"Cepat cari pamanmu, Sikander. Seharusnya dia sudah menyiapkan mobil untuk mengantarkan seserahan ini ke tempat pengantin wanita." Kakek menunjuk gunungan bingkisan cantik di sudut ruangan menggunakan tongkatnya.
Aku mengangguk. "Siap Babajee." Aku berbalik lalu berlari menaiki tangga dan menyusuri lorong menuju kamar paman Sikander.
Sesampainya di depan kamar Paman Sikander, aku kemudian mengetuk pintu lalu mengucap salam.
"Assalamu'alaikum. Paman?" Panggilku sambil mengetuk pintu, namun tak ada jawaban.
Dan pada ketukan dan salam yang ketiga kalinya, saat paman masih tidak menjawab, aku terpaksa masuk ke dalam kamar beliau. Kebetulan pintu kamarnya tidak dikunci.
"Assalamu'alaikum, paman dipanggil kakek tuh!" Seruku sembari celingak-celinguk di kamar paman Sikander yang bagus, rapi, dan bernuansa kuning emas itu.
Apa dia tidak ada di kamar? Aku baru saja akan berbalik untuk keluar dari kamar tersebut ketika tiba-tiba aku mendengar suara air mengalir dari keran wastafel kamar mandi.
"Paman?" Gumamku seraya bergerak ke arah pintu kamar mandi lalu membukanya tampa berpikir dua kali.
Dan begitu pintu terbuka, mataku langsung melotot dan tubuhku membeku.
Seorang lelaki tampan bertubuh tegap berotot terlihat sedang menyikat gigi di depan wastafel, dia hanya mengenakan selembar handuk, dan dia menoleh ke arahku dengan busa odol yang masih blepotan di dalam mulutnya.
Dia menatapku bingung. Sebelah alisnya terangkat tinggi. Dia bukan Paman Sikander!