Berbicara budaya, Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman budayanya. Jika diidentifikasi dari Sabang sampai Merauke mungkin akan ratusan bahkan ribuan kebudayaan yang teridentifikasi, baik itu budaya benda maupun tak benda. Dari berbagai keberagaman budaya tersebut, ada satu budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan semua daerah menganutnya. Bahkan budaya ini sering disebut sebagai identitasnya bangsa Indonesia, yaitu musyawarah. Musyawarah murni budaya milik bangsa Indonesia, setiap aktifitas kemasyarakatan bangsa Indonesia dulu selalu bernafaskan budaya musyawarah dan semangat gotong royong.
Pandangan penulis bahwa musyawarah merupakan budaya asli Indonesia, ini mengacu atas dasar pendapat J. L Brandes. Ada sepuluh unsur budaya asli Indonesia menurut Brandes, salah satunya mengenal masyarakat yang teratur. Masyarakat yang teratur tentu sudah mengandung unsur musyawarah di dalamnya, sehingga membuat kehidupan masyarakat teratur. Penerapan budaya musyawarah ini yang mewujudkan masyarakat arif, bijaksana dan teratur.
Dewasa ini nilai-nilai budaya musyawarah mulai memudar dalam sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Memudarnya budaya ini memang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya ketidak pedulian kita terhadap nilai budaya kita sebagai warisan nenak moyang. Ketidak pedulian kita itu barang kali tercermin dari rendahnya pembinaan terhadap generasi muda akan pentingnya nilai-nilai budaya tersebut. Memudarnya nilai yang amat luhur ini seharusnya menjadi kegelisahan kita semua sebagai anak bangsa yang telah meninggalkan budaya leluhur.
Dapat dicermati bahwa kehidupan bermasyarakat yang sedang berlangsung sekarang, musyawarah mulai ditinggalkan sebagai dasar dalam hal pembangunan bangsa, baik itu fisik dan non fisik. Pengambilan keputasan dalam pembangunan dewasa ini lebih kepada dorongan kehendak politik, baik itu di tatanan desa hingga nasional. Semua keputusan diputuskan dengan cara voting, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak mendatangkan manfaat yang maksimal terhadap penerima manfaat, yaitu masyarakat. Kita bisa mengambil contoh dalam hal pembangunan di tingkat desa, jika proses musyawarah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Biasanya pembangunan tidak akan efektif atau tidak sesuai harapan. Karena yang paling mengetahui akan kebutuhan pembangunan adalah masyarakat desa itu sendiri sebagai penerima manfaat.
Sementara media untuk melibatkan masyarakat secara utuh dalam hal pengambilan keputusan kemana arah pembangunan adalah melalui masyawarah. Jika proses musyawarah tidak dikedepankan dalam hal pembangunan, maka pembangunan yang tidak sesuai dengan harapan sangat besar akan terjadi di dalam masyarakat. Biasanya ketika harapan dan kenyataan tidak sesuai, di situ acap sekali konflik akan lahir. Artinya musyawarah tidak hanya akan menghasilkan keputusan pembangunan yang tepat sasaran dan efektif, tetapi juga bisa mencegah lahirnya konflik dalam masyarakat. Musyawarah merupakan forum yang dimiliki oleh masyarakat dalam membuat perencanaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Ketika musyawarah tidak lagi dianggap penting dalam pengambilan keputusan pembangunan, maka eskalasi konflik sangat berpotensi dalam masyarakat. Hal itu dikarenakan musyawarah media pembuat perencanaan masyarakat. Disaat musyawarah tidak berjalan sebagaimana mestinya, tentu akan melahirkan perancanaan yang cacat. Perlu digaris bawahi bahwa, gagal membuat perencanaan, sama dengan sedang merencakan kegagalan. Untuk menghindari kegagalan ini musyawarah harus digalakkan kembali secara totalitas.
Musyawarah sebagai pemecah kebuntuan ketika masyarakat menghadapi masalah, dengan adanya musyawarah akan banyaknya pemikiran yang dapat dipersatukan dan menjadi tanggung jawab bersama setelah keputusan diambil. Musyawarah juga menghasilkan solusi yang solutif, keputusan musyawarah akan menjadi solusi bersama dan akan diterima oleh semua pihak, hal ini didasari keputusan diambil secara bersama melalui musyawarah. Selain pemecah kebuntuan, musyawarah juga menghasilkan islah perdamain dan pengurai konflik. Ketika konflik terjadi baik itu ditingkat masyarakat desa maupun kota, musyawarah merupakan media yang paling tepat untuk meyelesaikannya.
Ketimbang harus melapor kepada pihak hukum, jika permasalahan dibawa ke ranah hukum sudah barang tentu akan ada keputusan hukum yang menyatakan ada pihak menang dan kalah. Sehingga dalam keputusan tersebut ada pihak yang merasa dirugikan atau dikalahkan, yang barang kali akan berpotensi menjadi konflik berkelanjutan dalam masyarakat. Di sini bukan berarti mengenyampingkan hukum positif, ada baiknya upaya musyawarah dikedepankan. Jika konflik diselesaikan dengan cara musyawarah, maka semua pihak akan merasa bermartabat, karena proses musyawarah tidak mencari siapa salah dan siapa benar. Melainkan mencari jalan keluar terhadap persoalan yang ada. Dalam pepatah Aceh sering disebutkan dalam islah damai dengan sebutan “saboh pisang takoh dua” satu pisang dipotong dua.
Makna yang terkandung dalam pepatah tersebut adalah sebuah persoalan akan ditanggung sama, tidak lagi melihat siapa salah atau benar, melainkan jika ada kerugian maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama. Penulis mengambil pepatah dari Aceh, tidak terlepas karena penulis dari Aceh, namun penulis meyakini bahwa seluruh daerah di Indonesia pasti ada nilai kearifan dalam setiap musyawarah.
Salah satu bukti musyawarah adalah pengurai konflik, ketika perbedaan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah yang berlangsung di Aceh. Tidak bermaksud membuka luka lama, melainkan menjadikan ini sebagai pelajaran dan pengalaman bangsa, karena pengalaman merupakan guru yang paling setia. Konflik bersenjata yang berkepanjangan di Aceh dapat diselesaikan secara menyeluruh dan bermartabat melalui musyawarah, yaitu pembicaraan yang dilakukan dari hati ke hati. Sehingga melahirkan damai yang amat didambakan oleh semua pihak, dan Aceh dapat dibangun kembali dari keterpurukan konflik dan Tsunami dengan penuh cinta. Ini merupakan bukti musyawarah dapat menyelesaikan konflik. Budaya leluhur ini merupakan obat mujarab dalam menyelesaikan masalah bangsa, setiap masalah hendaknya dimusyawarahkan.
Konflik bersenjata saja yang seakan tidak ada lagi jalan keluarnya, bisa diselesaikan dengan musyawarah oleh kedua belah pihak yang bertikai, dan bisa mencari persamaan dalam perbedaan sehingga menghasilkan solusi yang solutif terhadap masalah yang sedang dihadapi. Berkaca dari pengalaman tersebut, masalah bangsa lainya masih sangat berpeluang diselesaikan dengan semangat kebersamaan melalui musyawarah.
Musyawarah juga menghasilkan nilai komitmen yang teramat kuat, artinya jika sudah ada kesepakatan, maka akan dipegang teguh dan dijalankan sebagaimana mestinya. Komitmen tersebut juga tergambarkan dalam salah satu pepatah dari Aceh “nyo ka pakat, lampoh jerat ta pegala, nyo hana pakat yang ka meikat putoh dua”. Artinya lebih kurang, jika sudah sepakat tanah kuburan kita gadaikan, jika tidak sepakat yang sudah diikat putus dua. Makna filosofis yang terkandung dalam pepatah tersebut jelas sekali tentang memegang sebuah komitmet yang telah disepakati dalam musyawarah. Selain komitmen, di sini juga menunjukkan kebersamaan dalam menjalankan suatu perkara, berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Semangat gotong royong akan terlihat di sini, kegotongroyongan sendiri tidak terlepas dari baiknya pengelolalaan nilai-nilai musyawarah dalam suatu masyarakat. Ketika nilai-nilai musyawarah sudah memudar, maka jangan heran nilai kegotongroyongan juga akan terguras oleh sikap apatis dan individual. Lahirnya sikap apatis dan individual merupakan cerminan musyawarah tidak lagi berjalan dengan baik. Sekarang banyak kita lihat nilai kegotongroyongan juga mulai hilang, nilai-nilai kebersamaan ini acap sekali digantikan dengan rupiah oleh sikaya, seakan-akan kebersamaan itu dapat dihargai dengan sejumlah rupiah. Sikap ini sebenarnya dampak dari musyawarah tidak lagi menjadi penting dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga pergeseran nilai kebersamaan sebagai perekat sesama masyarakat hilang.
Nilai-nilai musyawarah harus terus dikedepankan, dan harus menjadi kesadaran kolektif untuk bangsa Indonesia sebagai warisan budaya, kususnya generasi muda. Indonesia akan bisa kita bangun, fisik maupun mentalnya sesuai harapan anak bangsa melalui musyawarah. Tanpa mengedepankan budaya musyawarah, seakan ada pemaksaan kehendak dalam membangun bangsa ini menurut hasrat politik dan golongan tertentu. Musyawarah juga akan sangat efektif dalam menjaga kerukunan bangsa ini yang beragam budaya watak dan karakternya. Musyawarah merupakan sebuah media atau alat untuk pemersatu, satu dalam kebinekaan merah putih untuk menjemput hari esok yang lebih baik. Musyawarahlah yang mempersatukan warna-warni keberagaman budaya bangsa ini menjadi indah, dan mengikat kita dalam satu kibinekaan yang membuat kita kuat dalam satu kesatuan.
Pihak yang memiliki posisi yang strategis di bidang pendidikan hendaknya memperhatikan nilai-nilai musyawarah ini untuk dijadikan tujuan pendidikan sebagai karakter generasi muda yang melanjutkan estafet perjuangan. Di samping itu, pemangku kepentingan saat ini, baik itu di tingkat desa hingga nasional harus bisa mencontohkan budaya musyawarah ini sebagai pilar penting dalam membangun bangsa ini kedepan. Memberi contoh memang mudah, akan tetapi menjadi contoh yang susah. Sehingga ada kesan yang berkembang bahwa bangsa ini sudah krisis tauladan, hal ini memang bisa dilihat bahwa orang gampang dalam hal memberi contoh, akan tetapi sangat susah untuk menjadi contoh.
Melihat persoalan ini, hendaknya nilai-nilai budaya ini terus dapat ditanamkan kepada setiap generasi muda penerus bangsa. Kewajiban ini tidak hanya berada di pundak pemerintah saja, melainkan tanggung jawab kita semua sebagai anak bangsa. Setiap kita dapat memainkan peran sesuai dengan porsi kita masing-masing. Jika tanggung jawab ini hanya diberikan kepada pemerintah semata, rasanya tidak adil. Bukankah membangun bangsa ini memerlukan banyak pemikiran semua pihak,? yang natinya akan kita satukan dalam satu ide dan gagasan besar. Layaknya musyawarah yang mempersatukan perbedaan menjadi kebersamaan. Di mana kebersamaan akan melahirkan persatuan dan kesatuan. Semoga saja upaya untuk menanamkan nilai-nilai musyawarah ini tidak sebagai wacana semata, melainkan dapat diamalkan oleh segala elemen bangsa. Mari kita bulatkan tekad untuk melahirkan perbuatan yang nyata, untuk Indonesia yang lebih baik dan jaya kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H