Mohon tunggu...
Pramitha Wahyuninggalih Soeharto
Pramitha Wahyuninggalih Soeharto Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang pengangguran yg suka corat-coret

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Edelwais Bukti Cintaku

25 Februari 2012   03:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:53 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan hampir berhenti membasahi bumi meski rintiknya kadang masih terlihat menetes dipucuk-pucuk daun. Pagi ini rasa dingin seakan menusuk hingga kedalam tulang, membuat anak manusia enggan melepaskan selimut yang melilit ditubuh mereka. Untung hari ini hari minggu, hari libur untuk sebagian orang namun tidak untuk gadis manis yang lincah ini. Dia sudah berdiri didepan jendela kamar, bolak balik dari kanan ke kiri balik lagi dari kiri ke kanan, pindah ke kursi bangun lagi pindah keatas tempat tidur lalu berdiri dan berlari keluar rumah. Gerakan itu membuat rambut ekor kudanya goyang-goyang lucu, tapi raut mukanya sendu. Kegelisahan terlukis jelas sehingga menghapus senyum manis dibibirnya. Tatapan matanya tak pernah lepas dari gerbang kayu didepan rumah. Dia menanti Yoga Duaja Nurvad'aq kakak tersayang yang seminggu ini pergi untuk mendaki gunung, dia khawatir karena seharusnya dari kemarin pagi kakaknya sudah pulang namun sampai sekarang Yoga belum kembali.

"Gendis, lagi ngapain kok duduk disini?" Sapaan Yoga mampu menyadarkan Gendis dari lamunannya.

"Nungguin Mas Yoga! kenapa baru pulang?" Jawab gadis manis yang memiliki nama lengkap Gendis Kartika Mentari.

Seketika air mata mengalir dipipi Gendis. Bahagia,lega,kesal dan ribuan rasa lain yang berkecamuk didadanya kini tumpah melalui air bening yang telah menganak sungai basahi wajahnya. Bahunya naik turun karena menangis, dia dekap kedua lututnya entah karena merasa dingin atau dia mulai membutuhkan kekuatan disaat rapuh seperti ini.

"Kok nangis sih cantik? Udah kelas tiga SMA loh, gak malu kalau dilihat tetangga?" Goda Yoga sambil memeluk Gendis.

"Biariiiiiin! Aku kan khawatir sama Mas Yoga" Jawabnya cemberut nunjukin sifat manjanya.

"Iya deh iya, ehm nungguin Mas Yoga atau oleh-olehnya nih? Ayoo ngakuu" Yoga tak berhenti menggoda adik semata wayangnya, sebenarnya dia sangat merindukan senyum manis Gendis.

"Dua-duanya donk" Jawab Gendis yang sekarang berlari masuk kedalam rumah setelah mencium pipi Yoga.

"Yeee, Gendis genit ya, cium-cium Mas Yoga! Ooh iya dek sini keluar dulu ada pelangi tuh" Teriak Yoga dari teras depan rumah.

"Waah! Iya pelanginya cantik banget ya Mas, kaya Gendis" Ucapnya memuji diri sendiri.

Seketika tawa mereka meledak, menjadikan hari ini kembali ceria apalagi saat ini sang fajar mulai menampakan cahayanya setelah sang bayu berhasil meniup awan gelap.

Setelah selesai menikmati masakan Mbok Asih, pembantu dirumah mereka. Yoga dan Gendis duduk santai dihalaman belakang menikmati hari ini dengan canda dan tawa mereka.

"Dek ini oleh-olehnya! Langsung Mas petik dari puncak Gunung Lawu loh" Yoga menyerahkan seikat edelweis dengan senyum manis menghiasi bibirnya.

"Cantik! makasih ya Mas" Gendis mencium dua pipi Yoga sebagai tanda terima kasih.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun dan tahun tahun berikutnya. Waktu terus berputar meski tetap hanya dari angka 1 sampai 12 dan kembali ke angka 1 lagi, namun hari-hari yang berlalu tetap menjadi kenangandan tak ada satu manusia pun yang memiliki kemampuan untuk memutarnya. Banyak peristiwa manis bahkan pahit yang tersimpan dimemori namun manusia hanya mampu mengingatnya. Dan Gendis tetaplah Gendis yang lincah, cantik, manja, dan penyuka Edelweis, sampai saat ini diusianya yang telah menginjak tahun ke 23, dia tetap menyukai Edelweis dan hingga kini ribuan tangkai Edelweis tersimpan indah dikamarnya. Semua Edelweis ini adalah oleh-oleh dari Yoga yang masih aktif mendaki Gunung di Indonesia bahkan sampai ke beberapa negara lain. Gendis selalu bermimpi bisa memetik sendiri Edelweis di puncak Merbabu namun orang tuanya tak pernah memberikan ijin untuk Gendis ikut mendaki bersama Yoga. Kecintaannya terhadap Edelweis telah mendarah daging dihidup Gendis, dan Gendis punya ribuan mimpi tentang Edelweis, salah satunya adalah dia ingin lelaki yang melamarnya nanti datang dengan seikat Edelweis sebagai simbol cintanya dan ketika resepsi pernikahannya, Gendis ingin ribuan Edelweis menghiasi ruangan agar Edelweis bisa menjadi saksi kebahagian Gendis dan orang yang dicintainya. itu mimpi pertama Gendis kecil ketika masih suka bermain Putri-Pangeran dengan teman-temannya.

Mimpi itu pun telah dia ceritakan pada Gege Gumilar lelaki tampan dan pintar yang tiga tahun belakangan ini selalu mengisi hatinya. Gege adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan studinya difakultas Seni dan Budaya di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jogjakarta. Rencananya empat hari lagi dia dan orang tuanya akan berkunjung ke rumah keluarga Gendis, untuk menyampaikan maksud baik Gege yang ingin melamar Gendis. Oleh karena itu sore ini Gege memutuskan untuk melakukan pendakian ke Gunung Merbabu, ini pendakian pertama dan ternekad yang Gege lakukan. Dia mendaki bersama kedua temannya yang sama-sama tak punya pengalaman naik gunung. Mereka hanya berbekal kompas dan persediaan makanan secukupnya. Tujuan mereka hanya ingin memetik beberapa Edelweis yang akan Gege berikan kepada Gendis saat acara lamaran nanti. Oleh sebab itu mereka pikir pendakian ini tak akan memakan waktu lama. Benar saja keesokan harinya sebelum matahari tenggelam mereka sudah menemukan padang Edelweis dan Gege langsung memetik beberapa Edelweis yang paling cantik untuk Gendis. Rasa bahagia terlukis sangat jelas diwajah Gege dan senyum manisnya tak pernah lekang dari bibir seksi itu. Dia merasa mimpinya untuk memiliki gadis pujaannya akan segera terwujud dan Edelweis sebagai syarat yang Gendis ajukan sudah berhasil dia dapatkan. Dia makin tak sabar menanti hari Jum'at 11 November 2011 yang sudah ditetapkan sebagai hari baik untuk acara lamaran tersebut.

Ketika senja telah menyapa dunia dan gelap mulai menyelimuti sekitar ditambah cuaca buruk yang menyebabkan kabut dan gerimis seketika menyelimuti puncak Gunung Merbabu. Gege tetap memaksa untuk turun saat itu juga padahal dua temannya sudah menyarankan untuk bermalam setidaknya sampai esok ketika fajar kembali memberikan cahaya terang ke sela-sela ranting di Puncak Merbabu.

Nasehat dua temannya tak mampu mengalahkan keras kepala Gege. Dia memutuskan untuk turun sore itu juga dan dia memaksa dua temannya untuk tetap bermalam, baru kembali keesokan harinya setelah cuaca membaik. Kiki dan Sandy merasa heran dengan sikap Gege, namun Gege mampu meyakinkan mereka dengan alasan kemungkinan air hujan senja ini akan merusak Edelweis yang dibawanya, dia tidak mau memberikan sesuatu yang tidak sempurna untuk Gendis. Sebab itu dia meminta Kiki dan Sandy membawa beberapa tangkai Edelweis sebelum turun.

Ditambah tak kuat menahan kerinduaannya pada Gendis, Gege pun turun dari Puncak Merbabu. Sendirian ditengah cuaca yang sangat buruk.

Malam terus merambat, hanya suara binatang-binatang hutan yang menemani Gege. Rasa lelah telah menjalar ke tubuhnya namun dia tetap memaksa untuk berjalan meski sepelan siput, karena kabut membatasi pandangannya bahkan tidak sampai 20meter. Kejadiannya begitu cepat, bahkan dia tak mengerti keadaan di sekitarnya. Dia hanya merasakan tanah berbatu yang dia pijak terasa lebih licin mungkin karena gerimis sore tadi. Tubuh yang lelah itu tak mampu menahan beban, hingga ketika Musang meloncat didepannya Gege teriak kaget, tubuhnya limbung dia terpeleset berguling-guling jatuh ke bawah, yang disampingnya menganga mulut jurang. Untung tubuhnya tersangkut diakar pohon dan sebongkah batu besar.

Siang ini sangat panas, namun masih banyak orang yang berkeliaran di sekitar Malioboro. Bule-bule masih asyik berfoto ria disetiap sudut kota Jogja, dan tak sedikit juga orang-orang yang berteduh dibawah tenda-tenda pedagang kaki lima yang berderet disepanjang Malioboro.

Dua hari berlalu, harusnya kemarin Gege, Kiki dan Sandy kembali dari pendakian namun hingga senja kembali menyapa Bumi belum ada tanda-tanda Gege kembali, keluarga Gendis dan keluarga Gege pun diliputi kekhawatiran.

Hingga kedatangan Kiki sore ini menjawab kekhawatiran mereka dan sekaligus membuka masalah baru yang membuat Ibunya Gege histeris lalu pingsan. Terbesit pikiran-pikiran buruk tentang keadaan Gege. Keluarga Gege segera memberi tahu Gendis tentang  kabar tersebut dan menghubungi Tim SAR serta kepolisian setempat untuk melakukan pencarian Gege di Gunung Merbabu malam itu juga.

Pencarian telah dilakukan sejak empat hari yang lalu namun belum ada hasil yang menunjukan tanda-tanda ditemukannya Gege. Beberapa pihak yang melakukan pencarian itu menyatakan beberapa kemungkinan, diantaranya mungkin Gege telah meninggal dan tubuhnya dimakan binatang buas yang ada di Gunung tersebut, atau mungkin Gege jatuh ke dalam jurang. Keluarga Gege dan Gendis sangat terpukul mendengar kabar tersebut.

Entah karena hasutan dari siapa, perlahan rasa benci tumbuh di hati keluarga Gege, mereka menganggap Gendis lah penyebab dari kecelakaan Gege. Tanpa belas kasihan mereka teriak-teriak memarahi dan memaki Gendis, sepertinya mereka lupa kalau Gendis adalah calon istri Gege yang sudah pasti merasakan sedih dan terpukul juga atas musibah ini. Tangis Gendis membuncah ketika dia sudah tak kuat lagi menahan sakit di dadanya. Apalagi tuduhan keluarga Gege yang menyebut Gendis sebagai 'Malaikat kematian' yang dengan sangat kejam merampas nyawa kekasihnya sendiri. Bahkan sekarang Gendis mengutuki dirinya sendiri, dia membenci impiannya, dia membenci ketidak berdayaannya. Setelah kejadian itu Gendis nyaris tak pernah keluar dari kamarnya. tak pernah terdengar ocehan manja, gurih tawanya dan tak pernah terlihat lagi senyum manis dibibirnya, hanya tangis yang setia menemaninya di pojok kamar.

Ribuan cara Yoga dan keluarganya lakukan untuk menghibur Gendis, mereka merindukan keceriaan Gendis dulu yang kini lenyap bersamaan hilangnya Gege.

Suatu malam Gendis terkulai diatas tempat tidurnya. Angin berhembus lewat jendela yang masih terbuka, malam ini suasana begitu tenang, Bulan purnama memantulkan cahaya yang sangat indah bersanding dengan taburan seribu bintang diatas permadani hitam yang sangat menawan. Semuanya seakan menawarkan gadis-gadis kecil untuk bermimpi indah, terbang dan menari seperti peri-peri bersayap. Gendis merasakan jemari lembut membelai pipinya, menghapus butir-butir air mata yang mulai mengering, Gendis tersenyum ketika mengetahui Gege pemilik jemari lembut itu. Dengan cepat Gendis membenamkan wajahnya di dada Gege, dia nikmati hangat pelukan kekasih hatinya. Dia hirup aroma tubuh Gege yang sangat dirindukannya. Gege mengerti Gendis tak akan rela melepaskan pelukannya, dia pun mengerti betapa Gendis membutuhkan dirinya.

"Tak usah bersedih, aku tak ingin melihatmu menangis. Cepat hapus air matamu!" Bisik Gege lembut ditelinga Gendis.

"Aku sangat merindukanmu sayang" Gendis tak dapat menahan perasaannya.

"Aku juga merindukanmu, rindu senyum dan renyah tawamu. Berhentilah menangis keluargamu merindukan Gendis yang ceria seperti dulu" Rayu Gege pada kekasihnya.

"Kenapa kau meninggalkan ku? Aku tak sanggup hidup tanpamu, Ge!"

"Jemput aku di padang Edelweis di Puncak Merbabu, ikuti arah bunga Dandelion yang tertiup angin, ikuti jalan setapak itu, temukan sebongkah batu besar. Di situ aku menunggumu. Hati-hati sayang! Love you" Ucap Gege sambil mencium kening Gendis.

"Lov. . . . . ." Belum selesai ucapan Gendis, tiba-tiba cahaya putih sangat terang melenyapkan Gege.

Hanya gelap yang terlihat oleh Gendis, dia histeris menyebut nama Gege berkali-kali sampai membangunkan seluruh penghuni rumah yang sedang terlelap.

"Gendis bangun nak! kamu kenapa? Gendis sadar sayang, Gendis bangun" Yoga terus mengguncang-guncang tubuh Gendis yang makin melemah.

"Gendis ketemu Gege, Mas. Gege memberitahu Gendis jalan yang harus kita lalui untuk menemukan Gege. Gendis harus mendaki ke puncak Merbabu Mas! Besok pagi" Kata Gendis menceritakan apa yang ia alami tadi.

"Oke besok Mas Yoga dan teman-teman dampingi Gendis mendaki ya, sekarang Gendis istirahat agar besok ada tenaga untuk mendaki" Ucap kakak tersayangnya sambil mencium kening Gendis.

Pagi beranjak menuju siang, matahari bergulir diatas kepala Gendis dan kelompoknya. Pendakian itu belum menunjukan hasil apapun, semangat Gendis belum juga surut. Meski nafas tersenggal-senggal dia tetap meneruskan pendakiannya. Kini dia berdiri di padang Edelweis, dia mencari bunga Dandelion yang dimaksud Gege.

"Itu bunga Dandelionnya!" Gendis berteriak sambil menunjuk Dandelion yang beterbangan terbawa angin.

Dia berlari mengikuti arah Dandelion diikuti Yoga dan teman-temannya. Sekitar satu jam menuruni jalan setapak mereka menemukan sebongkah batu besar yang merupakan petunjuk dari Gege. Tidak butuh waktu lama untuk mereka menemukan tubuh Gege yang makin melemah, Yoga mencoba memeriksa keadaan Gege. Nadinya masih berdenyut, jantungnya berdetak pelan, Gege masih bernafas! Dia masih hidup.

Seminggu kemudian di kamar 169 Rumah Sakit Dr. Soemarno, Gege mulai sadar dari komanya. Tangannya menggenggam jemari lembut wanita yang selama beberapa hari ini setia menjaganya. Tangis bahagia memenuhi ruangan sempit itu, Gendis sujud syukur dan tak berhenti mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang telah mengembalikan kekasih hatinya. Ribuan kata maaf pun terucap dari bibir keluarga Gege, mereka menyesal menuduh Gendis sekejam itu.

Sekarang mereka sadar Gendis adalah wanita yang istimewa, cinta dan kesetiaannya pada Gege tak perlu diragukan lagi, Gendis wanita yang paling tepat untuk menjadi pendamping hidup Gege.

Sebulan setelah kesehatan Gege membaik. Dengan cinta dan restu dari dua keluarga, Gendis dan Gege melangsungkan pernikahan dirumah keluarga Gendis. Ijab kabul berlangsung sangat hikmat dan mereka seperti dua malaikat tanpa sayap, pengantin yang sangat sempurna. Setiap sudut ruangan dihias dengan bunga-bunga yang cantik, serta terselip puluhan tangkai edelweis yang menjadi saksi cinta kedua mempelai. Gendis tak berhenti tersenyum, dia merasa menjadi wanita paling sempurna, impiannya diwujudkan oleh Gege yang sekarang resmi menjadi suaminya.

Kotak warna silver bertengger manis di atas meja di samping Gendis, itu kotak tempat mas kawin yang diberikan Gege, di dalamnya terdapat sebatang emas berbentuk hati, yang ditaburi ribuan Edelweis.

^ the end with love ^

_Galih Ewokz_

Pramitha Wahyuninggalih Soeharto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun