengan dasar Islam, belum tentu menjalankan Islam. Kadang-kadang negara ada tokoh-tokoh Islam, atau praktiknya tidak Islam. Ini kita ambil musammah-nya. Isim-nya kita tinggalkan.

Setelah itu, pada tanggal 1 Juni 1945 barulah Soekarno berbicara, menyampaikan dasar-dasar Negara dengan menggunakan bahasa-bahasa yang telah dipilih, yaitu: kebangsaan Indonesia, internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan. Disebutnya lima hal itu dengan istilah Pancasila. Kalau diperas lagi menjadi 3 dasar dinamakan Trisila, dan kalau diperas menjadi satu dasar gotong royong, namanya Ekasila. Sidang pertama selesai tanggal 1 Juni 1945, dengan hasil masih mendengarkan pandangan-pandangan umum.

Segera pasca sidang pertama berakhir, 38 anggota melanjutkan pertemuan. Kemudian mereka membentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan orang yang dipilih. Mereka adalah Soekarno (nasionalis); Mohammad Hatta (Islam, nasionalis); A.A. Maramis (Kristen); Abikoesno Tjokrosoejoso (PSII); Abdul Kahar Mudzakir (Muhammadiyah); Haji Agus Salim (Islam); Achmad Soebarjo (Islam, nasionalis); KH. Wahid Hasyim (NU); Muhammad Yamin (nasionalis).

Mereka diberi tugas merumuskan rancangan Pembukaan Hukum Dasar yang dikenal dengan preambul atau Pembukaan UUD. Hasil dari kesepakatan Panitia Sembilan ini kemudian disebut dengan Piagam Jakarta (The Jakarta Charter). Isi dari Piagam Jakarta tersebut terdiri dari 4 paragraf, yaitu:

"...Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan (tidak dengan kata Ketuhanan yang Maha Esa) dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adi dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi se luruh rakyat Indonesia"

Sehari setelahnya, yakni pada tanggal 11 Juli 1945, Latuharhari, seorang Protestan dan anggota Badan Penyelidik, menyatakan keberatannya atas kalimat tersebut. "Akibatnya mungkin besar. Terutama terhadap agama lain, katanya ,"...kalimat ini juga bias menimbulkan kekacauan, misalnya, terhadap adat istiadat." Soekarno yang memimpin pertemuan, mengingatkan segenap anggota bahwa preambul itu adalah suatu jerih-payah antara golongan Islam dan kebangsaan, "kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam."

Pasca dibacakan Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, Keesokan harinya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk telah dibentuk 7 Agustus 1945, dipimpin oleh Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua, menerima dengan bulat teks perubahan preambul dan batang tubuh Undang-Undang Dasar. Preambul dan batang tubuh Undang-Undang Dasar dengan beberapa perubahan ini dikenal luas sebagai "Undang-Undang Dasar 1945". Pertanyaannya, apa saja bentuk perubahan tersebut?. Perubahan tersebut diantaranya kata "Mukaddimah" diganti dengan kata "Pembukaan". Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat; "dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi "berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Pasal 6 ayat 1, "Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam", kata-kata "dan beragama Islam" dicoret. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1 menjadi "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa', sebagai pengganti "Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Apa sebab rumusan "Piagam Jakarta" yang didapatkan dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam hitungan jam dapat diubah?.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Hatta telah menjelaskannya dalam bukunya yang berjudul Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa pada petang hari 17 Agustus 1945, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) datang kepada Hatta dan mengatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun sangat keberatan atas anak-kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Walaupun mereka mengakui, bahwa anak-kalimat tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengikat rakyat yang beragama Islam, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap golongan minoritas. Hatta menjawab kepada opsir itu (yang namanya tidak diingatnya), bahwa hal tersebut bukanlah diskriminisai, karena penetapan tersebut hanya mengikat rakyat yang beragama Islam.

Ketika Pembukaan UUD tersebut dirumuskan, Mr. Maramis --seorang Kristen- yang menjadi salah satu anggota Panitia Sembilan, tidak keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni 1945 turut membubuhkan tanda tangannya. Opsir tersebut menjawab, bahwa pada waktu itu mungkin Mr. Maramis tidak merasakan bahwa penetapan tersebut merupakan suatu diskriminasi. Kalau diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri sendiri di luar Republik. Opsir tersebut yang sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka, mengingatkan Hatta pada semboyan yang selama ini didengungkan "bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh." Hatta mengakui bahwa kata-kata opsir itu mempengaruhi pendiriannya. Hatta menjanjikan kepada opsir itu bahwa pada esok hari dia akan menyampaikan masalah penting ini dalam siding PPKI.

Esok harinya, Hatta langsung memanggil keempat orang yang dianggap mewakili Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman, Teuku Mohammad Hasan, dan KH. Wahid Hasyim. Dalam diskusi, akhirnya mereka setuju rujukan tentang Islam dalam mukaddimah UUD 1945 dihapus; juga persyaratan presiden harus orang Indonesia aseli yang beragama Islam, diganti dihilangkan rujukan agama Islamnya. KH. Wahid Hasyim kemudian mengusulkan agar Piagam Jakarta itu diganti dengan rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa", sebagai ganti dari kata "Negara berdasar atas Ketuhanan".

Kesepakatan secara paripurna tersebut menurut Andree Feillard mempunyai arti simbolis, dan pihak Islam menduduki posisi menentukan dalam perdebatan mengenai bentuk Negara Indonesia. Kalangan Islam ini bersedia mencari jalan keluar dengan agama lainnya demi persatuan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun