Mohon tunggu...
purwanto
purwanto Mohon Tunggu... -

sebuah impian hanya akan menjadi mimpi belaka apa bila kita tidak mau melangkah untuk menggapainya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Filsafat Ilmu Pengetahuannya Budisme oleh Gerald Du Pre

7 Maret 2016   17:51 Diperbarui: 7 Maret 2016   19:44 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Didalam keinginan mereka untuk menggaris bawahi bahwa ilmu pengetahuan itu hanya membicarakan kasunyataan yang relative, mereka (para sarjana, para ahli ilmu pengetahuan) itu telah memisahkan, atau mengeluarkan dari lingkupnya, semua yang absolut dan yang hakiki, dari filsafat mereka. Mungkin mereka merasa bahwa filsafat ilmu pengetahuan-nya Madhyamika itu dengan menggaris bawahi pengalaman yang total, dan kurang begitu menghargai pengalaman keindriaan, 

serta menamakan itu sebagai kasunyataan yang absolut, berkeadaan jauh dari bersifat revolusioner; hal yang demikian itu dikatakan sebagai bersifat “mystic” yang tidak usah dikemukakan, karena kurang perlu, dan bersifat kabur. Tetapi kita dapat mengatakan bahwa mereka berkata secara tepat, apabila mereka mengatakan bahwa pengalaman yang total itu merupakan satu-satunya kasunyataan yang absolut, atau yang hakiki, dan filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme itu bersifat begitu revolusioner.

Pertama, dengan mengemukakan perlunya dimiliki pandangan bahwa filsafat ilmu pengetahuan yang sempurna itu hendaklah memiliki kasunyataan yang hakiki atau yang paling tinggi, dan kasunyataan yang relative, dapat mencegah filsafat ilmu pengetahuan terpecah, menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat “material” di satu fihak, dan religi yang bersifat “spiritual” dan philosophi metaphysis, di fihak satunya lagi. Pandangan filsafat ilmu pengetahuan, yang sempurna, hendaklah memiliki kedua aspek tersebut diatas.

Karena keterpecahan yang demikian itu benar-benar telah terjadi di Dunia Barat, maka kita telah mengalami penderitaan tentang dualisme itu, hingga sekarang ini. Di Dunia Barat itu perkembangan filsafat ilmu pengetahuan berjalan secara sangat lambat. Ilmu pengetahuan itu secara setingkat demi setingkat memperbedakan dirinya dari pandangan yang bersifat religious atau metaphysis mengenai kasunyataan dan pengetahuan, tetapi tidak perlu menyerang pandangan tersebut. Banyak sarjana-sarjana yang juga telah menerima kasunyataan religious tersebut, dan beberapa lainnya tetap melanjutkan bersikap demikian, bahkan hingga sekarang. Pandangan yang secara setingkat demi setingkat muncul, adalah bahwa ilmu pengetahuan itu membicarakan sejenis kasunyataan, yang bersifat praktis, dan menyangkut masalah sehari-hari, yang membicarakan bekerjanya dunia material, sedang religi, filsafat metaphysis, syair-syair, seni dan musik, itu membicarakan kasunyataan yang tidak terikat waktu, yang membicarakan dunia rohani.

Sebagai hasilnya, maka ilmu pengetahuan itu telah memperoleh reputasi yang diberi cap berkeadaan dangkal, dan bersifat tehnis, serta didalam beberapa hal bersifat terbatas dan tidak lengkap. Orang-orang mencari-cari disana-sini, tentang apa yang kurang pada ilmu pengetahuan; mereka mencarinya didalam tempat-tempat yang tampaknya kurang tepat, yaitu pada astrology, pada alchemy, dan pada black magic, tetapi juga mencarinya pada kesenian, serta pada Religi-Religi yang sudah mantap, untuk mencari yang bersifat transcendent, karena sesuatu yang sifatnya tidak mengalami perubahan-perubahan itu akan memberikan tempat yang damai bagi mereka. Namun usaha-usaha penyelidikan mereka itu biasanya sia-sia belaka.

Filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme telah menyatukan kasunyataan “material” dan kasunyataan “spiritual” didalam filsafat yang terpadu. Dengan melakukan hal yang demikian itu, filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme dapat melenyapkan sifat kekakuan yang menekan dari kasunyataan materialnya ilmu pengetahuan, dan dapat melenyapkan sifat spiritualnya dari semua sifat metaphysisnya ilmu pengetahuan, dan membawanya kembali ke pengalaman langsung, yang dihayati di dunia nyata ini, dan sekarang ini.

Didalam Buddhisme, perkataan rohani (= spirit), apabila digunakan, berarti pengalaman aktual yang bersifat total. Itu tidak pernah berarti essensi, atau roh (= soul), atau suatu alam ideal yang makhluk yang bersifat abadi (= immortal being). Apabila perkataan “spiritual” dipakai pada Buddhisme, maka itu yang dimaksudkan adalah pengalaman. Itu menunjukkan bukan terhadap sesuatu pengalaman yang khusus, tetapi kepada pengalaman total, dan terhadap pemahaman yang langsung atas pengalaman total, melalui penghayatan Penerangan Sempurna. Pengalaman yang sama, yang menjadi basis ilmu pengetahuan, didalam keseluruhannya, menjadi basis dari kebebasan.

Didalam Buddhisme aliran Mahayana, yang dinamai zat (= matter), adalah pengalaman yang dikonseptualisasikan. Agar supaya membentuk suatu model yang bersifat simbolis atau konseptual, dari pengalaman, yaitu misalnya pengalaman mengenai dunia, atau tubuh, atau otak, tugas kita akan terasa enak, tidak sukar, apabila kita mau menganggap pengalaman itu sebagai zat (= matter = stuff), Dunia material itu sesungguhnya tidak berat, padat, atau menekan. Itu hanyalah merupakan suatu model konseptual dari pengalaman, yang juga ada didalam pengalaman. Jadi, istilah rupa, yang dipergunakan oleh Buddhisme aliran Theravada, itu berarti zat (= matter), dan oleh aliran Mahayana, berarti bentuk (= form), atau model konseptual.

Filsafat pengetahuannya Mahayana, tentang alam, itu terbagi menjadi roh (= spirit) dan zat (= matter), dan mentransformasikannya menjadi kekosongan (= emptiness) dan bentuk (= form), yaitu menjadi pengalaman total dan model-model konseptual. Dan itu mentransformasikan pandangan yang religious dari dunia material, yang muncul dari dan berada didalam dunia spiritual, menjadi pandangan ilmiah tentang model-model konseptual, yang muncul dari dan berada didalam pengalaman aktual yang bersifat total.

Itu cukup bersifat revolusioner, tetapi filsafat ilmu pengetahuannya Mahayana, memiliki keterangan lebih lanjut. Dengan mengatakan bahwa pengalaman aktual yang bersifat total, itu saja yang merupakan kasunyataan yang hakiki, maka itu membuat tidak bersuaranya semua metaphysika, baik yang ada didalam, maupun yang ada diluar, dari ilmu pengetahuan. Itu memperkuat fakta bahwa kasunyataan yang ilmiah itu tidak pernah lebih dari kasunyataan yang relative, yang memiliki nilai yang besar, tetapi diterangkan lebih lanjut, dan dikatakan bahwa suatu kasunyataan, yang verbal, atau yang numerical, yang sifatnya religious, dan philosophis, atau jenis lainnya semacam itu, dapat juga tidak pernah meng-claim untuk berkeadaan lebih besar nilainya dari pada kasunyataan yang bersifat empiris dan relative. Itu menolak validitasnya sesuatu kasunyataan yang absolut dan yang hakiki lainnya, dengan pernyataan oleh sesuatu system non-ilmiah dari fikiran, karena adalah tidak mungkin ada sesuatu, yang berada diatas, disebelah sananya, atau diluar pengalaman yang bersifat total.

Penolakan Pangeran Siddhartha terhadap Ke-Aku-an Hindu (= Hindu Self) itu mungkin dapat diperluas sampai kepada Yang Absolut dari sesuatu filsafat yang metaphysis, Dewa, Surga, dan Neraka, saya fikir, oleh karena itu juga “Diri saya”; semuanya adalah konsep-konsep, hanya kata-kata, yang terdapat didalam pengalaman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun