Mohon tunggu...
Mujiburrahman Mujiburrahman
Mujiburrahman Mujiburrahman Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa senang menulis, dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budaya Musyawarah Fondasi Pembangunan Bangsa

17 Oktober 2015   14:08 Diperbarui: 17 Oktober 2015   14:15 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbicara budaya, Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman budayanya. Jika diidentifikasi dari Sabang sampai Merauke mungkin akan ratusan bahkan ribuan kebudayaan yang teridentifikasi, baik itu budaya benda maupun tak benda. Dari berbagai keberagaman budaya tersebut, ada satu budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan semua daerah menganutnya. Bahkan budaya ini sering disebut sebagai identitasnya bangsa Indonesia, yaitu musyawarah. Musyawarah murni budaya milik bangsa Indonesia, setiap aktifitas kemasyarakatan bangsa Indonesia dulu selalu bernafaskan budaya musyawarah dan semangat gotong royong.

Pandangan penulis bahwa musyawarah merupakan budaya asli Indonesia, ini mengacu atas dasar pendapat J. L Brandes. Ada sepuluh unsur budaya asli Indonesia menurut Brandes, salah satunya mengenal masyarakat yang teratur. Masyarakat yang teratur tentu sudah mengandung unsur musyawarah di dalamnya, sehingga membuat kehidupan masyarakat teratur. Penerapan budaya musyawarah ini yang mewujudkan masyarakat arif, bijaksana dan teratur.

Dewasa ini nilai-nilai budaya musyawarah mulai memudar dalam sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Memudarnya budaya ini memang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya ketidak pedulian kita terhadap nilai budaya kita sebagai warisan nenak moyang. Ketidak pedulian kita itu barang kali tercermin dari rendahnya pembinaan terhadap generasi muda akan pentingnya nilai-nilai budaya tersebut. Memudarnya nilai yang amat luhur ini seharusnya menjadi kegelisahan kita semua sebagai anak bangsa yang telah meninggalkan budaya leluhur.

Dapat dicermati bahwa kehidupan bermasyarakat yang sedang berlangsung sekarang, musyawarah mulai ditinggalkan sebagai dasar dalam hal pembangunan bangsa, baik itu fisik dan non fisik. Pengambilan keputasan dalam pembangunan dewasa ini lebih kepada dorongan kehendak politik, baik itu di tatanan desa hingga nasional. Semua keputusan diputuskan dengan cara voting, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak mendatangkan manfaat yang maksimal terhadap penerima manfaat, yaitu masyarakat. Kita bisa mengambil contoh dalam hal pembangunan di tingkat desa, jika proses musyawarah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Biasanya pembangunan tidak akan efektif atau tidak sesuai harapan. Karena yang paling mengetahui akan kebutuhan pembangunan adalah masyarakat desa itu sendiri sebagai penerima manfaat.

Sementara media untuk melibatkan masyarakat secara utuh dalam hal pengambilan keputusan kemana arah pembangunan adalah melalui masyawarah. Jika proses musyawarah tidak dikedepankan dalam hal pembangunan, maka pembangunan yang tidak sesuai dengan harapan sangat besar akan terjadi di dalam masyarakat. Biasanya ketika harapan dan kenyataan tidak sesuai, di situ acap sekali konflik akan lahir. Artinya musyawarah tidak hanya akan menghasilkan keputusan pembangunan yang tepat sasaran dan efektif, tetapi juga bisa mencegah lahirnya konflik dalam masyarakat. Musyawarah merupakan forum yang dimiliki oleh masyarakat dalam membuat perencanaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Ketika musyawarah tidak lagi dianggap penting dalam pengambilan keputusan pembangunan, maka eskalasi konflik sangat berpotensi dalam masyarakat. Hal itu dikarenakan musyawarah media pembuat perencanaan masyarakat. Disaat musyawarah tidak berjalan sebagaimana mestinya, tentu akan melahirkan perancanaan yang cacat. Perlu digaris bawahi bahwa, gagal membuat perencanaan, sama dengan sedang merencakan kegagalan. Untuk menghindari kegagalan ini musyawarah harus digalakkan kembali secara totalitas.

Musyawarah sebagai pemecah kebuntuan ketika masyarakat menghadapi masalah, dengan adanya musyawarah akan banyaknya pemikiran yang dapat dipersatukan dan menjadi tanggung jawab bersama setelah keputusan diambil. Musyawarah juga menghasilkan solusi yang solutif, keputusan musyawarah akan menjadi solusi bersama dan akan diterima oleh semua pihak, hal ini didasari keputusan diambil secara bersama melalui musyawarah. Selain pemecah kebuntuan, musyawarah juga menghasilkan islah perdamain dan pengurai konflik. Ketika konflik terjadi baik itu ditingkat masyarakat desa maupun kota, musyawarah merupakan media yang paling tepat untuk meyelesaikannya.

Ketimbang harus melapor kepada pihak hukum, jika permasalahan dibawa ke ranah hukum sudah barang tentu akan ada keputusan hukum yang menyatakan ada pihak menang dan kalah. Sehingga dalam keputusan tersebut ada pihak yang merasa dirugikan atau dikalahkan, yang barang kali akan berpotensi menjadi konflik berkelanjutan dalam masyarakat. Di sini bukan berarti mengenyampingkan hukum positif, ada baiknya upaya musyawarah dikedepankan. Jika konflik diselesaikan dengan cara musyawarah, maka semua pihak akan merasa bermartabat, karena proses musyawarah tidak mencari siapa salah dan siapa benar. Melainkan mencari jalan keluar terhadap persoalan yang ada. Dalam pepatah Aceh sering disebutkan dalam islah damai dengan sebutan “saboh pisang takoh dua” satu pisang dipotong dua.

Makna yang terkandung dalam pepatah tersebut adalah sebuah persoalan akan ditanggung sama, tidak lagi melihat siapa salah atau benar, melainkan jika ada kerugian maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama. Penulis mengambil pepatah dari Aceh, tidak terlepas karena penulis dari Aceh, namun penulis meyakini bahwa seluruh daerah di Indonesia pasti ada nilai kearifan dalam setiap musyawarah.

Salah satu bukti musyawarah adalah pengurai konflik, ketika perbedaan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah yang berlangsung di Aceh. Tidak bermaksud membuka luka lama, melainkan menjadikan ini sebagai pelajaran dan pengalaman bangsa, karena pengalaman merupakan guru yang paling setia. Konflik bersenjata yang berkepanjangan di Aceh dapat diselesaikan secara menyeluruh dan bermartabat melalui musyawarah, yaitu pembicaraan yang dilakukan dari hati ke hati. Sehingga melahirkan damai yang amat didambakan oleh semua pihak, dan Aceh dapat dibangun kembali dari keterpurukan konflik dan Tsunami dengan penuh cinta. Ini merupakan bukti musyawarah dapat menyelesaikan konflik. Budaya leluhur ini merupakan obat mujarab dalam menyelesaikan masalah bangsa, setiap masalah hendaknya dimusyawarahkan.

Konflik bersenjata saja yang seakan tidak ada lagi jalan keluarnya, bisa diselesaikan dengan musyawarah oleh kedua belah pihak yang bertikai, dan bisa mencari persamaan dalam perbedaan sehingga menghasilkan solusi yang solutif terhadap masalah yang sedang dihadapi. Berkaca dari pengalaman tersebut, masalah bangsa lainya masih sangat berpeluang diselesaikan dengan semangat kebersamaan melalui musyawarah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun