Mohon tunggu...
Mitra Mitra
Mitra Mitra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sulawesi Tengah, selasa 13 April 2021

Sulawesi Tengah, selasa 13 April 2021

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Perang Kemerdekaan II terhadap Pengakuan Kedaulatan RI Tanggal 27 Desember 1946

19 April 2021   13:58 Diperbarui: 19 April 2021   14:46 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

ABSTRAK 

Hasil penelitian menunjukan beberapa hal sebagai berikut : bahwa perang kemerdekaan II terjadi sebagai reaksi terhadap agresi Belanda II yang bertujuan untuk menghancurkan dan meniadakan Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945. Puncak perang kemerdekaan II dilakukan melalui perang gerilya berupa serangan Umum I Maret tahun 1949. Perang kemerdekaan II mendapat dukungan dari bangsa-bangsa Asia melalui konferensi New Delhi yang disponsori oleh India juga dari Negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan inisiatif Amerika Serikat mendapat dukungan pihak Australia. Reaksi dari dunia dari agresi Belanda II disalurkan melalui sidang Dewan Keamanan PBB. Sebagai pengaruh dari resolusi dari Dewan Keamanan PBB tersebut Belanda mengundang Bung Karno maupun PBB untuk segera mengadakan KMB yang diawali dengan persetujuan Roem - Royem yang bertempat di Jakarta. Demikian juga konfrensi antar Indonesia antara pihak Republik Indonesia dengan BFO yang dilakukan dua kali amok menghadapi KMB. Sebagai reaksi dari KMB yang sangat bersejarah sesudahnya adalah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pads tanggal 27 Desember 1949. 

Agresi Militer II

Pada Juli 1948pemilihan umum di Belanda menghasilkan pemerintahan konservatif yang menolak kebijakan luwes yang sengketa Indonesia-Belanda. Kebijakan pertama pemerintahan baru itu adalah memecat van Mook dan menggantinya dengan Dr. Beel yang menjabat sebagai wakil tinggi mahkota +Ratu). Dibawah kepemimpinan Menteri wilayah seberang Lautan yang baru, A.M.J.A. Sassen, Belanda mulai menerapkan kebijakan yang keras, termasuk dibidang militer. 

    Melalui saluran diplomatik, Belanda mulai menyampaikan sejumlah tuntutan baru. Belanda antara lain menuntut agara pasukannya diberi wewenang untuk menjaga keamanan dalam negeri selama masa peralihan RIS. Jika tidak, maka seluruh TNI akan diintegrasikan kedalam tentara federal. Tentu saja permintaan itu di tolak pemerintahan Hatta karena akan menghancurkan sendi ketatanegaraan RI. penolakan ini kemudian menjadi dalih bagi Belanda untuk melancarkan  serangan baru terhadapa RI. 

Pengaruh perang kemerdekaan II

Pada 19 Desember 1948 dini hari, Belanda melancarkan Agresi Militer II dengan tujuan menyingkirkan pemerintahan RI, Menghancurkan TNI, merebut daerah di pulau Jawa yang belum diduduki dan merebut seluas mungkin wilayah sumatra. Serangan dimulai dengan pendaratan pasukan patung di lapangan terbang Maguwo di Yogyakarta. Mereka kemudian bergabung dengan pasukan darat dan bergerak untuk merebut ibu kota RI itu. 

    Tidak seperti pada Agresi Militer I, serangan Belanda kali ini berhasil mencatat hasil besar di Sumatra. Setelah menghadapi perlawanan sengit dari pasukan TNI, pasukan Belanda berhasil merebut Bukittinggi. Demikian pula dengan Jambi dan Bengkulu. Bahakan kecuali Aceh, seluruh kota, pelabuhan, pabrik, dan jalan perhubungan di Sumatra telah jatuh ke tangan Belanda. 

Persetujuan Roem-Royen

Pada bulan-bulan pertama setelah terjadinya Agresi Militer Belanda II, Belanda mengadakan pendekatan-pendekatan politik. Perdana Menteri Belanda Dr. Drees mengundang Pro. Dr. Supomo salah seorang anggota Delegasi RI dalam perundingan lanjutan Renville untuk berunding. Undangan tersebut diterima oleh Indonesia dan merupakan pertemuan pertama setelah terjadinya Agresi Militer Belanda II. (Kartodirdjo, 1975: 63).

Pemerintah Belanda mengirimkan undangan kepada Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk menghadiri KMB yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Maret 1949 di Negeri Belanda. Adapun maksud dari Konferensi tersebut adalah untuk menyerahkan kedaulatan Indonesia selekas-lekasnya kepada suatu pemerintah federal yang dianggap mewakili Indonesia.

Pada tanggal 25 April 1949 diadakan pertemuan antara Drs. Moh. Hatta dengan ketua delegasi Belanda Dr. Pan-Royen dan hasilnya tidak diumumkan. Perundingan semacam itu juga dilakukan oleh Ketua Delegasi RI dengan Ketua Delegasi Belanda sebanyak 2 kali yakni tangga128 April dan 4, 5 Mei 1949. (Kartodirjo, dkk., 1975: 66)

Berkat kerja keras dari UNCI, akhirnya pada tanggal 6 Mei 1949 mulailah tampak tahap terakhir perundingan Roem Royen. Dan akhirnya tercapailah persetujuan yang kemudian terkenal dengan persetujuan Roem -Royem. Adapun isi dari perundingan Roem-Royen sebagaimana dikemukakan Drs. Sardjono dkk adalah sebagai berikut:

1.           Statemen Delegasi Republik Indonesia (Diucapkan oleh Mr. Roem)

Sebagai ketua delegasi Republik saya diberi kuasa oleh Presiden Sukarno dan wakil Presiden Moh. Hatta, untuk menyatakan kesanggupan mereka sendiri, sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 28 Janua-ri 1949 untuk memudahkan tercapainya:

a.           Pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.

b.           Kerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.

c.            Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.

2.           Statement Delegasi Belanda (Diucapkan oleh

Ban-Royen)

a.           Delegasi Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa, berhubung dengan kesanggupan yang baru saja diucapkan oleh Mr. Moh. Roem ia menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta. Delegasi Belanda selanjutnya menyetujui pembentukan satu panitia bersama atau di bawah perlindungan UNCI dengan maksud:

1)           Mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta. 

2)           Mempelajari dan memberi nasihat tentang tindakan tindakan yang diambil untuk melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerja sama-sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.

Konferensi Antar Indonesia

Sejak timbul Perang Kemerdekaan II tanggal 19 Desember 1948, kehidupan politik di Yogyakarta telah beralih ke Wilayah di luar Republik. Komisi BFO sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan membahas penetapan Pemerintah Belanda dalam hal pembentukan

Pemerintah Federal Nasional untuk seluruh Indonesia dalam masa peralihan sebelum terbentuk Indonesia Serikat. Komisi BFO tersebut telah mengadakan hubungan dengan para pemimpin Indonesia yang ditahan di Prapat maupun di Bangka.

Dengan berjalannya Konferensi antar Indonesia antara BFO dengan Republik

Indonesia hal ini memperlihat-kan bahwa politik devide et impera Belanda dalam memiskan daerah-daerah di luar Indonesia akhirnya mengalami kegagalan Pada Konferensi antar Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta itu dapat dihasilkan mengenai bentuk dan hal-hal yang pertalian dengan ketatanegaraan Indonesia Serikat (Kartodirdjo 1975: 70).

Adapun isi Konferensi antar Indonesia tersebut

1.           Negara Indonesia Serikat disetujui dengan na-ma Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasar-kan demokrasi dan vederalisme.

2.           RIS akan dikepalai seorang Presiden dibantu oleh Menteri-menteri yang bertanggungjawab kepada Presiden.

3.           Akan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat

Sementara.

Di bidang Militer juga telah tercapai persetujuan:

1.           Angkatan Perang RIS adalah Angkatan Perang Nasional. Presiden RIS adalah Panglima ter-tinggi Angkatan Perang.

2.           Pembentukan Angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia. Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti Angkatan Perang RI (TNI), bersama-sama dengan bangsa Indonesia yang ada dalam KNIL, ML, KM, VB dan Territorial Bataljons.

3.           Bada permulaan RIS,' Menteri Pertahanan dapat merangkap sebagai Panglima Besar APRIS. (Kartodirdjo, 1975: 71)

Konferensi Meja Bundar

Pada tanggal 3 Agustus 1949, Menteri Seberang Lautan Belanda yaitu Van Marseven berpidato di Majelis Rendah Belanda. Di sana ia memaparkan bahwa Konferensi pendahuluan yang dilaksanakan di Jakarta berhasil dengan baik pada tanggal 1 Agustus 1949. Tentang ketiga pasal acara Konferensi itu yakni tentang kembalinya dan dipulihkannya kekuasaan Pemerintah Republik di Yogyakarta, perintah penghentian tembak menembak untuk mengakhiri permusuhan serta persiapan-persiapan dalam menentukan waktu KMB telah tercapai kata sepakat sepenuhnya. Demikian pula tentang syarat-syarat untuk mengikuti dan melaksanakan KMB telah mencapai kata sepakat pula Dokumen-dokumen mengenai. diakhirinya permusuhan telah di sahkan oleh Pemerintah Republik dan pada tanggal 3 Agustus telah diumumkan serentak di Yogyakarta. (Agung, 1985: 287).

Delegasi dari tiap-tiap negara telah bersiap-siap untuk pergi ke Den Haag. Untuk Delegasi Indonesia telah tersusun dengan baik pada tanggal 4 Agustus 1949. Delegasi Indonesia terdiri dari Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr Mr. Supomo, Dr. Leimena, Mr.

Ali Sostroamijoyo, In Juanda, Dr. Sukiman, Mr. Sujono Hadinoto, Dr. Sumitro, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel Simatupang, Mr. Sumardi. (Agung, 1985: 287).

Organisasi dan Pimpinan Konperensi Meja Bundar yang akan dimulai tangga123 Agustus 1949.

Pada tanggal 23 Agustus 1949 Konferensi Meja Bundar dimulai di Den Haag. Sidang pembukaan resmi KMB diakhiri dengan menerima baik peraturan tata tertib dan pemilihan seorang ketua, wakil ketua dan Sekretaris salah Irian Barat itu sebetulnya sebelum maju ke KMB juga sudah dipersoalkan. Mulai dari Konferensi Malino sampai ke Konferensi Den Pasar, sudah ada tanda-tanda dari pihak Belanda bahwa mereka hendak memisahkan Irian Barat dari wilayah Negara Indonesia bagian Timur.

Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia 

pada tanggal 16 Nopember 1949 Perdana Menteri Hatta telah menyampaikan laporan hasil-hasil KMB kepada Kabinet. 

Hasil KMB tersebut kemudian diajukan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat untuk diklarifikasi. KNIP menerima hasil KMB tersebut setelah melakukan persidangan pada tanggal 6 Desember sampai tanggal 14 Desember 1949.

Pada tanggal 16 Desember tahun 1949 dilaksanakan pemilihan Presiden di Yogyakarta oleh Wakil-wakil Negara bagian RIS. (Nalena, 1981: 199) 

Dengan suara bulat ternyata Bung Karno terpilih menjadi Presiden RIS pertama dan dilantik di Bangsal Setinggil Yogyakarta. Dan sebagai wakil Presiden RIS ialah Drs. Moh, Hatta dan juga terpilih sebagai Perdana Menteri RIS dan menjadi Menteri Luar Negeri. Adapun mengenai program Republik Indonesia Serikat itu salah satunya diantaranya ialah menyelenggarakan supaya pemindahan kekuasaan ke tangan bangsa Indonesia itu terjadi dengan seksama.

Pada tanggal 21 Desember 1949 diadakan pemungutan suara dan ternyata hasil pemungutan suara tersebut yang setuju ada 34 orang dan yang tidak setuju ada 15 orang. Menurut hasil pemungutan suara tersebut maka jelaslah bahwa Undang-Undang pengakuan itu oleh Majelis Tinggi, maka Undang-Undang tersebut pada hari itu juga disahkan oleh Baginda Ratu, agar mulai berlaku dengan segera. Dengan peristiwa tersebut, maka Pemerintah Belanda dapat mengakui kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat, berdasarkan apa-apa yang telah tercapai dan Konferensi Meja Bundar (Agung, 1985: 320).

Upacara bersejarah bagi bangsa Indonesia maupun bagi Belanda terjadi pada tanggal 27 Desember 1949. Dimana pada tanggal tersebut berlangsung upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan yang dilakukan secara bersamaan di Indonesia maupun di negeri Belanda. (Sudharmono, 1975: 257) .

Daftar Pustaka

Bandung: Angkasa.             

Abdul Haris Nasution. 1971. Sekitar Perang  Kemerdekaan Jilid IX. Bandung: Disejarah  

AD dan Angkasa.  Adam Malik. 1978. Mengabdi Republik, Jilid II,  

              Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung.                 

Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat.                         

            1972. Cuplikan Sejarah Perjuangan                     

TNI-Angkatan Darat. Jakarta" Disejarah TNI-AD  dan Fa. Mahjuma.  Dinas Sejarah Militer Kodatn VI Siliwangi.  1968. Siliwangi dari Masa ke Masa.  

Jakarta.  Isjwara, F. 1974. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta:  

          Binacipta.                        

Ide Anak Agung Gde Agung. 1985. Renville.  Jakarta: Departemen Pendidikan dan  

Kebudayaan RI.  Mohamad Roem. 1977. Bunga Rampai dari  

         Sejarah. Jilid IL Jakarta: Bulan Bintang.                    

Mukayat. 1985. Haji Agus Salim The Grand Old                 

Man of Indonesia. Jakarta: Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek  

          Terpadu.                           

Nugroho Notosusanto. 1985. Ikhtisar Sejarah RI  1945 - Sekarang. Jakarta: Departemen  

            Pertahanan Keamanaa, Pusjarah ABRI.                  

Nugroho Notosusanto, dkk. 1986. Sejarah  Nasional. Jilid III Untuk SMA. Jakarta:  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,  

Balai Pustaka.  Nalenan. 1981. Arnold Mononutu Potret  

         Seorang Patriot. Jakarta: Gunung Agung.                   

Purnawan Tjondronegoro. 1986 Merdeka  Tanahku Merdeka Negeriku. Jakarta:  

 

Akses internet : Jurnal Unigal

Journal UWGM

Jurnal: Historia Jurnal Pendidikan dan penelitian sejarah, volume11, no 2(april 2019) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun