Ilustrasi - Papua, pulau terkaya sekaligus termiskin di Indonesia (KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.)
Dengan terbukanya kasus catut nama oleh Ketua DPR dan oknum Pengusaha R dalam rekaman full dengan direktur Freeport, maka terbuka pula isu bahwa Jokowi (katanya) keras kepala alias koppig, tak mampu diatur-atur oleh perselingkuhan jahat antara politikus dan pengusaha. Dalam sekejap pujian riuh diberikan kepada Presiden Indonesia ke 7 ini. Memang patut disaluti kalau presiden kita tak mau lagi ditekan, didikte, dan dipaksa memenuhi kepentingan asing dan aseng.
Namun saya tetap ingin mengkritisi pujian ini. Perlu diingat bahwa masalah yang dihadapi oleh Papua tidak selesai hanya dengan tandatangan atau tidak tandatangan, perpanjang atau tidak perpanjang kontrak Freeport. Bukan itu yang paling penting! Julukan koppig atau tidak koppig tak ada artinya bagi warga Papua yang tinggal di sekitar tambang Freeport. Mau Presidennya koppig atau tidak, mereka tetap kelaparan di lumbung padi. Mau Freeport setor uang bagi hasil ke pemerintah RI atau tidak, mereka tetap miskin.
Inti problem kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Papua adalah keseriusan pemerintah pusat dalam memberikan keleluasaan bagi Papua untuk mengurus dirinya sendiri. Inilah yang dalam jangka waktu puluhan tahun telah dan sedang diperjuangkan oleh rakyat Papua. Dan kenyataannya, otsus di Papua sedang mandeg.
Kenapa?
Rupanya UU soal otonomi Papua dianggap tidak lagi relevan bagi rakyat Papua. Saat ini, pembagian peran dan jatah pusat-daerah diatur oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Bayangkan, artinya sudah 14 tahun peraturan tersebut berjalan tanpa adanya update! Sementara problem yang dihadapi rakyat sana sudah jauh berkembang pesat, makin sulit dan makin rumit.
Inilah yang saat ini ditagih oleh rakyat Papua, melalui para wakil rakyatnya, dan juga kepada menteri-menteri Jokowi. Tercatat Yasonna Laoly, Menkumham, pernah menjanjikan akan memasukkan RUU Otsus Plus Papua ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2016.
“Dulu Menkumham pernah menjanjikan bahwa revisi Undang-undang Otsus Papua akan menjadi pembahasan prioritas di DPR pada periode 2014-2019, makanya rakyat Papua menagihnya sekarang,” ujar anggota Komite III Dewan Perwakilan daerah (DPD) Pdt Charles Simaremare dalam keterangannya, Sabtu.“Hasilnya, DPD sudah mengeluarkan surat resmi untuk mengusulkan RUU ini menjadi RUU tambahan prioritas. Hal ini, sekaligus menagih janji Menkumham, supaya masyarakat Papua tidak merasa hanya janji-janji tapi harus direalisasikan,” tuturnya.
Pun demikian dengan pembahasan prolegnas di DPR. Awalnya sudah disepakati bahwa pembahasan RUU Otsus Plus disepakati dengan banyaknya suara yang masuk. Nyatanya dibarter dengan 720 Miliar saja. Ini tamparan keras bagi Papua karena nilai otonomi, jika benar Papua diberi keleluasaan untuk mengatur daerah dan kekayaan alamnya sendiri, akan jauh lebih besar dari itu. Tercatat anggota DPR asal Fraksi Demokrat, Wiliam Wandik, sampai harus mengamuk saat sidang paripurna DPR, pada 9 Februari 2015, dengan agenda penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019 dan Prolegnas Prioritas Tahun 2015. Ia marah luar biasa karena Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Plus Papua yang telah diusulkan tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015. Padahal menurutnya dalam pembahasan di Badan Legislasi, mayoritas fraksi telah menyatakan sepakat bahwa RUU Otsus Plus dimasukkan dalam daftar prioritas tahun ini.
Wiliam langsung berdiri untuk menyatakan interupsi setelah pimpinan sidang, yaitu Wakil Ketua DPR Fadli Zon, mengetuk palu sebagai tanda selesainya pembahasan penetapan Prolegnas 2015-2019 dan Prolegnas Prioritas 2015.
"Kenapa ini hanya masuk ke dalam long list? Ini artinya penyelenggara negara tidak dapat menyelesaikan persoalan bangsa," kata Wiliam, di Ruang Sidang Paripurna DPR.
Sebegitu pentingkah arti RUU Otsus Plus ini bagi rakyat Papua. Sangat penting! Penyempurnaan undang-undang tersebut dinilai sangat mendesak untuk dilakukan. “Ibarat medis, ini butuh perawatan khusus," ungkapnya. Karena Undang-undang itu dianggap sudah tidak mampu lagi untuk memberi spirit vitamin, sehingga Papua berlari mengejar ketertinggalan. “Kami sudah ketinggalan. Kami ingin mengejarnya, tetapi kami tidak bisa mengejarnya karena kurang vitamin. Memang sebelumnya ada kemajuan setelah Otsus, tetapi sejak 14 tahun belakangan dengan berkembangnya jaman, Papua sudah ketinggalan,” ujar Simaremare.
Sayangnya banyak tuduhan dan fitnah dilontarkan terkait perjuangan RUU Otsus Plus Papua ini. Salah satunya dianggap sebagai dalih dan strategi untuk memerdekakan diri. Padahal kalau sekedar ingin memerdekakan diri, kenapa pula harus minta peraturan (UU) ke DPR? Langsung saja proklamasi dan perang, bereslah itu perkara!
Justru adanya UU Otsus Plus, maka daerah makin punya resource besar untuk mengatur daerah dan kekayaan alamnya, dan disalurkan kepada masyarakat sesuai kebutuhan. Karena hanya orang di daerahlah yang paling tahu apa kebutuhan rakyat lokalnya. Dengan semakin makmurnya rakyat, maka nasionalisme dan kebanggaan sebagai bagian dari negara kesatuan republik Indonesia akan menguat. Yang pada ujungnya memperkecil dorongan untuk berontak dan memerdekakan diri.
Jadi, apa benar Jokowi koppig? Apa cuma koppig saat show perkara kontrak Freeport saja? Lalu janji mem prolegnaskan RUU Otsus Plus Papua ke mana perginya sifat koppig itu? Kok malah lembek dan tak konsisten?
Lebih lanjut:
http://www.suarakarya.id/2015/11/28/rakyat-papua-tagih-janji-menkumham.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI