Aku memekik mengucapkan istighfar, menutup muka dengan kedua tanganku, lalu berlari terbirit-birit keluar kamar. Di lorong depan kamar aku berpapasan dengan paman Sikander, dia menyapaku heran, namun aku mengabaikannya dan terus berlari menjauh.
Aku maluuu! Ini pertama kalinya (selain di film) aku melihat laki-laki bertubuh bagus yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk. Ngomong-ngomong laki-laki itu siapa? Dia bukan salah satu keluargaku, dan aku tidak pernah melihatnya.
.
.
Dua minggu kemudian, aku dikejutkan oleh kedatangan keluarga tuan tanah terpandang di desa kakekku. Mereka datang melamarku untuk putera bungsu mereka, Thariq Al-Farizi. Laki-laki setengah telanjang yang pernah aku lihat di kamar mandi paman Sikander!
Ternyata Thariq adalah rekan kerja paman Sikander, mereka sama-sama karyawan senior di Bank swasta di Lahore.
Setelah pertemuan konyol itu, Thariq kemudian menanyakan tentangku pada Paman Sikander. Dengan senang hati Pamanku yang bodoh itu menceritakan semua tentangku pada Thariq, mulai dari A sampai Z. Dan setelah itu aku sering berpapasan dan melihat Thariq di rumah kakekku. Paman Sikander bilang, kalau Thariq sering mencari alasan untuk datang ke rumah kakek, agar bisa melihatku.
Aku tersanjung, walaupun terkesan dingin dan pendiam, Thariq sangat manis. Kehadirannya perlahan bisa menyembuhkan luka hatiku yang dibuat Radit.
Seiring waktu aku bisa menerimanya menjadi calon pendamping hidupku. Dan setiap malam aku berdo'a kepada Allah, agar Thariq, lelaki kedua yang mengisi hatiku ini, bisa menjadi lelaki terakhir dalam hidupku.
.
.