hakim di Indonesia pada 7-11 Oktober 2024 menjadi peristiwa penting yang patut disorot oleh publik dan pemerintah. Selama lima hari, para hakim di seluruh Indonesia menghentikan kegiatan mereka sebagai bentuk protes atas kondisi kesejahteraan yang selama bertahun-tahun dianggap terabaikan.Â
Aksi mogok yang dilakukan oleh ribuanProtes yang diinisiasi oleh Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) ini bertujuan untuk menarik perhatian serius dari pemerintah terhadap kondisi kerja yang menurut mereka sudah tidak layak lagi bagi para penegak hukum yang bertugas menjaga keadilan di negeri ini.
Selama lebih dari satu dekade, gaji hakim di Indonesia tidak mengalami kenaikan, sementara inflasi dan biaya hidup terus meningkat secara signifikan. Menurut SHI, jika dihitung berdasarkan inflasi tahunan rata-rata 4,1 persen, tunjangan hakim seharusnya mengalami peningkatan minimal 242 persen sejak tahun 2012. Tanpa adanya penyesuaian ini, kesejahteraan para hakim tertinggal jauh dari kenaikan harga kebutuhan hidup yang terus melonjak.Â
SHI menyebutkan bahwa tuntutan ini tidak sekadar soal kesejahteraan ekonomi, tetapi juga menyangkut keadilan sosial bagi para hakim yang bekerja di bawah tekanan dan risiko tinggi, tetapi tidak mendapatkan kompensasi yang layak. Dalam konteks ini, aksi mogok yang terjadi tidak hanya memperlihatkan perlawanan para hakim terhadap ketidakadilan ekonomi, tetapi juga sebagai seruan kepada negara agar lebih memperhatikan kesejahteraan penegak hukum.
Jika dibandingkan dengan kondisi hakim di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, kesejahteraan para hakim Indonesia jelas sangat tertinggal. Di Amerika Serikat, gaji hakim rutin disesuaikan dengan inflasi, serta didukung dengan jaminan keamanan yang sangat ketat.Â
Pemerintah di negara-negara Barat menyadari bahwa kesejahteraan hakim menjadi salah satu faktor penting dalam menjaga independensi peradilan. Mereka berinvestasi untuk memastikan bahwa para hakim dapat bekerja tanpa khawatir akan ancaman fisik atau tekanan ekonomi.Â
Sementara itu, di Indonesia, stagnasi gaji selama 12 tahun terakhir dan minimnya perlindungan keamanan menjadi salah satu alasan utama para hakim merasa diabaikan oleh pemerintah. Hal ini kontras dengan kebijakan di negara-negara Barat yang menempatkan kesejahteraan dan perlindungan hakim sebagai prioritas demi menjaga integritas hukum.
Salah satu contoh konkret ancaman terhadap hakim di Indonesia terjadi pada tahun 2023, ketika seorang hakim di Pengadilan Negeri Makassar menerima ancaman pembunuhan setelah memutuskan perkara korupsi besar. Tanpa adanya perlindungan yang memadai dari negara, hakim tersebut akhirnya terpaksa meminta pindah tugas ke wilayah lain demi keamanan pribadinya dan keluarganya.Â
Kasus ini bukan hanya mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap para hakim di Indonesia, tetapi juga menggarisbawahi salah satu tuntutan utama dalam aksi mogok ini: pentingnya regulasi yang lebih kuat untuk melindungi para hakim dari ancaman fisik maupun non-fisik ketika menjalankan tugas.Â
Ketika hakim tidak merasa aman dalam melaksanakan tugasnya, maka independensi dan kualitas keputusannya dapat terancam, karena mereka berada dalam situasi yang rentan terhadap tekanan dari pihak-pihak tertentu.
Aksi mogok ini juga menjadi cerminan dari kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak-hak dasar para hakim. Kesejahteraan yang layak dan jaminan keamanan seharusnya menjadi prioritas negara untuk menjaga martabat profesi hakim. Jika pemerintah terus mengabaikan tuntutan ini, kualitas penegakan hukum di Indonesia akan terancam dalam jangka panjang. Aksi ini juga bisa memicu dampak yang lebih luas.Â